Meski memiliki identitas jender berbeda, transpuan tetap bisa berkarya, berprestasi, dan berkontribusi bagi masyarakat sepanjang keberadaannya diterima dan mendapat dukungan orang-orang terdekat dan masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Menjadi seseorang dengan identitas atau ekspresi jender yang berbeda dengan jenis kelaminnya tidak menjadi penghalang transpuan untuk berprestasi, berkarya, dan berkontribusi bagi masyarakat. Sejumlah transpuan telah membuktikan ini.
Transpuan yang merupakan dokter di klinik Angsamerah, Jakarta, Alegra Wolter, mengatakan, kunci kesuksesannya hingga menjadi dokter adalah penerimaan dan dukungan keluarga serta lingkungan sekitar, selain faktor personal.
Alegra tidak memungkiri bahwa ada periode ketika orangtuanya menolak (denial) kondisi anaknya. Ini terjadi lebih karena mereka khawatir akan penerimaan lembaga pendidikan atau tempat kerja terhadap anaknya nantinya. ”Sekarang saya bisa buktikan, setelah lulus bisa bekerja dan bisa berkontribusi untuk masyarakat,” ujarnya.
Sebelum menjadi dokter, dirinya memang mengalami masa-masa yang berat dan traumatis, terutama saat memulai transisi secara sosial sebagai transpuan. Saat menempuh pendidikan dokter, sebagian pengajar dan kolega pun tidak seterbuka yang ia bayangkan.
Namun, Alegra yakin bahwa di masa depan ada harapan untuk hidup lebih baik. Selain itu, banyak juga teman dan pengajar yang menguatkan dan memberikan dukungan. ”Saya ingat momen terbesar dalam hidup saya ketika graduation memakai kebaya dengan segala perjuangan melawan diskriminasinya, dengan dukungan perempuan-perempuan luar biasa,” katanya.
Menurut Alegra, sering kali seseorang dengan identitas jender berbeda haruslah berprestasi agar dia dianggap berharga oleh masyarakat. ”Ini sangat ironis karena sering kali langkah seseorang untuk berprestasi sudah diputus oleh perundungan di tingkat sekolah, diskriminasi pekerjaan, tekanan keluarga, ataupun lingkungan seosial terdekat, pelecehan,” paparnya.
Dukungan orangtua juga yang membuat Edna Franata Danum (35), transpuan yang menjadi guru seni dan budaya sebuah SMP di Sampit, Kalimantan Tengah, melangkah yakin untuk menjadi pendidik. Beberapa anak didiknya bahkan telah mewakili sekolah untuk mengikuti lomba tari di tingkat kota hingga provinsi.
Seperti banyak transpuan lain, lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu pernah dipandang sebelah mata oleh sesama guru. ”Kok, guru seninya begitu, banci. Gimana jadinya nanti anak didiknya,” kenang Edna menirukan ucapan koleganya.
Ucapan itu justru membuat Edna lebih terpacu untuk semakin baik dalam mengajar. Malahan, pihak sekolah telah memperpanjang kontrak mengajarnya untuk 5 tahun ke depan.
Sering kali seseorang dengan identitas jender berbeda haruslah berprestasi agar dia dianggap berharga oleh masyarakat.
Di Nusa Tenggara Timur, bunda Hendrika Mayora (34) membuktikan bahwa transpuan bukanlah penyakit atau sampah masyarakat. Transpuan juga memiliki andil yang sama dalam membangun bangsa. Hal ini ia tunjukkan dengan bekerja sungguh-sungguh sebagai Wakil Kepala Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Hebi, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, NTT.
“Saya ingin mengubah stigma buruk transpuan seperti pekerja seks komersial, mengadopsi dan merampas hak perempuan, menentang kondrat, dan lain-lain,” Hendrika di Maumere, Jumat (22/7/2022).
Tidak hanya stigma dan diskriminasi, sebagian transpuan yang menjadi pekerja seks juga berisiko terkena penyakit menular seksual. Transpuan dengan HIV akan membuat stigma dan diskriminasi yang diterimanya berlipat.
Di tengah realita itulah, Vinolia Wakidjo (66) bersama beberapa rekannya mendirikan Rumah Singgah Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta) pada 18 Desember 2006. Ia berharap rumah singgah ini bisa memberikan harapan bagi transpuan untuk menjemput kehidupan yang lebih bermakna.
Vinolia pernah menjadi pekerja seks selama 13 tahun. Namun, kini, transpuan tersebut berusaha mengedukasi sesama transpuan pekerja seks tentang tingginya risiko penularan HIV. Ia bergerilya dari stasiun, pasar, hingga jalan-jalan protokol.
Tak jarang Vinolia dicibir rekannya sesama transpuan karena dianggap sudah tidak laku menjadi pekerja seks. Ia memendam cibiran itu dan berupaya tetap fokus dengan pekerjaannya.
Adapun di Depok, Jawa Barat, mami Yuli tergerak untuk menghimpun transpuan lansia yang umumnya tidak punya pekerjaan, tidak memiliki keluarga, tidak mempuyai tempat tinggal, dan sakit-sakitan dengan mendirikan Rumah Singgah Waria Lansia Anak Raja. Transpuan yang tinggal di situ dilatih membuat kue dan makanan lainnya. Makanan yang dibuat kemudian dijual ke warung-warung, dijual keliling, atau dijual ke gereja.
Selain itu, mereka juga mendapat bimbingan rohani dan motivasi serta pendampingan kesehatan. Para transpuan tidak memiliki identitas difasilitasi untuk mengurus KTP, kartu keluarga, dan keanggotaan BPJS Kesehatan.
Alegra mengatakan, sering kali orang melihat transpuan dalam satu boks saja, sebagai seorang transjender. Padahal, identitas itu hanya sebagian dari keutuhan transpuan sebagai manusia. “Kita bisa hidup sehat, berkarier, berkarya, berpendidikan, serta bisa memiliki kehidupan personal yang bahagia dengan keluarga, pasangan, dan teman-teman sekitar,“ tuturnya.