Seragam Sekolah Dahulu yang Dirindukan
Aturan seragam sekolah untuk siswa di sekolah negeri, utamanya perempuan, kini mendapat sorotan tajam. Ada fenomena pemaksaan siswi memakai seragam sekolah dengan atribut agama tertentu.

Sejumlah siswa beragama Protestan yang mengikuti aturan berjilbab di SMK 2 Padang, Sumbar, menceritakan pengalaman dan perasaannya saat diminta berjilbab di sekolah, Senin (25/1/2021). Meskipun mengaku sudah terbiasa dan tidak lagi terpaksa, mereka sebenarnya lebih nyaman ke sekolah tanpa jilbab.
”Kembalikanlah standar seragam sekolah negeri kayak dulu”. Pesan ini terus beredar di dunia maya, dibagikan dari satu grup percakapan ke grup lain, dari satu akun media sosial ke media sosial lainnya sejak pekan lalu hingga Senin (1/8/2022).
Lalu, ada penjelasan tentang seragam sekolah negeri yang seharusnya menjadi keseharian siswa di sekolah. Seragam reguler siswa SD dan SMP dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek serta siswi berkemeja lengan pendek dan rok selutut. Ada pula pilihan kemeja dan rok panjang untuk siswi berjilbab.
Beragam komentar pun bermunculan. Namun, tertangkap suatu harapan agar seragam sekolah di sekolah negeri dikembalikan seperti masa lalu, tanpa pemaksaan. Hal ini terpancar dari foto-foto di dunia maya yang menampilkan barisan siswi dengan pilihan seragam sekolah tanpa embel-embel atribut keagamaan.
Seruan untuk tidak memaksakan seragam dengan atribut keagamaan tertentu di sekolah negeri memang beralasan. Sekolah milik pemerintah ini semestinya terbuka untuk semua kalangan karena dibiayai pemerintah pusat dan daerah. Ketentuan tersebut berbeda dengan sekolah swasta yang dapat memilih kekhususan sebagai sekolah agama tertentu, termasuk dengan aturan seragam menyesuaikan landasan agama sekolah swasta.
Reaksi publik untuk menegakkan aturan seragam sekolah di sekolah negeri di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang berpihak pada keberagaman ini bisa dipahami. Kasus pemaksaan seragam sekolah dengan atribut agama tertentu terus berulang.
Yang lebih sering mencuat yaitu kasus siswi Muslim dipaksa berhijab/berjilbab meskipun di sekolah negeri. Bahkan, pada tahun lalu, ada siswa non-Muslim di sekolah negeri yang juga diwajibkan memakai jilbab.
Tak menutup kenyataan, ada juga guru dan siswa Muslim di daerah lain dengan agama mayoritas dilarang menggunakan jilbab/hijab. Padahal, berjilbab menjadi pilihan sendiri sesuai keyakinan diri guru dan siswa di sekolah yang mayoritas bukan pemeluk agama Muslim.
Berita terbaru yang mencuat adalah kasus seorang siswi SMA Negeri di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dipaksa untuk memakai jilbab oleh gurunya. Karena dipaksa, siswi tersebut mengalami depresi sehingga mengurung diri selama beberapa hari di dalam kamar.
Aktivis Aliansi masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta, Yuliani, mengatakan, siswi kelas X yang beragama Islam tersebut dipanggil beberapa guru ke ruangan bimbingan konseling sekolah pada Juli 2022 . Dia ditanyai kenapa tidak memakai jilbab.
Bahkan, ada guru yang sempat memakaikan hijab dan membuat siswa itu merasa tidak nyaman. Siswi ini pun merasa trauma dan kemungkinan berniat pindah ke sekolah lain (Kompas.id, 29 Juli 2022).
Baca juga: Diduga Dipaksa Pakai Jilbab, Siswi SMA Negeri di Bantul Depresi
Aturan wajib
Dari laporan Human Rights Watch tentang pelanggaran dalam berbagai peraturan wajib jilbab di Indonesia yang dirilis pada Jumat (22/7/2022), hampir 150.000 sekolah di 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim di Indonesia saat ini memberlakukan aturan wajib jilbab berdasarkan peraturan lokal dan nasional. Di beberapa daerah Muslim konservatif, seperti Aceh dan Sumatera Barat, bahkan gadis non-Muslim juga dipaksa mengenakan jilbab.
Human Rights Watch menemukan ketentuan mewajibkan penggunaan jilbab di daerah, termasuk di sekolah, oleh pemerintah daerah mulai berlangsung sejak tahun 2001 di tiga kabupaten, yakni Indramayu dan Tasikmalaya (Jawa Barat), serta Tanah Datar (Sumatera Barat). Peraturan daerah yang membatasi tersebut telah muncul dan menyebar dengan cepat selama dua dekade terakhir memaksa jutaan perempuan dan anak perempuan di Indonesia untuk mulai mengenakan jilbab atau hijab, hiasan kepala wanita yang menutupi rambut, leher, dan dada. Biasanya pemakaian jilbab dikombinasi dengan rok panjang dan kemeja lengan panjang.

