Melalui Pondok Pesantren Waria Al Fatah yang dipimpinnya, Shinta Ratri (60) konsisten memperjuangkan hak para waria untuk beragama dan beribadah. Meski keberadaan ponpes itu sempat diprotes, Shinta kekeh bertahan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Melalui Pondok Pesantren Waria Al Fatah yang dipimpinnya, Shinta Ratri (60) konsisten memperjuangkan hak para waria untuk beragama dan beribadah sesuai keyakinannya. Meski keberadaan ponpes itu sempat diprotes oleh kelompok tertentu, Shinta kekeh bertahan. Perjuangannya pun meluas ke berbagai bidang.
Shinta memimpin Ponpes Waria Al Fatah yang berlokasi di Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sejak tahun 2014. Ponpes itu menempati rumah peninggalan nenek Shinta yang berada di perkampungan padat penduduk di kawasan bersejarah Kotagede.
Shinta menuturkan, sejak kecil, dirinya sudah memiliki kecenderungan sebagai waria. Bahkan, saat SMP, Shinta biasanya mengikuti pelajaran olahraga bersama para murid perempuan. ”Saya tahu bahwa saya perempuan, tetapi saya terlahir laki-laki,” ujarnya saat ditemui, Senin (18/7/2022).
Saat tahu bahwa Shinta merupakan waria, sang ayah sempat bertanya-tanya. Namun, pihak keluarga akhirnya menerima kenyataan itu. Oleh karena itu, Shinta tidak harus pergi dari rumah dan hidup di jalanan seperti banyak waria lainnya.
”Penerimaan keluarga itu merupakan sesuatu yang paling esensial untuk kawan-kawan waria. Kalau ada penerimaan dari keluarga, waria tidak perlu melarikan diri dari rumah,” kata Shinta.
Shinta juga sempat berkuliah di Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, meski tak sampai selesai. Dia juga pernah membuka usaha pembuatan perhiasan perak. Namun, setelah krisis moneter tahun 1998, usaha tersebut tutup.
Shinta lalu beralih membuka usaha produksi perhiasan berbahan tembaga yang biasa dipakai saat acara pernikahan. Usaha itulah yang ditekuninya sampai sekarang. Selain itu, Shinta juga aktif berorganisasi bersama para waria lainnya. Dia bahkan pernah menjadi Ketua Ikatan Waria Yogyakarta (Iwayo) pada 2010-2016.
Pada tahun 2008, Shinta juga terlibat dalam pendirian Ponpes Waria Al Fatah. Ponpes itu awalnya berlokasi di wilayah Notoyudan, Kota Yogyakarta, dan dipimpin oleh seorang waria bernama Maryani.
Setelah Maryani meninggal dunia pada 2014, Shinta mengambil alih kepemimpinan ponpes tersebut. Lokasi ponpes kemudian pindah ke rumah peninggalan nenek Shinta di Desa Jagalan.
Beragam kegiatan
Ponpes Waria Al Fatah memiliki sejumlah kegiatan rutin. Shinta mengatakan, setiap Sabtu, ponpes itu menggelar pelatihan keterampilan bagi para waria untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Selain itu, setiap Minggu, ponpes tersebut menggelar pembelajaran agama, misalnya latihan membaca Al Quran, hafalan surat-surat pendek, dan latihan shalat bagi para waria. ”Ada beberapa kawan yang belum bisa shalat, kita ajari bacaan shalat dan gerakannya. Jadi, kita mendorong waria yang Muslim untuk bisa shalat,” tutur Shinta.
Mulai bulan ini, Ponpes Waria Al Fatah juga menggelar pengajian mujahadah setiap Jumat malam. Dalam penyelenggaraan sejumlah kegiatan itu, ponpes tersebut bekerja sama dengan beberapa lembaga dan perguruan tinggi.
Shinta menyebut, ada sekitar 60 waria yang menjadi anggota Ponpes Waria Al Fatah. Sebagian besar waria itu tidak tinggal di lingkungan ponpes. ”Yang tinggal di sini cuma delapan orang,” katanya. Pekerjaan para waria itu juga bermacam-macam, antara lain pengamen, pekerja salon, dan pemulung.
