Sosialisasi RKUHP Tak Cukup Hanya pada 14 Isu Krusial
Meskipun pemerintah telah tetapkan 14 isu krusial dalam sosialisasi RKUHP, kalangan DPR menilai tak cukup untuk serap aspirasi publik. Pasalnya, masih ada sejumlah isu krusial di luar 14 isu tersebut seperti hukum adat.
JAKARTA, KOMPAS — Masa sosialisasi revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh pemerintah menjadi waktu terbaik bagi publik untuk memberikan masukan. Sekalipun pemerintah telah menetapkan 14 isu krusial dalam kegiatan sosialisasi RKUHP di sejumlah daerah, pembahasan diskusi sebaiknya tidak hanya dibatasi pada isu yang telah ditentukan tersebut. Pasalnya, sejumlah hal krusial belum termasuk ke dalam 14 isu yang telah ditetapkan pemerintah sebelumnya.
Pembatasan pembahasan RKUHP hanya pada 14 isu berpotensi menutup ruang diskusi yang mungkin terjadi, sebab tidak semua isu krusial yang menjadi perhatian publik termasuk 14 isu krusial yang ditetapkan pemerintah. Ada beberapa isu penting yang ternyata belum masuk dalam 14 isu krusial itu sehingga sebaiknya sosialisasi oleh pemerintah tidak dibatasi pada 14 isu, tetapi lebih fleksibel, dan membuka masukan-masukan lain.
Salah satu isu yang sangat penting ialah tentang hukum adat yang hidup (living law), yang selama ini problematik, tetapi tidak termasuk 14 isu krusial yang ditetapkan pemerintah.
Sementara 14 isu krusial itu ialah penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden; perbuatan yang merendahkan martabat pengadilan/contempt of court; menyatakan diri dapat melakukan tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib; dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin; unggas yang merusak kebun yang ditaburi benih; advokat yang curang dalam melakukan pekerjaannya; penganiayaan hewan; penodaan agama; kontrasepsi; perzinahan; kohabitasi; aborsi; dan pemerkosaan dalam rumah tangga.
Baca juga : Bahas Inklusif Isu Krusial
Ada hal-hal krusial lainnya di RKUHP yang juga harus dibuka ruang diskusinya. Salah satunya soal pengaturan living law di dalam RKUHP yang berpotensi melanggar asas legalitas. (Taufik Basari, anggota Komisi III DPR asal Fraksi Nasdem)
”Isu-isu itu sebenarnya tidak terlalu penting, tetapi karena banyak mispersepsi oleh publik, pemerintah perlu melakukan sosialisasi. Namun, harus diingat pula, ada hal-hal krusial lainnya di RKUHP yang juga harus dibuka ruang diskusinya. Salah satunya soal pengaturan living law di dalam RKUHP yang berpotensi melanggar asas legalitas,” kata Taufik, Selasa (15/6/2021) di Jakarta.
Kendati ada kesempatan bagi publik untuk memberi masukan saat pembahasan di DPR, pemerintah diharapkan tidak alergi pada kritisi dan masukan publik saat ini. Sosialisasi dengan publik pun diharapkan tidak satu arah, yakni dari pemerintah saja yang menjelaskan pasal-pasal yang dinilai misinterpretasi kepada publik. Namun, lebih baik juga secara dialogis mendengarkan masukan publik sepenuhnya soal pasal-pasal lain yang dipandang kontroversial.
Memperhatikan hasil rapat terakhir Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dengan Komisi III DPR, pekan lalu, dorongan untuk menyelesaikan segera RKUHP ini sangat tinggi dari anggota DPR. Sebagian besar anggota DPR tidak banyak keberatan terhadap draf usulan pemerintah. Oleh karena itu, sebelum draf yang sama diajukan kembali kepada DPR, pemerintah hendaknya sungguh-sungguh menyerap aspirasi publik, dan bukan hanya formalitas semata. Sosialisasi yang sekadar formalitas akan memicu resistensi kembali terhadap RKUHP, sebagaimana dulu terjadi pada 2019.
Informasi yang berkembang saat ini, sebagian besar anggota DPR menilai pembahasan RKUHP itu telah selesai pada pengembilan putusan tingkat pertama. Karena RUU ini merupakan RUU carry over (luncuran/lanjutan dari periode sebelumnya), mekanisme pembahasan lanjutan dapat langsung dilakukan tanpa mengutak-atik draf yang lama, termasuk untuk cepat mengesahkannya pada pengambilan putusan tingkat kedua melalui rapat paripurna.
Hal senada disampaikan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Lembaga ini menilai upaya pemerintah mengubah rumusan pasal 14 isu krusial di RKUHP belum cukup. Dalam pemetaan ICJR masih ada 24 isu krusial RKUHP yang perlu diubah karena bertentangan dengan demokrasi.
Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, saat dihubungi mengatakan hal yang sama. Perubahan yang disampaikan pemerintah dalam sosialisasi RKUHP terakhir di Jakarta belum cukup untuk menjawab permasalahan yang ada. Sebab, menurut dia, permasalahan di RKUHP tidak hanya terbatas pada 14 isu krusial semata. Dalam pemetaan yang dilakukan oleh ICJR ada 24 masalah yang muncul pada draf RKUHP lama. Pasal-pasal itu, antara lain, terkait dengan tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden serta penghinaan terhadap pemerintah.
