Beragama merupakan kebutuhan spiritual yang dimiliki oleh siapa saja, termasuk transpuan. Oleh karena itu, mereka juga memiliki hak untuk beragama dan menjalankan ibadah menurut kepercayaannya.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Lantunan ayat suci Al Quran terdengar dari Pondok Pesantren Waria Al Fatah, Jumat (22/7/2022) malam. Di tempat itu tampak belasan orang duduk berhadapan dan bersama-sama membaca Surat Yasin. Sebagian dari mereka adalah ibu-ibu, sedangkan sebagian lain adalah para transpuan.
Malam itu, Ponpes Waria Al Fatah menggelar mujahadah bersama ibu-ibu yang tinggal di sekitar pondok tersebut. Acara doa bersama itu digelar di teras pondok yang berlokasi di Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Dalam kegiatan tersebut, sejumlah transpuan turut terlibat secara aktif. Tanpa perasaan canggung sama sekali, mereka ikut membaca ayat-ayat suci Al Quran, melafalkan Asmaulhusna atau nama-nama Allah, hingga memanjatkan doa secara bersama-sama.
Salah seorang transpuan di acara itu adalah Erni Menyan (66). Mengenakan baju terusan warna ungu dan jilbab hitam, Erni ikut membaca Surat Yasin bersama jemaah mujahadah. Transpuan asal Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, itu juga tampak khusyuk saat melafalkan kalimat tahlil yang bermakna permohonan ampun kepada Allah.
Erni merupakan salah satu santriwati senior di Ponpes Waria Al Fatah. Dia sudah terlibat dalam kegiatan pondok sejak awal ponpes berdiri. Itulah kenapa Erni sudah cukup lancar membaca Al Quran. Transpuan yang sehari-hari mengamen itu juga sudah memahami tata cara shalat dan bahkan terkadang menjalankan puasa Senin dan Kamis.
”Kalau shalat, saya tetap pakai baju laki-laki. Tapi kalau pas ngamen, ya, pakai baju cewek. Kalau salat pakai baju cewek, saya enggak nyaman. Nyamannya pakai baju koko dan sarung,” tutur Erni, yang tinggal di wilayah Maguwoharjo, Kabupaten Sleman, DIY.
Pemimpin Ponpes Waria Al Fatah Shinta Ratri (60) menjelaskan, pendirian ponpes itu berawal dari kegiatan doa bersama setelah terjadinya gempa bumi di DIY tahun 2006. Dalam doa bersama yang digelar komunitas transpuan itu, hadir para tokoh lintas agama, termasuk Ustaz Kiai Haji Hamrolie Harun.
”Dari doa bersama itu, kami lalu diajak pengajian rutin sama Pak Kiai Hamrolie. Dari pengajian rutin itulah muncul ide untuk bikin pondok pesantren waria,” ujar Shinta.
Menurut Shinta, Ponpes Waria Al Fatah resmi terbentuk pada 2008. ”Nama Al Fatah itu juga diambil dari nama pengajian mujahadah yang diasuh Pak Hamrolie,” katanya. Selain menjadi tempat belajar agama bagi transpuan, ponpes itu juga menyediakan ruang yang aman dan nyaman untuk para transpuan menjalankan ibadah.
”Situasi kawan-kawan waria ini, kan, ketika mengakses ruang publik untuk beribadah itu banyak ketidaknyamanan,” papar Shinta.
Kebutuhan spiritual
Shinta menyebut, beragama merupakan kebutuhan spiritual yang dimiliki oleh siapa saja, termasuk transpuan. Oleh karena itu, mereka juga memiliki hak untuk beragama dan menjalankan ibadah menurut kepercayaannya.
”Beragama itu, kan, dorongan spiritual yang harus dipenuhi. Itu bisa menenteramkan hati, menenangkan pikiran, menjawab kegelisahan. Jadi, apa pun agamanya, ketika orang punya keimanan yang kuat, dia punya pegangan,” ungkapnya.
