Sejumlah pasal dalam RKUHP berpotensi mengancam kebebasan pers. Komite Keselamatan Jurnalis mendesak draf final RKUHP dibuka ke publik sehingga masyarakat dapat memberikan kritik dan saran dalam pembahasannya.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP berpotensi mengancam kebebasan pers. Komite Keselamatan Jurnalis mendesak draf final RKUHP dibuka ke publik sehingga masyarakat dapat memberikan kritik dan saran dalam pembahasannya.
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Arif Zulkifli mengatakan, RKUHP merupakan intervensi yang sangat serius terhadap kemandirian pers sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ia menilai, sejumlah pasal ”karet” yang ada di dalamnya bisa digunakan oleh sejumlah pihak untuk menyerang atau mengkriminalisasi wartawan.
”Ada sejumlah hal, jika (RKUHP) disahkan menjadi undang-undang, akan menerabas atau berpotensi mengancam kebebasan pers,” ujarnya dalam konferensi pers virtual yang digelar Komite Keselamatan Jurnalis, Senin (18/7/2022).
Arif menyebutkan, sejumlah pasal bermasalah di antaranya menyangkut pencemaran nama baik, kelengkapan berita, serta penghinaan terhadap kepala negara dan perangkat pemerintah. Hal ini menimbulkan kegelisahan dalam komunitas pers yang bertugas melakukan kontrol sosial kepada pemerintah melalui pemberitaan.
”Kecemasan ini akan membuat media melakukan selfcensorship. Jika ini terjadi, yang dirugikan adalah masyarakat luas karena peran pers adalah memastikan segala sesuatu menyangkut kepentingan masyarakat harus diketahui publik,” ujarnya.
Arif menambahkan, berdasarkan UU Pers, pers diberikan kewenangan mengatur dirinya sendiri. Turunan dari UU Pers adalah peraturan Dewan Pers yang diatur oleh komunitas pers melalui konstituen yang bergabung dalam lembaga tersebut.
Jadi, jika komunitas pers dipersoalkan masyarakat terkait akurasi pemberitaan, masalah itu tidak dibawa ke polisi atau pengadilan, tetapi ke Dewan Pers untuk ”diadili” secara etik. ”Namun, pers tidak boleh sewenang-wenang karena di dalamnya juga diatur kode etik jurnalistik,” katanya.
Anggota Komite Keselamatan Jurnalis, Zaky Yamani, mengatakan, keterlibatan bermakna oleh publik sangat penting dalam pembahasan RKUHP karena berdampak terhadap masyarakat luas. Oleh karena itu, pihaknya akan mengirimkan surat permohonan keterbukaan informasi publik terkait draf final RKUHP kepada DPR.
Menurut Zaky, permintaan draf RKUHP sudah dilakukan sejak lama ketika masih dalam pembahasan pemerintah. Namun, publik belum juga memperoleh draf resmi dari pemerintah.
”Seharusnya dari awal sudah dibagikan ke publik supaya masyarakat tidak gelisah dan mengetahui apa yang dirancang pemerintah. Dengan begitu, publik berkesempatan memberikan masukan pada RKUHP itu,” ujarnya.
Zaky menuturkan, rangkaian diskusi RKUHP yang dilakukan pemerintah belum mewakili keterlibatan publik. Sebab, pemerintah tidak membagikan drafnya sehingga masyarakat tidak punya kesempatan memadai untuk mengkritik dan memberikan masukan.
Draf RKUHP beredar di publik pada 4 Juli 2022. ”Draf itu diperoleh dan kembali dikritisi oleh masyarakat sipil. Namun, tidak ada satu pun pernyataan yang menyatakan draf yang beredar itu draf resmi yang diberikan pemerintah ke DPR,” ucapnya.
Keterlibatan bermakna oleh publik sangat penting dalam pembahasan RKUHP karena berdampak terhadap masyarakat luas. Oleh karena itu, pihaknya akan mengirimkan surat permohonan keterbukaan informasi publik terkait draf final RKUHP kepada DPR.
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Ika Ningtyas meminta pemerintah dan DPR lebih transparan dan harus mendengarkan aspirasi publik terhadap pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP. Apalagi, RKUHP telah menuai banyak kritik, bahkan memantik gelombang unjuk rasa sejak 2019.
”Kami juga kecewa karena pembahasan RKUHP sudah dinyatakan berlangsung tertutup. Pemerintah mengabaikan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan. Peraturan ini akan berdampak luas, tidak hanya terhadap komunitas pers, tetapi juga masyarakat umum,” jelasnya.
Sejumlah pasal RKUHP yang beredar pada 4 Juli 2022 dikhawatirkan mengancam kerja jurnalis. Dalam Pasal 264, misalnya, mengatur tindak pidana untuk berita yang tidak lengkap. Pelanggaran pasal ini dapat dipidana paling lama dua tahun penjara.
”Hal ini akan mudah dikenakan pada karya jurnalistik seperti breaking news yang memang perlu diperbarui terus-menerus,” ucapnya.
Dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej, Rabu (6/7/2022), pemerintah dan DPR sepakat untuk membahas ulang RKUHP. Namun, pembahasan hanya menyangkut 14 isu krusial yang selama ini dianggap menjadi kontroversi di masyarakat.
Edward menjelaskan 14 isu krusial yang telah disempurnakan oleh pemerintah itu, di antaranya, hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), pidana mati, penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, contempt of court (merendahkan lembaga peradilan), penodaan agama, serta tindak pidana kesusilaan yang menyangkut perzinaan, kohabitasi, dan pemerkosaan. Dari 14 isu krusial itu, pemerintah menambahkan penjelasan pada beberapa pasal. Salah satunya Pasal 218 Ayat (2) tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden (Kompas, 7/7/2022).
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Beka Ulung Hapsara, mengatakan, semangat RKUHP bukan untuk menghukum, melainkan melindungi kebebasan sipil yang sudah diraih dengan susah payah. Menurut dia, hak atas informasi yang dikerjakan jurnalis juga bagian dari hak asasi sehingga patut dilindungi.
”Jika jurnalis tidak mendapatkan perlindungan yang cukup, dampaknya adalah pengurangan penikmatan HAM. Kami masih mengkaji draf terakhir (yang beredar pada 4 Juli 2022). Sebentar lagi kami akan mengeluarkan hasil kajian dan rekomendasi terkait pembahasan RKUHP ini,” katanya.