Siswi SMAN 1 Kupang mengikuti peringatan HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2019. Seragam sekolah, utamanya di sekolah negeri, harus bebas dari pemaksaan sesuai atribut agama tertentu. Muncul di dunia maya seruan untuk mengembalikan pemakaian seragam sekolah tanpa pemaksaan pada siswi.
Direktur Human Rights Watch untuk Asia Elaine Pearson mengatakan, dampak merugikan dari peraturan-peraturan daerah terlihat dalam akun pribadi perempuan Indonesia, seperti siswi, guru, dokter, dan sejenisnya. Perempuan dan anak perempuan menghadapi tekanan sosial dan kemungkinan ancaman sanksi kecuali jika mereka mematuhi peraturan.
Human Rights Watch mewawancarai lebih dari 100 perempuan yang pernah mengalami pelecehan dan sering kali mengalami konsekuensi jangka panjang karena menolak memakai jilbab. Human Rights Watch mengumpulkan teks peraturan dan memasukkannya sebagai lampiran laporan tahun 2021.
Elaine menegaskan, hukum hak asasi manusia internasional menjamin hak untuk secara bebas memanifestasikan keyakinan agama seseorang, kebebasan berekspresi, dan pendidikan tanpa diskriminasi. Perempuan dan anak perempuan berhak atas hak yang sama dengan laki-laki, termasuk untuk memakai apa yang mereka pilih. Setiap pembatasan atas hak-hak ini harus untuk tujuan yang sah dan diterapkan dengan cara yang tidak sewenang-wenang serta tidak diskriminatif.
Dalam laporannya, Human Rights Watch juga menyertakan kesaksian dari sejumlah perempuan Indonesia. Ada orangtua siswi di Lampung yang melaporkan anak perempuannya sejak masa orientasi sekolah di salah satu SMA Negeri di Lampung tahun 2020 mengalami perundungan. Anaknya dikatakan tidak bermoral dan mendapat sebutan-sebutan kasar lainnya karena tidak berjilbab. Ketika anaknya tetap menolak berjilbab, para senior terus menekan dan memaksa dengan alasan sesuai ketentuan agama untuk perempuan Muslimah.
”Kami di rumah membebaskan anak untuk memilih pakaian, tidak mewajibkan berhijab. Namun, di sekolah negeri justru dipaksa dan di-bully. Anak saya tiap pulang sekolah menangis dan minta pindah sekolah,” ujar seorang ibu yang berprofesi sebagai dosen.
Seorang perempuan lulusan perguruan tinggi ternama berusia 25 tahun juga merasakan hidupnya yang tertekan karena dipaksa berhijab. Dimulai dari rumah oleh ibunya, akhirnya ketika SMA dia melepaskan hijab dan menjadi satu-satunya siswi Muslim yang tidak menggunakan jilbab di salah satu SMA negeri. Sampai ada salah seorang guru yang menyumpahinya tidak akan bisa sukses tanpa jilbab dan akan masuk neraka.
”Saya menangis, saya merasa malu karena saat itu disaksikan siswa lainnya. Saya terus menangis dan merasa depresi, sampai memengaruhi nilai sekolah yang turun,” katanya. Bahkan, ketika masuk ke perguruan tinggi pun, tetap saja ada staf fakultas yang mempertanyakan kenapa dirinya tidak memakai jilbab saat banyak mahasiswi lain mengenakan jilbab.
Lingkungan belajar yang bebas dari tiga dosa besar pendidikan, yaitu perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual, menjadi prasyarat terselenggaranya pembelajaran yang berkualitas. (Hendarman)
Direktur Maarif Institute Abdul Rohim Ghazali mengatakan, semua pihak harus mendukung keberagaman dan menghidupinya dalam semua aspek, termasuk di dunia pendidikan. Fenomena pemaksaan guru atau sekolah, khususnya di sekolah negeri, agar guru dan peserta didik perempuan berjilbab akibat banyaknya perda yang mewajibkan perempuan berjilbab merupakan dampak langsung dari maraknya politisasi agama.
Daerah dengan agama mayoritas, baik Islam, Kristen, maupun agama lain, tidak boleh mendiskriminasi perempuan dengan kewajiban berpakaian sesuai agama mayoritas. Itu semua terjadi kaerna pemahaman agama yang masih sempit.
”Kalau agama masuk dalam kebijakan politik, ya menimbulkan diskriminasi. Indonesia itu kan majemuk, satu agama tidak bisa mewakili agama lain. Jangan demokrasi dianggap sebagai suara mayoritas yang harus diutamakan dan diikuti. Tapi demokrasi harus mengacu pada keadilan dan hak asasi manusia,” kata Abdul.

Suasana belajar di salah satu kelas SMK 2 Padang, Sumatera Barat, Selasa (26/1/2021). Mulai Selasa, siswa perempuan non-Muslim di sekolah ini mulai tidak berjilbab ke sekolah karena ada penegasan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa tidak boleh ada pemaksaan siswa mengenakan atribut keagamaan tertentu di sekolah. Sebelumnya, orangtua salah seorang siswa non-Muslim di SMK 2 Padang dipanggil ke sekolah dan diminta untuk menandatangani surat pernyataan karena putrinya tidak bersedia mengenakan jilbab.
