Transpuan sudah ada sejak dulu. Namun, hingga kini, stigmatisasi dan diskriminasi yang dialami transpuan tetap sama. Negara perlu menjamin hak-hak warga negara transpuan sehingga mereka bisa hidup lebih sejahtera.
JAKARTA, KOMPAS — Transpuan ada di sekitar kita sejak lama. Namun, dari dulu hingga sekarang, mereka jatuh bangun berjuang agar bisa diterima keluarga, masyarakat, dan lingkungannya. Kuatnya stigmatisasi membuat transpuan terdiskriminasi. Hak-hak mereka sebagai warga negara banyak dilanggar. Transpuan pun kian tersisih di negerinya sendiri.
Lenny Sugiharto (63), transpuan yang juga Ketua Yayasan Srikandi Sejati (YSS), dalam diskusi Kompas tentang transpuan di Jakarta, Kamis (14/7/2022), mengatakan, transpuan umumnya sudah terlihat sejak kecil. Gaya tampilan dan perilaku mereka terlalu feminin sehingga tidak sejalan dengan kondisi fisiknya yang cenderung seperti laki-laki.
Kurangnya penerimaan keluarga dan masyarakat sekitar membuat banyak transpuan muda putus sekolah dan merantau ke kota-kota besar dengan menumpang hidup pada transpuan seniornya. Setelah bekerja, transpuan muda itu umumnya akan pindah atau mengontrak sendiri.
Dengan modal nekat dan tanpa bekal pendidikan formal ataupun keterampilan yang memadai, mereka hanya bisa mengakses sektor kerja informal, seperti pengamen jalanan, pegawai salon, dan pekerja seks.
Mereka yang bekerja di salon pun umumnya salon yang dikelola oleh transpuan. Salon umum cenderung enggan mempekerjakan transpuan yang berpakaian seperti perempuan. Mereka lebih bisa menerima pekerja salon laki-laki yang feminin, tetapi tetap memakai pakaian laki-laki.
Ketua Pesatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos) Sonya Vanessa (62) mengatakan, mayoritas anggotanya yang sebanyak 460 orang berusia produktif. Namun, karena rendahnya pendidikan dan kuatnya stigmatisasi, lapangan pekerjaan yang bisa mereka dapatkan sangat terbatas.
”Waria di Surabaya itu mayoritas pekerjaannya salon, ngamen, dan mejeng. Kalau tidak bekerja di salon, ya ngamen. Kebanyakan memilih mejeng atau menjadi pekerja seks karena selain dapat uang, mereka juga bisa memenuhi kebutuhan biologisnya,” ujar Sonya, Sabtu (16/7/2022).
Eyang Erna (70), transpuan asal Kediri, Jawa Timur, yang telah mengamen di DI Yogyakarta sejak lebih dari 25 tahun lalu menuturkan, transpuan tidak punya banyak pilihan. Apalagi, dulu masih ada yang menganggap waria itu najis. ”Kalau kerja kantoran, apalagi waktu dulu, sangat sulit diterima. Jadi, pilihannya kerja berkesenian, termasuk di jalan,” ujarnya saat mengamen di bawah Jembatan Layang Janti, Yogyakarta, Rabu (20/7/2022) malam.
Hidup di jalan tidak mudah dijalani. Mereka sering menjadi korban kekerasan serta dirazia. ”Padahal, kami pun bukan sengaja ingin menjadi transpuan. Ini adalah sesuatu yang given (pemberian),” tambah Erna.
Transpuan pekerja seks juga penuh risiko. Mereka bisa menjadi korban kejahatan dan terinfeksi penyakit menular seksual seperti HIV.
Menurut Betty (46), transpuan pekerja seks di Jakarta Timur, pengetahuan tentang penyakit menular seksual masih begitu asing buat transpuan bertahun-tahun lalu. Mereka ”bermain” sembarangan hingga tak sedikit yang terinfeksi HIV dan meninggal.
”Banyak yang kena HIV sebab dulu kami masih awam soal kondom. Mau berobat juga dulu sulit karena takut didiskriminasi,” katanya.
Menurut Mami Yuli, Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI), di Jabodetabek, FKWI beranggotakan sekitar 4.000 transpuan, dengan 831 di antaranya lansia dan benar-benar hidupnya bergantung pada kebaikan masyarakat. Mereka umumnya tidak mempunyai pekerjaan dan miskin, tidak memiliki keluarga, tidak punya tempat tinggal tetap, dan sakit-sakitan.