Pada 2016, Ponpes Waria Al Fatah sempat didatangi sekelompok orang dari organisasi tertentu. Mereka memprotes keberadaan ponpes tersebut. Setelah peristiwa itu, Ponpes Waria Al Fatah sempat dinyatakan ditutup sementara. Namun, berkat dukungan sejumlah pihak, ponpes itu akhirnya bisa kembali menjalankan aktivitas.
Shinta mengatakan, dirinya sangat berterima kasih kepada para tokoh agama dan lembaga keagamaan yang mendukung dan membantu Ponpes Waria Al Fatah. Dukungan itu menunjukkan sejumlah tokoh dan lembaga agama sudah bisa menerima kehadiran waria.
”Support (dukungan) itu artinya agama ini benar-benar memanusiakan manusia. Agama bisa menerima waria yang mencari Tuhan-nya. Kepada orang-orang progresif inilah kami berterima kasih karena kami merasa punya hak yang sama dalam beribadah,” tutur Shinta yang juga menginisiasi kegiatan keagamaan untuk waria beragama Kristen dan Katolik.
Selain kegiatan keagamaan, Ponpes Waria Al Fatah membuat sejumlah inisiatif untuk membantu para waria, misalnya pemulasaraan jenazah waria dan family support group (kelompok pendukung keluarga).
Family support group itu, antara lain, berfungsi untuk menghubungkan kembali waria dengan keluarganya. ”Untuk waria-waria yang terusir dari rumah sampai tua, kami melakukan kontak kembali dengan keluarganya. Jadi, ketika waria itu sakit, keluarga bisa merawat. Dan ketika waria meninggal, jenazahnya bisa dibawa pulang ke rumah,” papar Shinta.
Ponpes tersebut juga aktif mengampanyekan pemenuhan hak-hak dasar waria dengan menggalang dukungan dari berbagai pihak. Sebab, selama ini, banyak waria yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya.
”Waria itu juga warga negara yang punya hak sama dalam hal apa saja, misalnya bantuan sosial, beribadah, pendidikan, dan akses kesehatan. Dari tadinya kami hanya ingin memperjuangkan hak beribadah, akhirnya kami berjuang untuk mendapatkan hak yang sama di dalam segala hal,” ungkap Shinta.
Selain itu, Ponpes Waria Al Fatah juga beberapa kali menggelar kegiatan di kampus untuk memberikan edukasi mengenai waria. Melalui edukasi itu, diharapkan para mahasiswa memiliki pemahaman yang utuh mengenai waria. ”Maunya kita, mereka menjadi agen perubahan supaya kalau suatu waktu punya keluarga waria tidak diusir dan dipersekusi,” ucap Shinta.
Shinta mengatakan, menjadi waria bukan sebuah pilihan, melainkan takdir. Oleh karena itu, seorang waria tidak bisa ”disembuhkan” agar menjadi laki-laki kembali. ”Waria ini, kan, bukan pilihan. Kami menjadi waria karena ditakdirkan. Tidak bisa waria itu dikawinkan lalu bisa kembali (jadi laki-laki),” ungkapnya.
Atas perjuangannya itu, Shinta memperoleh sejumlah penghargaan internasional. Pada 2019, ia memperoleh penghargaan sebagai pembela hak asasi manusia (HAM) dari Front Line Defenders, organisasi internasional yang berpusat di Irlandia. Pada Juli 2022, Shinta juga memperoleh penghargaan bidang keanekaragaman dan pembangunan berkelanjutan dari lembaga Casa Asia yang berbasis di Spanyol.
Shinta Ratri
Lahir: Bantul, 15 Oktober 1962
Aktivitas: Pemimpin Pondok Pesantren Waria Al Fatah
Penghargaan:
- Penghargaan sebagai pembela HAM dari Front Line Defenders
- Penghargaan bidang keanekaragaman dan pembangunan berkelanjutan dari Casa Asia