Ponpes Waria Al Fatah memiliki beberapa kegiatan rutin. Salah satunya, pembelajaran agama, misalnya latihan membaca Al Quran, hafalan surat-surat pendek, hingga tata cara shalat. Ponpes itu juga rutin menggelar pelatihan keterampilan bagi para transpuan untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Saat ini, kata Shinta, jumlah transpuan yang menjadi anggota ponpes itu sekitar 60 orang. Sebagian besar tinggal di luar ponpes dengan pekerjaan bermacam-macam, misalnya pengamen, pekerja salon, dan pemulung.
Beragama merupakan kebutuhan spiritual yang dimiliki oleh siapa saja, termasuk transpuan. Oleh karena itu, mereka juga memiliki hak untuk beragama dan menjalankan ibadah menurut kepercayaannya.
Pada tahun 2016, Ponpes Waria Al Fatah mendapat penolakan dari organisasi tertentu. Para anggota organisasi tersebut juga mendatangi Ponpes Waria Al Fatah. Namun, berkat dukungan sejumlah pihak, ponpes itu tetap bisa meneruskan kegiatannya.
Bahkan, Ponpes Waria Al Fatah kini memiliki hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Hal ini, antara lain, tampak dari kegiatan mujahadah yang digelar bersama dengan ibu-ibu yang tinggal di sekitar ponpes.
Salah seorang warga yang tinggal di sekitar Ponpes Waria Al Fatah, Rosidah (50), mengaku tidak keberatan dengan keberadaan ponpes tersebut. Setelah mengetahui aktivitas pembelajaran agama di ponpes itu, Rosidah dan beberapa ibu lainnya bahkan sepakat menggelar mujahadah bersama para transpuan di Ponpes Waria Al Fatah.
”Insya Allah enggak ada persoalan. Kan, kami niatnya cuma ibadah, enggak ada niat apa-apa,” tutur Rosidah.
Persekutuan doa
Selain memimpin Ponpes Waria Al Fatah, Shinta Ratri juga menginisiasi aktivitas keagamaan untuk para waria di DIY yang beragama Kristen dan Katolik. Dari inisiatif itulah terbentuk Persekutuan Doa Jalan Terang Kasih Tuhan yang rutin menggelar kebaktian untuk para transpuan beragama Kristen dan Katolik.
Pembina Persekutuan Doa Jalan Terang Kasih Tuhan, Ratna Setianingsih (53), menuturkan, persekutuan doa itu terbentuk pada 23 April 2021. Menurut Ratna, kelompok itu dibentuk karena belum ada kegiatan bimbingan rohani untuk para transpuan Kristen dan Katolik di DIY.
”Saya tergelitik ketika mereka bercerita tidak ada yang membina selama ini. Sementara kalau mereka mau datang ke tempat ibadah resmi, mereka mendapatkan pandangan mata berbeda,” tutur Ratna.
Ratna menuturkan, Persekutuan Doa Jalan Terang Kasih Tuhan rutin menggelar ibadah dalam kelompok besar dua kali sebulan. Selain itu, ada juga ibadah dalam kelompok kecil dua kali sebulan. Kegiatan ibadah itu biasanya digelar di sebuah hotel di Kota Yogyakarta dan biasanya diikuti sekitar 25-30 orang transpuan serta orang-orang selain transpuan. ”Di luar waria ada yang ikut juga sehingga totalnya bisa 60 orang dalam sekali ibadah,” katanya.
Ratna menyebut, secara spiritual, semua orang sebenarnya sama. Oleh karena itu, para transpuan seharusnya tidak diperlakukan berbeda. ”Kalau kita bicara dari kaca mata spiritual, kita ini sebenarnya sama di hadapan Tuhan, sebagai orang yang berdosa,” ujarnya.
Salah seorang transpuan, Heri Yanto (57), mengaku mengikuti kegiatan Persekutuan Doa Jalan Terang Kasih Tuhan sejak tahun lalu. Ia menyebut, setelah mengikuti kegiatan tersebut, dirinya merasa mendapat kedamaian sekaligus bisa menjalin rasa persahabatan dengan orang-orang di luar kelompok transpuan.
”Saya mendapat kedamaian dan ada suatu ikatan persaudaran. Seakan-akan enggak ada perbedaan antara miskin dengan kaya dan bodoh dengan pintar,” tutur transpuan yang memiliki nama alias Kunti itu.