Ingin diterima
Kerasnya kehidupan, dibuang keluarga, diabaikan lingkungan membuat transpuan harus bisa hidup mandiri. Situasi itu membuat mereka bersikap masa bodoh dengan masyarakat sekitar. Akibatnya, mereka kerap enggan mengurus hal-hal terkait administrasi publik, seperti kartu tanda penduduk (KTP).
”Transpuan umumnya hidup tanpa identitas diri,” kata Lenny. Meski pemerintah telah memiliki program afirmasi untuk mempermudah transpuan memiliki KTP, sebagian transpuan enggan karena mereka diharuskan memilih jenis kelamin sesuai kelamin lahirnya walau boleh berfoto dengan dandanan seperti perempuan.
”Kami hanya ingin bisa diterima saja,” kata Lenny. Penerimaan itu akan membuat transpuan bisa berkembang dan berkarya lebih luas mengembangkan potensi dan bakatnya, tidak seperti sekarang yang banyak terjebak dalam pekerjaan-pekerjaan yang lemah perlindungan hukumnya.
Besarnya risiko pekerjaan transpuan membuat kualitas kesehatan mereka juga rendah. Direktur Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat yang juga Koordinator Wilayah Selatan (Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara) Asosiasi Antropologi Indonesia Inang Winarso mengatakan, transpuan adalah salah satu komunitas dengan penularan HIV yang tinggi.
Tingginya transpuan yang terpapar HIV salah satunya dipicu oleh diabaikannya transpuan. Mereka ada, tetapi dianggap tidak ada. Hak-hak mereka sebagai warga negara banyak yang dilanggar negara. Hak pendidikan, pekerjaan dan penghidupan layak, kesehatan dan kesejahteraan sosial, hingga hak beragama pun banyak yang tidak dipenuhi negara.
”Nasib transpuan buruk karena ruang publik yang menampung mereka tertutup,” katanya.
Kami hanya ingin bisa diterima saja.
Transpuan terpinggirkan, terutama mulai 1980-an saat makin terkukuhkan konstruksi jender di masyarakat yang menegaskan laki-laki harus maskulin dan perempuan harus feminin. Di luar itu, tak ada ruang bagi masyarakat untuk bisa mengekspresikan jender.
Padahal, Indonesia memiliki bissu, rohaniwan transpuan dalam suku Bugis di Sulawesi Selatan. Pada masa Jawa kuno, sejumlah transpuan pun dijadikan abdi dalem yang bertugas mendampingi raja dalam berbagai kegiatan.
Karena itu, agar transpuan bisa lebih diterima masyarakat, tafsir ulang atas sejumlah dogma yang meminggirkan transpuan perlu dilakukan. Di sisi lain, transpuan juga harus lebih agresif untuk menyuarakan hak-haknya, termasuk dalam hak beragama. Identitas jender dan jenis kelamin mereka memang tidak bersesuaian, tetapi spiritualitas mereka tidak hilang.
Tiga level diskriminasi
Di era Orde Baru, transpuan pernah diakomodasi sayap organisasi politik. Di dalamnya, transpuan tak hanya dijadikan alat kepentingan politik, tetapi juga diurusi organisasinya. Hal itu menunjukkan pembangunan transpuan tak hanya menggunakan jalur kultural, tetapi juga struktural.
”Sejarah transpuan Indonesia di masa lalu tidak seburuk dengan yang terjadi sekarang,” tambah Inang.
Inang menilai, diskriminasi yang dialami transpuan setidaknya terjadi dalam tiga level, yaitu tingkat individu, kultural, dan struktural.
Di tingkat individu, banyak transpuan mengalami pengusiran dari rumahnya dan persekusi. Di level kultural, banyak transpuan sulit menjalankan ibadah. Diskriminasi di tingkat individu dan kultural ini harus diselesaikan di tingkat keluarga dan masyarakat. Pembauran transpuan dengan masyarakat akan menciptakan masyarakat yang inklusif.
Sementara itu, diskriminasi struktural banyak dialami transpuan yang kesulitan mengakses pendidikan, pekerjaan yang layak, hingga didiskriminasi oleh negara melalui aturan-aturan yang makin meminggirkan mereka. Diskriminasi ini hanya bisa diatasi dengan kebijakan afirmasi pemerintah dalam memenuhi hak-hak warga negara transpuan.