Merokok Memperburuk Keparahan dan Risiko Kematian karena Covid-19
Dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah merokok, sekitar 80 persen perokok lebih mungkin dirawat di rumah sakit dan secara signifikan lebih mungkin meninggal karena Covid-19.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Merokok terbukti memperburuk tingkat keparahan pasien Covid-19 dan meningkatkan risiko kematian akibat infeksi. Bukti baru ini didapatkan dari studi skala besar berdasarkan data observasional dan genetik dari Biobank Inggris.
Hasil kajian diterbitkan di jurnal pernapasan Thorax, bagian dari British Medical Journal (BMJ), yang dirilis pada Senin (27/9/2021). Kajian yang dipimpin Ashley K Clift dari Nuffield Department of Primary Care Health Sciences, University of Oxford, Inggris, ini merupakan yang pertama mengumpulkan data observasional dan genetik untuk memperkuat bukti kaitan merokok dan Covid-19.
Beberapa penelitian yang dilakukan di awal pandemi melaporkan prevalensi perokok aktif yang lebih rendah di antara orang yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19 dibandingkan dengan pada populasi umum. Tetapi, penelitian berbasis populasi lainnya menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor risiko infeksi.
Sebagian besar penelitian sampai saat ini, bagaimanapun, telah bersifat observasional dan tidak dapat menetapkan efek kausal. Oleh karena itu, para peneliti menggabungkan analisis observasional dan pengacakan Mendel untuk lebih memahami hubungan tersebut.
Gagasan bahwa merokok tembakau dapat melindungi dari Covid-19 merupakan gagasan yang mustahil.
Pengacakan Mendelian adalah teknik yang menggunakan varian genetik sebagai proxy untuk faktor risiko tertentu, dalam hal ini varian genetik yang membuat seseorang lebih cenderung merokok atau merokok lebih banyak. Ini untuk mendapatkan bukti genetik yang mendukung hubungan sebab akibat.
Para peneliti menggunakan catatan perawatan primer terkait, hasil tes Covid-19, data penerimaan rumah sakit, dan sertifikat kematian untuk mencari hubungan antara merokok dan tingkat keparahan infeksi Covid-19 dari Januari hingga Agustus 2020 pada 421.469 peserta UK Biobank.
Selama masa penelitian, 13.446 orang (3,2 persen) melakukan tes usap Covid-19 dengan polimerase rantai ganda (PCR), 1.649 orang (0,4 persen) di antaranya dinyatakan positif, 968 orang (0,2 persen) memerlukan perawatan di rumah sakit, dan 444 orang (0,1 persen) meninggal akibat infeksi mereka.
Sebagian besar peserta (59 persen) tidak pernah merokok, lebih dari sepertiga (37 persen) adalah mantan perokok, dan hanya 4 persen adalah perokok saat ini. Di antara perokok saat ini, sebagian besar (71 persen) merupakan perokok ringan atau sedang (1-19 batang per hari), hanya 29 persen perokok berat (lebih dari 20 batang per hari).
Dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah merokok, sekitar 80 persen perokok lebih mungkin dirawat di rumah sakit dan secara signifikan lebih mungkin meninggal karena Covid-19. Para peneliti menggunakan pengacakan Mendel untuk menilai apakah kecenderungan genetik untuk merokok dan merokok berat mungkin memiliki peran dalam keparahan Covid-19 di antara 281.105 peserta yang tinggal di Inggris.
Studi ini mengungkapkan bahwa kecenderungan genetik untuk merokok dikaitkan dengan risiko infeksi 45 persen lebih tinggi dan risiko rawat inap rumah sakit untuk Covid-19 60 persen lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan genetik untuk merokok lebih banyak dikaitkan dengan risiko infeksi lebih dari dua kali lipat, peningkatan lima kali lipat dalam risiko masuk rumah sakit, dan peningkatan 10 kali lipat dalam risiko kematian akibat virus.
Clift mengatakan, hasil studinya sangat menyarankan bahwa merokok terkait dengan risiko terkena Covid-19 yang parah. ”Seperti halnya merokok memengaruhi risiko penyakit jantung, kanker yang berbeda, dan semua kondisi lain yang kami ketahui terkait dengan merokok, tampaknya itu sama untuk Covid-19. Jadi sekarang mungkin waktu yang tepat untuk berhenti merokok,” katanya.
Para peneliti mengatakan, meskipun mereka hanya mengandalkan data tes Covid-19 rumah sakit daripada data komunitas yang lebih representatif, mereka tetap menunjukkan kesamaan temuan di kedua set analisis. Disimpulkan, ada hubungan efek kausal dari merokok pada keparahan Covid-19.
”Gagasan bahwa merokok tembakau dapat melindungi dari Covid-19 merupakan gagasan yang mustahil,” tegas Anthony Laverty dan Christopher Millet dari Imperial College London, dalam editorial di jurnal Thorax, mengomentari studi ini.
Anthony menambahkan, pandemi pernapasan harus menjadi momentum yang ideal untuk memfokuskan pikiran kolektif pada pengendalian tembakau. Dia juga menambahkan, merokok tetap menjadi penyebab utama ketidaksetaraan kesehatan.
Rokok di Indonesia
Sebelumnya, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto, dalam keterangan pers menyambut Hari Paru Dunia,24 September 2021, juga mengingatkan, asap rokok dan polusi udara menjadi penyebab utama kanker paru di Indonesia, selain juga memicu keparahan jika terpapar Covid-19. Tak hanya perokok, mereka yang terdampak adalah perokok pasif.
”Sejak 1964, terdapat 2,5 juta orang bukan perokok meninggal akibat gangguan kesehatan yang diakibatkan menghirup asap rokok di sekitarnya,” kata Agus. ”Kanker paru dapat dicegah dengan pengendalian tembakau.”
Agus mengatakan, rokok menjadi masalah besar di Indonesia karena jumlah perokok dengan usia muda, yaitu di atas 15-19 tahun, cenderung meningkat. Sebanyak tiga dari 10 orang dewasa merokok dan 23 dari 100 anak usia 15-19 tahun merokok.
”Padahal, tembakau merupakan faktor risiko keenam dari delapan faktor yang menyebabkan kematian di dunia,” katanya.