Komunikasi terkait imunisasi rutin lengkap pada anak perlu dilakukan secara komprehensif. Dengan begitu, kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi bisa lebih baik. Permintaan untuk imunisasi pun dapat meningkat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang kurang menjadi penyebab rendahnya cakupan imunisasi rutin di Indonesia. Untuk itu, strategi komunikasi terkait imunisasi harus lebih komprehensif sehingga dapat meningkatkan permintaan akan pelayanan imunisasi di masyarakat.
Kementerian Kesehatan mencatat, lebih dari 1,7 juta anak di Indonesia belum mendapatkan imunisasi dasar lengkap sepanjang 2019-2021. Secara nasional, hanya enam provinsi yang mencapai target cakupan imunisasi sebesar 93,6 persen pada 2021. Pada 2020, cakupan untuk vaksinasi campak hanya 45 persen dan vaksinasi difteri tetanus (DT) hanya 40 persen.
Pelaksana Tugas Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan Prima Yosephine menyampaikan, tingkat pengetahuan dan faktor sosial budaya merupakan aspek penghambat utama imunisasi anak di Indonesia. Selain itu, kesalahpahaman informasi tentang imunisasi, khususnya yang berkaitan dengan status agama, turut berpengaruh pada penolakan orangtua akan imunisasi dasar lengkap untuk anak.
”Untuk itu, tentu sangat penting menyebarluaskan informasi dan promosi program imunisasi yang bisa dilakukan melalui suatu bentuk strategi komunikasi yang tepat, akurat, dan transparan,” tuturnya dalam acara Peluncuran dan Sosialisasi Strategi Komunikasi Nasional Imunisasi 2022-2025 secara virtual dari Jakarta, Selasa (19/7/2022).
Menurut dia, strategi komunikasi yang tepat sasaran dapat membantu meredam kekhawatiran masyarakat terhadap berbagai isu yang tidak benar terkait imunisasi. Komunikasi yang baik itu pula sekaligus dapat meningkatkan penerimaan dan pemanfaatan layanan imunisasi rutin oleh masyarakat.
Prima menuturkan, situasi program imunisasi rutin di Indonesia menunjukkan adanya disparitas yang cukup besar pada cakupan imunisasi, baik di tingkat provinsi, kabupaten/ kota, desa, ataupun kelurahan. Masih banyak anak yang belum atau tidak mendapatkan imunisasi lengkap.
Sangat penting penyebarluasan informasi dan promosi untuk program imunisasi yang bisa dilakukan melalui suatu bentuk strategi komunikasi yang tepat, akurat, dan transparan. (Prima Yosephine)
Pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024 menargetkan 90 persen anak usia 12-23 bulan dan 80 persen bayi usia 0-11 bulan di 488 kabupaten/kota bisa memperoleh imunisasi dasar lengkap pada 2024. Pada 2021, cakupan imunisasi dasar lengkap sebesar 84,2 persen. Jumlah ini menurun dari 2019 yang mencapai 93,7 persen.
Permintaan
Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali mengatakan, Kementerian Kesehatan telah menyusun Strategi Komunikasi Nasional Imunisasi Rutin 2022-2025 untuk meningkatkan cakupan imunisasi rutin lengkap di Indonesia. Strategi komunikasi tersebut akan menekankan pada penguatan permintaan masyarakat.
Karena itu, komunikasi yang disampaikan pun akan berfokus pada masyarakat sebagai aktor utama. Sementara pemangku kebijakan ditempatkan sebagai pihak yang memastikan semua pihak dapat terlindungi dari risiko penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Kemitraan dalam penyampaian informasi kepada masyarakat juga akan diperkuat.
”Media, akademisi, dan perguruan tinggi juga kami harapkan dapat melakukan edukasi dan menyebarluaskan informasi supaya dapat meningkatkan dan menumbuhkan rasa butuh dari masyarakat untuk melakukan imunisasi,” katanya.
Chief of Health Unicef Indonesia Sowmya Kadandale menuturkan, cakupan imunisasi yang menurun selama masa pandemi telah menjadi persoalan global. Sejumlah negara, termasuk Indonesia, menghadapi tantangan pelaksanaan imunisasi rutin lengkap pada anak.
Padahal, imunisasi ini amat penting untuk melindungi setiap anak dari risiko penyakit berbahaya, terutama penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi. Kerja keras dan kerja bersama harus dilakukan agar permintaan masyarakat untuk imunisasi bisa kembali meningkat.
”Model pentahelix yang melibatkan pemerintah, organisasi nonpemerintah, lembaga donor, organisasi masyarakat sipil, organisasi berbasis agama, komunitas, akademisi, swasta, dan media menjadi upaya yang tepat untuk memperkuat promosi imunisasi di masyarakat,” tutur Sowmya.