Menyoal Peranan Bapak Asuh dalam Pencegahan Tengkes
Konsep program Bapak Asuh Anak Stunting merupakan upaya yang baik, tetapi perlu dikaji ulang mengingat pemahaman masyarakat tentang bahaya tengkes belum optimal. Soal tengkes tak sekadar soal asupan makanan bergizi.
Oleh
NI KETUT ARYASTAMI
·5 menit baca
Hari Keluarga Nasional menjadi momentum bagi pemerintah, dalam hal ini Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), untuk mengakomodasi konsep gotong royong sesuai arahan Presiden dalam upaya percepatan penurunan stunting atau tengkes. Sudah tepatkah?
Dalam upaya kesehatan, termasuk penanggulangan pertumbuhan anak yang kerdil (tengkes), dikenal dua macam intervensi pemerintah, yaitu intervensi sensitif dan intervensi spesifik. Intervensi sensitif berorientasi pada upaya penanggulangan determinan non-kesehatan yang dapat menjadi faktor risiko mendasar terjadinya tengkes pada masa 1.000 hari pertama kehidupan, misalnya faktor ekonomi, pendidikan, ketersediaan pangan, kesehatan lingkungan, dan ketersediaan air bersih.
Sementara itu, intervensi spesifik merupakan upaya pencegahan dan penanggulangan yang lebih mengantisipasi dampak kesehatan. Sebagai contoh adalah pencegahan berat badan rendah pada bayi lahir, mendorong pemberian ASI secara eksklusif, pemberian imunisasi dasar kepada bayi, pemberian makanan pendamping ASI secara optimal, pemberian tablet tambah darah, serta pencegahan kekurangan asupan energi dan protein secara kronis pada ibu hamil dengan memberikan asupan gizi yang baik.
Tujuan akhir upaya intervensi adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, agar bayi yang dilahirkan dapat menjadi generasi emas sepanjang usia produktifnya. Konsep pentahelix yang mengintegrasikan para pengambil kebijakan sebagai upaya bersama yang berkesinambungan dari unsur pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat, dan media merupakan benang merah yang terpilin dalam mencapai tujuan percepatan penurunan tengkes menjadi 14 persen pada 2024.
Upaya percepatan penurunan tengkes telah didengungkan sejak 2013 mengingat prevalensi masalah yang tinggi, 37,7 persen, jauh di atas ambang batas 20 persen yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hingga 2018, prevalensi tengkes di Indonesia masih tinggi, meski telah menurun menjadi 30,8 persen. Padahal, pada November 2017, pemerintah telah meluncurkan Gebrak Stunting Nasional, yang ditindaklanjuti dengan upaya percepatan penurunan tengkes dengan fokus lebih jelas, termasuk penentuan lokus intervensi di tingkat kabupaten/kota, secara bertahap.
Pertimbangan anggaran
Bertepatan dengan Hari Keluarga Nasional 2022, BKKBN meluncurkan program baru, yaitu Bapak Asuh Anak Stunting. Program ini, mengusung konsep gotong royong melalui pemberian dana pendampingan untuk meningkatkan kualitas gizi anak, menjadi pemikiran yang masih perlu dikaji.
Menurut Kepala BKKBN (dikutip dari Antaranews.com), pemberian makanan sehat kepada anak usia di bawah dua tahun akan dilakukan oleh Tim Pendamping Keluarga (TPK) di desa. Dengan pengalokasian anggaran yang cukup besar, Rp 500.000 per bulan per anak tengkes (atau Rp 15.000 per hari), apabila dikalikan dengan jumlah bayi yang lahir tengkes (1,2 juta bayi per tahun), dibutuhkan Rp 600 miliar per tahun. Dan ini belum termasuk para bayi yang telah lahir hingga berusia dua tahun.
Konsep program bapak asuh dengan mengajak para donatur merupakan upaya yang baik, tetapi perlu dikaji ulang mengingat pemahaman masyarakat tentang bahaya tengkes masih belum optimal. Risiko kejadian tengkes adalah kemampuan kognitif yang lebih rendah pada masa sekolah sehingga menjadi kalah bersaing pada usia reproduktif.
Risiko yang lebih besar, menurut hipotesis Barker, adalah penyakit tidak menular pada usia dewasa akibat perkembangan organ tubuh pada masa janin yang terhambat sehingga fungsi organ ketika dewasa, apalagi dengan asupan gizi yang salah, dapat menyebabkan penyakit diabetes, jantung, hipertensi, dan gangguan ginjal, yang tergolong sebagai penyakit yang membutuhkan biaya penanganan tinggi.
