Capaian Imunisasi Masih Rendah, Disparitas Terjadi di Daerah
Cakupan imunisasi campak-rubela pada program Bulan Imunisasi Anak Nasional tahap pertama masih rendah. Padahal, program yang dilaksanakan pada provinsi di luar Jawa dan Bali ini akan segera berakhir.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepekan menjelang berakhirnya program Bulan Imunisasi Anak Nasional atau BIAN untuk provinsi di luar Jawa-Bali, capaian imunisasi tambahan campak-rubela baru 46 persen. Itu artinya kekebalan komunitas yang diharapkan bisa melindungi anak-anak dari ancaman penyakit berbahaya sulit terwujud.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu, dihubungi di Jakarta, Jumat (22/7/2022), mengatakan, cakupan imunisasi selama pelaksanaan BIAN pada provinsi di luar Jawa-Bali cukup rendah. Padahal, target cakupan imunisasi pada program tersebut sebesar 95 persen dengan sasaran 27 juta anak.
”Masa libur anak sekolah menjadi salah satu penyebab utama cakupan yang tidak optimal. Kami akan evaluasi lagi akhir Juli untuk perpanjangan (pelaksanaan) BIAN di luar Jawa-Bali,” katanya.
Bulan Imunisasi Anak Nasional merupakan program yang dicanangkan Kementerian Kesehatan untuk mengejar cakupan imunisasi rutin yang menurun secara signifikan selama masa pandemi Covid-19. Dalam program ini, setiap anak akan mendapatkan imunisasi tambahan campak-rubela serta melengkapi dosis imunisasi polio dan DPT-HB-Hib yang terlewat.
Ada dua tahap pelaksanaan BIAN. Tahap pertama dilaksanakan di provinsi di Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua pada Mei sampai Juli 2022. Jadwal ini telah diperpanjang dari rencana sebelumnya hanya dari Mei sampai Juni 2022. Sementara untuk provinsi di Jawa dan Bali akan dimulai pada Agustus 2022.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan Prima Yosephine mengatakan, selain cakupan imunisasi yang masih rendah, tantangan lain yang dihadapi ialah cakupan imunisasi yang tidak merata di Indonesia. Hal ini mengakibatkan kekebalan kelompok atau herd immunity yang diharapkan tidak terbentuk.
Data Kementerian Kesehatan per 21 Juli 2022 memperlihatkan, disparitas cakupan imunisasi selama BIAN di luar Jawa-Bali terlihat pada cakupan imunisasi tambahan campak-rubela.
Meski belum optimal, cakupan tertinggi dilaporkan dari Provinsi Lampung (69,9 persen), Sulawesi Selatan (62,9 persen), dan Kalimantan Timur (58,4 persen). Sementara cakupan terendah dilaporkan di Provinsi Aceh (11,5 persen), Papua (15,2 persen), dan Sumatera Barat (30,9 persen).
”Cakupan sasaran yang didapatkan di daerah ini menunjukkan tingkat perlindungan kelompok di suatu wilayah. Oleh karena itu, peningkatan cakupan layanan imunisasi perlu optimalisasi, baik dari sektor kesehatan publik maupun swasta,” tutur Prima.
Kejadian luar biasa
Ketua Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Hartono Gunadi menuturkan, cakupan imunisasi pada anak harus tinggi untuk membentuk kekebalan kelompok di suatu wilayah. Setidaknya, cakupan imunisasi yang dicapai minimal 85 persen.
Jika tidak, risiko terjadinya penularan penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi (PD3I) bisa terjadi. Kejadian luar biasa penyakit berbahaya tersebut pun sulit dihindari.
”Kekebalan komunitas yang terbentuk itu tidak hanya bisa melindungi anak yang sudah mendapatkan imunisasi, tetapi juga yang belum mendapatkannya, seperti anak-anak yang mengalami gangguan sehingga tidak bisa diimunisasi ataupun anak-anak yang memang usianya belum saatnya mendapatkan imunisasi,” kata Hartono.
Sampai dengan minggu ke-27 pada 2022, setidaknya sudah dilaporkan 26 kasus KLB campak, 10 KLB rubela, dan satu KLB campak-rubela. KLB campak dilaporkan di 26 kabupaten/kota di 4 provinsi, KLB rubela di 10 kabupaten/kota di 8 provinsi, dan KLB ganda campak-rubela dilaporkan di Batu, Jawa Timur. Selain itu, dilaporkan pula adanya kasus difteri di 24 kabupaten/kota yang tersebar di 11 provinsi.
Kekebalan komunitas yang terbentuk itu tidak hanya bisa melindungi anak yang sudah mendapatkan imunisasi, tetapi juga yang belum mendapatkannya.
Hartono pun berharap orangtua segera membawa anaknya untuk mendapatkan imunisasi. Buku Kesehatan Ibu dan Anak harus kembali diperiksa untuk melihat jadwal imunisasi yang harus diberikan kepada anak. Segera lengkapi imunisasi yang sempat tertunda.
”Inovasi di daerah juga bisa dilakukan, misalnya, dengan sistem jemput bola pada anak-anak yang belum mendapatkan imunisasi rutin lengkap. Kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi perlu ditingkatkan untuk melindungi anak-anak kita dari penyakit yang berbahaya, seperti campak, rubela, difteri, dan polio,” tuturnya.
BIAN Jawa-Bali
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam siaran pers menuturkan, pemerintah kini telah bersiap untuk melanjutkan program BIAN untuk provinsi yang berada di Pulau Jawa dan Bali. Ditargetkan, 9,4 juta anak di wilayah tersebut mendapatkan imunisasi tambahan campak-rubela dan imunisasi penting lainnya.
”BIAN hadir bukan sebagai program, melainkan wujud gerakan bersama yang tidak hanya dikerjakan pemerintah, tetapi bersama-sama dengan seluruh stakeholder terkait supaya semakin banyak anak yang mendapatkan perlindungan tambahan pada anak,” katanya.
Menurut dia, BIAN merupakan momentum penting untuk meningkatkan kekebalan tubuh anak dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, seperti campak, hepatitis, polio, tetanus, rubela, dan difteri. Selain itu, pelaksanaan BIAN pun amat penting karena tercatat 1,7 juta anak di Indonesia belum mendapatkan imunisasi dasar lengkap selama pandemi.
”Jika tidak segera ditangani akan berdampak pada peningkatan jumlah kasus PD3I dan terjadinya KLB PD3I di beberapa wilayah. Ini sekaligus menjadi beban ganda pemerintah di tengah upaya pengendalian pandemi Covid-19 dan penyakit infeksi baru lainnya,” kata Budi.
Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Suhajar Diantoro menyampaikan, instruksi telah diberikan kepada seluruh kepala daerah untuk menyukseskan pelaksanaan BIAN 2022. Tujuh provinsi di Pulau Jawa dan Bali pun telah mengalokasikan anggaran program imunisasi anak pada 2022.
Rinciannya, Provinsi Jawa Timur telah menganggarkan Rp 306,64 miliar, Jawa Barat Rp 230,96 miliar, Jawa Tengah Rp 218,67 miliar, Banten Rp 143,47 miliar, Bali Rp 61,89 miliar, Yogyakarta Rp 41,21 miliar, dan DKI Jakarta sebesar Rp 30,91 miliar.
”Alokasi anggaran kesehatan yang dimaksud diharapkan bisa digunakan sebaik-baiknya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat,” ucap Suhajar.