Kemandirian memilih
Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo mengatakan, sekolah negeri yang bisa menjadi pilihan semua anak terlepas dari latar belakangnya seharusnya melihat peluang ini sebagai ruang perjumpaan keragaman yang sangat menguntungkan siswa di masa depan. ”Sekolah negeri justru harusnya terdepan sebagai sekolah penyemai keberagaman. Jangan justru menyempitkannya dengan pemaksaan,” kata Henny.
Apalagi, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 telah jelas menyatakan prinsip penyelenggaraan pendidikan secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, budaya, hak asasi manusia, dan kemajemukan bangsa. ”Harus ada pemikiran kritis. Apa gunanya untuk pendidikan jika ada pemaksaan atau perundungan bagi siswi baik Muslim maupun non-Muslim harus berjilbab,” kata ujarnya.
Baca juga: Siswa Non-Muslim di SMK Negeri 2 Padang Mulai Lepaskan Jilbab
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F01%2Fe2c47750-eef3-4a82-b27d-48255327d563_jpg.jpg)
Suasana di kelas 1 di SD Negeri Waikelo, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, akhir Mei 2022. Siswa perempuan bebas memilih seragam sekolah yang akan dikenakan. Ruang perjumpaan di sekolah pada keberagaman sangat bermanfaat bagi siswa di masa depan.
Namun, sejak 2006-2007, YCG mulai melihat masalah jilbab pada guru di sekolah negeri. Para guru yang bersuara kritis tidak berani bersuara, tetapi resah dan khawatir. Di tahun 2010, YCG pun memutuskan untuk membantu guru menjadi penyemai keberagaman karena masalah kebinekaan bangsa terancam.
Guru diajak bersama menjadi rujukan keberagaman, kebangsaan, dan kemanusiaan dengan membuka ruang perjumpaan guru dengan kelompok yang berbeda. Bahkan, guru pun membiasakan murid-murid dipimpin dengan doa dari agama berbeda saat ada acara.
Menurut Henny, lembaga pendidikan justru harus memberi ruang atau kesempatan bagi peserta didik untuk secara mandiri mengekspresikan diri. Keluarga, sekolah, dan lingkungan seharusnya bersama-sama mendukung kemandirian anak berekspresi dan memutuskan, salah satunya tanpa pemaksaan seragam sesuai atribut agama untuk sekolah negeri sehingga anak memiliki kepercayaan diri yang tinggi, bersandar pada budaya yang dimiliki, bisa bekerja sama dengan baik dan nyaman, bisa berkomunikasi, serta sanggup berpikir kritis dan kreatif.
”Anak-anak ini bisa menyongsong masa depan dengan tenang, nyaman, dan siap. Memaksakan anak dengan pemikiran yang menyempitkan membuat mereka tidak siap menyambut masa depan. Jadi pertanyaannya, sebetulnya ketika Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri soal pemaksaan seragam atribut keagamaan di sekolah negeri, apa yang ada di benak pemerintah? Kalau betul-betul untuk masa depan anak dan kita semua, tidak boleh berhenti,” kata Henny.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikbudristek Hendarman mengatakan, pihaknya mengecam segala bentuk perundungan, baik fisik maupun psikis, terhadap siapa pun karena akan berdampak negatif terhadap upaya mewujudkan sumber daya manusia unggul. ”Lingkungan belajar yang bebas dari tiga dosa besar pendidikan, yaitu perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual, menjadi prasyarat terselenggaranya pembelajaran yang berkualitas,” ujar Hendarman.
Baca juga: Seragam Sekolah dan Cermin Kemajemukan Indonesia
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2017%2F12%2F20%2Fe8f299a5-61e4-4bed-8ffd-7cdb0b690681_jpg.jpg)
Penguatan pendidikan karakter menjadi salah satu program prioritas pendidikan nasional. Para guru sebagai pendidik punya peran membentuk siswa menjadi manusia yang utuh nalar dan budinya. Para guru yang ikut Sekolah Guru Kebinekaan 2017 yang digagas Yayasan Cahaya Guru disiapkan menjadi rujukan keberagaman, kemanusiaan, dan kebangsaan agar dapat menjadi teladan bagi siswa di sekolah masing-masing.
Menurut Hendarman, semangat untuk memerangi tiga dosa besar pendidikan sifatnya adalah inklusif tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, suku, agama, ras, dan identitas sosial lainnya di masyarakat. Komitmen Kemendikbudristek terus dilakukan melalui beberapa instrumen kebijakan, baik yang sudah diluncurkan maupun sedang dirumuskan.
Melalui Asesmen Nasional, ujar Hendarman, Kemendikbudristek melakukan survei karakter dan iklim lingkungan belajar. Hasilnya tersedia di dalam rapor pendidikan yang dapat digunakan untuk perencanaan berbasis data oleh satuan pendidikan, pemda, serta pemerintah pusat sebagai upaya mewujudkan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua.