Lindungi Anak Indonesia dari Tengkes dan Putus Sekolah
Perlindungan anak-anak Indonesia harus juga memastikan terpenuhinya hak pendidikan dan kesehatan anak. Sebab, ancaman tengkes dan putus sekolah masih membayangi kehidupan anak-anak Indonesia.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan anak harus memastikan terpenuhinya hak kesehatan dan pendidikan anak yang merupakan target ketiga dan keempat Tujuan Pembangunan Bekerlanjutan atau Sustainable Development Goals 2030. Hal ini sejalan dengan peringatan Hari Anak Nasional 2022 yang mengusung tema ”Anak Terlindungi, Indonesia Maju”.
Peneliti bidang sosial The Indonesian Institute (TII), Center for Public Policy Research, Nisaaul Muthiah, di Jakarta, Kamis (21/7/2022), memaparkan beberapa aspek perlindungan anak yang penting adalah memenuhi hak kesehatan dan pendidikan. Dalam kajian bulanan edisi Juli 2022, TII juga mendorong penanganan stunting atau tengkes dan perbaikan implementasi Program Indonesia Pintar (PIP).
Angka prevalensi tengkes di Indonesia pada tahun 2021 masih 24,4 persen. Kondisi tersebut masih sangat jauh dari target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Padahal, menurunkan tengkes sangat penting bagi perkembangan anak dan pembangunan bangsa karena tengkes menjadi ancaman besar bagi perkembangan kualitas sumber daya manusia.
Menurut Nisaaul, faktor yang perlu dioptimalkan untuk mengakhiri tengkes di antaranya memperkuat ketahanan pangan rumah tangga, meningkatkan kualitas layanan kesehatan, dan menciptakan lingkungan yang ramah bagi perempuan. Selain itu, pola asuh yang berkualitas dan berperspektif jender.
Ketahanan pangan rumah tangga sangat penting untuk memenuhi kebutuhan gizi sejak masa kehamilan. Selain itu, lingkungan yang ramah bagi perempuan diperlukan untuk mendukung ibu dalam memberikan air susu ibu (ASI) ekslusif hingga bayi berusia enam bulan. ASI eksklusif sangat penting untuk mencegah tengkes. Namun, belum semua tempat kerja menyediakan tempat menyusui bagi ibu seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2013 tentang Pemberian ASI Eksklusif.
”Kesadaran berbagai pihak dalam menghapus tengkes sangat diperlukan, termasuk sektor privat dan pemerintah untuk mempertegas berbagai aturan pencegahan sudah ada. Kita juga perlu mendorong dan mengawasi pengesahan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) untuk memperkuat upaya pencegahan dan penghapusan tengkes di Indonesia,” papar Nisaaul.
Inovasi untuk mencegah tengkes juga dilakukan ilmuwan dari perguruan tinggi. Telkom University, salah satunya, berkontribusi dengan melahirkan inovasi e-Growth Chart Monitoring System (EGCMS) untuk mencegah tengkes di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Inovasi ini dihadirkan sebagai upaya akselerasi mencegah tengkes dan kurang gizi berbasis posyandu di wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sistem alat ukur dan pengawasan ini merupakan buah dari inovasi lintas bidang keilmuan di Telkom University, yakni teknik elektro, instrumentasi biomedis, serta desain industri.
Sistem yang dibangun Telkom University sejak tahun 2020 tersebut awalnya untuk membantu kader posyandu mengetahui tumbuh kembang bayi dan anak balita pada saat pelaksanaan kegiatan posyandu.
Husneni Mukhtar, ketua tim program yang juga dosen Fakultas Teknik Elektro Telkom University, menyampaikan, EGCMS v.2.0 memudahkan kader posyandu dalam mengukur berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) dengan sekali ukur saja. Setelah itu, sistem secara otomatis akan memberikan hasil kategori TB/BB-nya berdasarkan matriks tumbuh kembang bayi dan anak balita.
”Sebanyak 36 desa di Kabupaten Bandung telah menerima alat ini dan penyuluhan dibantu oleh dosen dari Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran bidang kesehatan komunitas/masyarakat,” ujar Huseni.
Akses pendidikan
Jaminan perlindungan anak lainnya yang vital adalah memenuhi hak pendidikan. Saat ini, masih banyaknya anak yang belum mampu mengakses layanan pendidikan, ujar Nisaaul, menunjukkan belum berhasilnya Program Indonesia Pintar dalam mewujudkan pemerataan pendidikan, utamanya anak dari keluarga miskin.
Pada tahun 2021, terdapat 29 persen anak usia sekolah dasar dan menengah yang tidak bersekolah. Mayoritas berasal dari keluarga miskin. Banyak anak dari kelompok tersebut yang tidak mengikuti Program Indonesia Pintar.
Ketahanan pangan rumah tangga sangat penting untuk memenuhi kebutuhan gizi sejak masa kehamilan.
Menurut Nisaaul, Kemendikbudristek dan Kementerian Agama perlu memperluas cakupan penerima bantuan Program Indonesia Pintar. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan jumlah bantuan program itu dan menyesuaikannya dengan biaya pendidikan di setiap daerah.
”Sejak tahun 2014, jumlah besaran bantuan program tersebut tidak pernah meningkat. Padahal, kebutuhan pendidikan selalu meningkat tiap tahunnya. Terakhir, yang tidak kalah penting adalah perlu perbaikan data penerima untuk meminimalisasi penyelewengan dana bantuan,” katanya.