Pemakaian Jilbab di Sekolah Jangan Berdasarkan Paksaan
Pemaksaan terhadap siswa memakai seragam khas agama tertentu di sekolah negeri masih terus terjadi. Pemakaian jilbab di sekolah sebaiknya tidak berdasarkan paksaan, tetapi kesadaran siswa.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA, HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemaksaan terhadap siswa memakai seragam khas agama tertentu di sekolah negeri masih terus terjadi. Terbaru, seorang siswi SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, diduga dipaksa gurunya memakai jilbab sehingga membuatnya depresi. Pemakaian jilbab di sekolah sebaiknya tidak berdasarkan paksaan, tetapi kesadaran siswa.
Kesadaran dapat dibentuk melalui edukasi di sekolah dan keluarga. Selain di luar kewenangan, pemaksaan oleh guru tersebut juga berpotensi berdampak buruk terhadap psikis siswa.
”Guru atau sekolah boleh mengedukasi siswi mengenakan jilbab, tetapi bukan memaksa mereka,” ujar pengamat kebijakan pendidikan sekaligus Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (2/8/2022).
Cecep menuturkan, kasus itu seharusnya tidak terjadi jika pihak sekolah dan guru paham tentang penggunaan seragam siswa. Menurut dia, pihak sekolah dan dinas pendidikan mesti mengusut dugaan pemaksaan pemakaian jilbab tersebut.
”Pemeriksaan oleh Ombudsman silakan jalan terus, tetapi dinas pendidikan setempat juga harus segera menangani persoalan ini agar tidak melebar. Perlu dipastikan, apakah ini kasus pertama atau justru sudah berulang? Apakah ada siswa lain yang mengalami pemaksaan juga?” ujarnya.
Kasus ini berawal saat siswi kelas 10 SMA Negeri 1 Banguntapan dipanggil oleh beberapa guru ke ruangan bimbingan konseling sekolah pada 19 Juli 2022. Siswi beragama Islam itu lalu ditanyai oleh gurunya mengapa tidak memakai jilbab atau hijab.
”Anak itu diinterogasi oleh tiga guru, kenapa enggak pakai hijab. Anak itu sudah terus terang belum mau (memakai hijab). Tapi, dia diinterogasi lama dan merasa dipojokkan,” ujar aktivis Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) Yuliani.
Yuliani menambahkan, siswi tersebut juga sempat dipakaikan hijab oleh gurunya. Tindakan itu membuat sang siswi merasa tidak nyaman.
Pemaksaan pemakaian jilbab itu merupakan penyelewengan kewenangan dan bertentangan dengan kebinekaan.
”Dia dipakein hijab, mungkin untuk mencontohkan cara pakai hijab. Tapi, anak itu merasa tidak nyaman dan kayak merasa dipaksa,” katanya.
Akibat kejadian itu, siswi tersebut diduga mengalami depresi. Selama beberapa hari, ia mengurung diri di kamar dan tidak mau berbicara dengan ayahnya. Ia juga merasa trauma dan tidak mau masuk sekolah.
Masalah serius
Kasus ini menuai kecaman dari berbagai pihak. Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan, pemaksaan pemakaian jilbab itu merupakan penyelewengan kewenangan dan bertentangan dengan kebinekaan.
Menurut Halili, kasus itu bukan sebatas ketidakpahaman guru atau pihak sekolah mengenai penggunaan seragam siswa. ”Masalah ini lebih serius dari itu. Persoalannya, ada konstruksi yang tidak sesuai antara tuntutan dasar tata kebinekaan dan apa yang selama ini menjadi capaian dasar penilaian di sekolah negeri,” jelasnya.
Halili menyebutkan, pemaksaan pemakaian hijab yang membuat siswa trauma bertentangan dengan prinsip kebinekaan. Oleh karena itu pengawasan terhadap praktik diskriminasi dan intoleransi di lembaga pendidikan harus diperkuat.
”Harus ada perhatian serius, tidak hanya dari sekolah, tetapi pemangku kepentingan terkait seperti dinas pendidikan, bupati/wali kota, dan gubernur. Upaya lainnya dengan memaksimalkan peran pengawas. Kalau persoalan seperti ini terus berulang, perlu evaluasi serius dalam pengawasan,” jelasnya.
Kecaman juga disampaikan jaringan masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah organisasi dan komunitas. Menurut mereka, dugaan pemaksaan pemakaian jilbab sudah beberapa kali terjadi di sejumlah sekolah negeri di Yogyakarta.
Melalui keterangan tertulis, jaringan masyarakat sipil menyampaikan pernyataan sikap, di antaranya mendesak Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Dikpora) DIY membuat aturan tegas tentang larangan pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah negeri dan menerapkan sanksi berat bagi sekolah negeri yang terbukti memaksa siswanya memakai jilbab.
Selain itu, mendesak Pemerintah DIY menyediakan layanan pendampingan psikologis hingga pulih untuk siswa karena mengalami depresi serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk turun tangan mengatasi pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah negeri.
Tutorial
Kepala SMAN 1 Banguntapan Agung Istianto membantah adanya pemaksaan untuk memakai jilbab di sekolah tersebut. Dia menyebut, tidak ada kewajiban untuk mengenakan jilbab di sekolah itu.
”Pada intinya, sekolah kami tidak seperti yang ada di pemberitaan. Jadi, sekolah kami tetap tidak mewajibkan yang namanya jilbab,” ujar Agung seusai menghadiri pertemuan di Dikpora DIY, Senin (1/8/2022) sore.
Agung mengakui, ada guru Bimbingan Konseling (BK) yang memakaikan jilbab ke siswi tersebut. Namun, dia mengklaim, tindakan itu bukan bentuk pemaksaan, melainkan untuk mengajarkan tutorial atau cara memakai jilbab.
”Itu hanya tutorial. Ketika itu ditanya siswinya pernah memakai jilbab ndak. Ternyata belum,” katanya.
Menurut Agung, sebelum memakaikan jilbab, guru tersebut sudah bertanya lebih dulu. Dia menyebut, siswi itu juga setuju untuk dipakaikan jilbab. Setelah mendapat persetujuan sang siswi, guru BK lalu mencari jilbab yang ada di ruangannya. Jilbab itulah yang kemudian dipakaikan kepada siswi tersebut.
”Artinya, memang ada komunikasi antara guru BK dan siswinya. Siswinya mengangguk (tanda setuju),” tutur Agung.