Kebijakan Cukai Hasil Tembakau Perlu Diperbaiki agar Lebih Berdampak
Kebijakan cukai produk tembakau yang berlaku belum berdampak signifikan menekan konsumsi rokok masyarakat. Perbaikan perlu dilakukan disertai dengan penguatan pengawasan dan edukasi masyarakat akan bahaya rokok.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai kebijakan yang berlaku saat ini belum mampu menekan tingkat konsumsi rokok masyarakat. Untuk mengendalikan konsumsi rokok, kebijakan cukai hasil tembakau harus diperbaiki dengan memprioritaskan perlindungan masyarakat.
Anggota Tim Riset dalam perumusan Cisdi Magazine Volume 2 Samuel Aditya Pangestu di Jakarta, Rabu (6/10/2021) menilai kebijakan tarif cukai produk hasil tembakau yang berlaku di Indonesia saat ini hanya menguntungkan pihak tertentu, yakni industri rokok. Sementara, berbagai sektor lainnya justru mengalami dampak negatif.
”Industri rokok selama ini diuntungkan secara finansial. Dalam proses pengambilan kebijakan pun industri rokok ikut terlibat. Relaksasi pembayaran cukai juga diberlakukan,” katanya.
Di lain sisi, sektor lain, seperti program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), merasakan dampak negatifnya. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, biaya perawatan yang harus ditanggung untuk menangani penyakit terkait rokok mencapai Rp 27,7 triliun setahun. Selain itu, target pemerintah untuk menurunkan angka prevalensi perokok usia anak juga tidak tercapai.
Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, prevalensi merokok penduduk usia kurang dari 18 tahun sebesar 7,2 persen. Diharapkan, angka tersebut bisa menurun menjadi 5,4 persen pada 2019. Namun faktanya, prevalensi perokok usia anak justru meningkat menjadi 9,1 persen pada 2018.
Industri rokok selama ini diuntungkan secara finansial. Dalam proses pengambilan kebijakan pun industri rokok ikut terlibat. Relaksasi pembayaran cukai juga diberlakukan.
Samuel menambahkan, dampak negatif juga dirasakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pemenuhan hak anak untuk sehat menjadi tidak optimal. Asap rokok dapat mengganggu kesehatan anak. Pencanangan Sekolah Ramah Anak (SRA) juga tidak optimal.
Upaya SRA belum memperlihatkan hasil yang signifikan karena anak-anak masih terpapar berbagai bentuk promosi rokok dengan harga terjangkau. Pengawasan untuk mencegah anak dibawah usia 18 tahun membeli rokok sesuai aturan sangat lemah.
Setidaknya, ada 76,6 persen pelajar perokok membeli rokok dari warung, toko, penjual, dan kios. Selain itu, 71,3 persen pelajar membeli rokok secara eceran atau per batang.
”Karena itu, tidak mengherankan jika dari hasil survei Global Youth Tobacco menunjukkan 68,2 persen pelajar laki-laki usia 13-15 tahun mengaku pernah merokok,” kata Samuel.
Dampak negatif lainnya, lanjut Samuel, juga dialami Kementerian Sosial, terutama pada keluarga prasejahtera yang menjadi penerima program bantuan sosial. Sejumlah indikasi menunjukkan masyarakat penerima bantuan sosial menggunakan bantuan tersebut untuk membeli rokok.
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menemukan keluarga penerima bantuan sosial cenderung memiliki intensitas konsumsi rokok yang lebih besar (3,5-4,5 batang rokok per kapita) dibandingkan dengan keluarga yang bukan penerima bantuan sosial. Keluarga perokok yang menerima bantuan sosial pun diketahui mengonsumsi asupan karbohidrat, protein, kalori, dan lemak yang lebih rendah daripada keluarga nonperokok.
”Perlu ada komunikasi yang baik antara Kementerian Keuangan dan kementerian lainnya yang juga ikut menangani dampak dari konsumsi produk tembakau. Kolaborasi antarkementerian diharapkan dapat merumuskan kebijakan cukai tembakau yang menyeimbangkan prioritas perlindungan masyarakat dari konsumsi tembakau dengan kebutuhan pemenuhan pemasukan negara,” kata Samuel.
Ia menambahkan, tarif cukai tembakau harus dinaikkan secara signifikan sampai berdampak pada keterjangkauan masyarakat. Peta jalan penyederhanaan golongan tarif cukai tembakau untuk mengurangi varian harga rokok di tengah masyarakat harus diterapkan.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kartini Rustandi mengatakan, pemerintah terus berupaya menekan konsumsi rokok masyarakat, khususnya perokok usia anak. Edukasi bahaya rokok disampaikan di berbagai forum, mulai dari Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), kampus sehat, hingga pesantren sehat.
”Di sisi lain, kita juga terus meningkatkan upaya pencegahan agar konsumsi rokok bisa lebih diatur. Karena itu, kita terus mendorong upaya penguatan melalui percepatan revisi PP No 109 (Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan),” katanya.
Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian PPPA Agustina Erni menuturkan, gerakan bersama juga perlu ditingkatkan. Selain pemerintah, gerakan masyarakat diharapkan bisa berjalan lebih baik.
”Jika tidak ada gerakan di masyarakat, upaya pengendalian konsumsi rokok akan sulit. Jadi, upaya pemerintah berjalan, gerakan masyarakat juga berjalan, terutama gerakan anak muda sebagai teman sebaya. Sekitar 28 persen, anak mulai merokok karena pengaruh teman sebaya,” ucapnya.