Penyebab tengkes dan intervensi bapak asuh
Tengkes sebagai masalah gizi kronis dapat dimulai dari masa janin karena ibu yang kurang gizi sehingga bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Pertumbuhan janin yang terganggu mengakibatkan tumbuh kembang otak dan organ janin terganggu.
Secara fisik, tengkes ditunjukkan dengan pertumbuhan yang tidak optimal, alias kerdil atau pendek. Namun, tidak semua orang yang pendek disebabkan oleh tengkes. Menurut Gluckman, 17-20 persen anak yang tumbuh pendek disebabkan oleh faktor genetik atau keturunan.
Pemahaman tentang kebutuhan gizi yang sedikit, tetapi memenuhi syarat gizi, ini harus diberikan kepada TPK apabila program bapak asuh diterapkan.
Kunci mendasar dalam upaya percepatan penurunan tengkes adalah pemahaman masalah terlebih dahulu oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat luas. Pemberian makanan oleh TPK membutuhkan sosialisasi mendasar terkait tengkes karena pemenuhan kebutuhan gizi untuk anak tengkes agak berbeda dibandingkan kebutuhan anak balita sehat.
Anak yang terlahir BBLR wajib diberi ASI secara eksklusif. Untuk mendapatkan kualitas ASI yang baik, yang pertama kali harus diintervensi dengan asupan gizi optimal, baik berupa zat gizi makro maupun mikro, adalah ibunya. Upaya perbaikan gizi ibu ini harus dibarengi pula dengan pendampingan.
Untuk sang bayi, pemberian makanan pendamping ASI oleh TPK harus mengacu pada standar IYCF, yakni terpenuhinya zat gizi makro ataupun mikro. Kebutuhan gizi bayi setelah lepas ASI eksklusif sangat sedikit dan berangsur lebih banyak, sesuai pertambahan usianya. Pemahaman tentang kebutuhan gizi yang sedikit, tetapi memenuhi syarat gizi, ini harus diberikan kepada TPK apabila program bapak asuh diterapkan agar tak terjadi pemberian makan yang tidak optimal, yang dapat memicu bahaya kesehatan lain.
Pemberian makan yang tidak optimal dapat menjadikan bayi tumbuh ke samping, menjadi terlalu gemuk, akibat terjadinya kelebihan gizi, apalagi ragam zat gizi yang diberikan tidak seimbang. Apabila hal ini terjadi, faktor risiko hambatan pertumbuhan selama janin semakin berat dan dapat terbawa hingga usia dewasa. Di sini pulalah pentingnya pengetahuan pengelola anggaran yang akan menyiapkan makanan pada anak usia di bawah dua tahun (baduta), agar bantuan yang diberikan tidak menjadi bumerang atau tidak efisien.
Pemberian makanan pendamping ASI dan atau makanan tambahan kepada baduta harus didasari filosofi ”tahu dan mau berubah” dalam pengasuhan bayi oleh keluarga. Perubahan perilaku masyarakat agar bayi di dalam kandungan terjaga kesehatannya, lahir tidak BBLR, dan dirawat dengan optimal membutuhkan gebrakan bersama dan maraton.
Social marketing yang tepat, penyesuaian kurikulum di bidang akademik, peningkatan sanitasi dan penyediaan air bersih, pelayanan kesehatan dengan pemberian imunisasi dasar secara lengkap, penyediaan pangan yang cukup dan terjangkau, kampanye makanan sehat dan bergizi oleh organisasi profesi dan tenaga kesehatan, serta pemanfaatan media sosial dapat menjadikan upaya yang lebih terpadu sehingga dapat diharapkan lebih efektif dan efisien.
Akhirnya, pertimbangan program Bapak Asuh Anak Stunting membutuhkan kesepakatan teknis pengaturan siapa berbuat apa, yang sebaiknya lebih mengedepankan upaya dan penguatan peran masyarakat sipil. Fungsi pemerintah cukup memfasilitasi sehingga gerakan dapat termonitor secara substantif. Sebagai inisiatif masyarakat sipil, karena ada penggalangan sumber daya non-pemerintah, memastikan transparansi dan akuntabilitas sosial menjadi upaya yang tidak bisa dipisahkan.
Ni Ketut Aryastami, Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)