”Hukum pidana penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subyektif, abstrak, dan merupakan suatu konsep seperti lembaga negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi, dan doktrin politik,” kata Maidina.
Hukum pidana penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subyektif, abstrak, dan merupakan suatu konsep seperti lembaga negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi, dan doktrin politik.
ICJR juga menemukan bahwa di Pasal 273 RKUHP diatur mengenai tindak pidana penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demontrasi tanpa izin. Pasal tersebut merupakan produk hukum kolonial Belanda yang diatur di Pasal 510 KUHP.
Jamin partisipasi
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Herlambang P Wiratraman, mengatakan, poin penting dari sosialisasi RKUHP ialah bagaimana memastikan partisipasi publik itu benar-benar diperkuat dan dilibatkan. ”Bukan sekadar sosialisasi, hearing, dan sebagainya, tetapi memang sosialisasi untuk menyerap aspirasi publik, melibatkan mereka dalam membahas hal-hal yang mendasar. Kedua, kalau draf sama yang akan diajukan kembali, dengan minim perubahan, itu sangat membahayakan, karena ada ketentuan seperti pasal penghinaan terhadap presiden yang itu sudah dicabut melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK),” ucapnya.
Herlambang lebih jauh mengatakan, sebagai pengusung RKUHP, pemerintah memiliki tanggung jawab lebih untuk membuat warisan hukum sesuai dengan yang dicita-citakan, yakni melepas segala atribut dan karakter kolonialisme dari kitab induk pidana nasional. Dengan dihadirkannya kembali pasal penghinaan terhadap presiden, pemerintah, dan lembaga negara, menurut Herlambang, itu sama halnya dengan kembali pada era kolonialisme, di mana pada tahun 1914 ketentuan itu dimasukkan ke dalam KUHP oleh penguasa kolonial.
”Pembahasan RKUHP ini harus memastikan prinsip negara hukum dan demokrasi diterapkan, dan aturan di dalamnya koheren dengan aturan lainnya, termasuk dengan putusan MK,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej mengatakan, setelah sosialisasi terakhir, pemerintah akan menyusun usulan RKUHP untuk dibawa ke Badan Legislasi DPR. Di Badan Legislasi, RKUHP akan dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2021. Saat ini, RKHUP masih masuk dalam daftar rancangan undang-undang dengan mekanisme luncuran (carry over) dari periode sebelumnya. Eddy menjamin publik masih dapat memberi masukan saat pembahasan antara pemerintah bersama dengan DPR (Kompas, 15/6/2021).
Sebagai RUU carry over, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Ibnu Multazam menambahkan, pembahasan RKUHP dapat langsung diteruskan di komisi yang menangani RUU itu, yakni Komisi III. Namun, sesuai mekanisme, RUU itu harus terlebih dulu masuk ke dalam prolegnas prioritas tahunan untuk dapat diteruskan pembahasannya.
”Tinggal melanjutkan sampai mana pembahasan RUU itu pada periode sebelumnya. Tidak perlu disusun ulang drafnya. Kalau sudah selesai di komisi, langsung dapat diusulkan untuk diputuskan di dalam rapat paripurna. Untuk pembahasan lanjutan ini tidak perlu surat presiden (surpres) baru, langsung saja diteruskan,” ucapnya.
Adapun untuk mekanisme pembahasan draf, menurut Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi tergantung kepada kesepakatan di komisi. Bisa saja hanya dibahas sebagian kecil, seperti 20 persen draf, atau bahkan 90 persen draf dibahas kembali. Semua berpulang kepada kesepakatan politik fraksi-fraksi di komisi.
Perhatikan putusan MK
Pasal penghinaan terhadap presiden telah dicabut oleh MK. Seharusnya tidak muncul lagi dalam draf RKUHP. Namun, kenyataannya, di dalam draf itu masih ada ketentuan tersebut. (Benny K Harman, anggota Komisi III DPR asal Fraksi Partai Demokrat)
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat yang berada di luar pemerintahan memberikan catatan terkait dengan munculnya kembali pasal penghinaan terhadap presiden. Benny K Harman dari Demokrat mengatakan, pasal penghinaan terhadap presiden telah dicabut oleh MK. Seharusnya tidak muncul lagi dalam draf RKUHP. Namun, kenyataannya, di dalam draf itu masih ada ketentuan tersebut.
Baca juga : Ambisi Pengesahan RKUHP dan Pasal yang Bermasalah
”Pertama, kita harus patuh pada putusan MK. Kedua, kita patuh pada prinsip-prinsip demokrasi. Itu saja. Kenapa harus diatur lagi, kan itu sudah dicabut,” katanya.
Konstitusi, menurut Benny, tidak bisa dijalankan semata-mata demi kepentingan dan kekuatan politik. Namun, politik dan kekuatan politiklah yang harus mengikuti ketentuan konstitusi.
Rekannya, Didik Mukrianto dari Fraksi Demokrat, mengatakan, konsekuensi negara hukum yang demokratis seperti Indonesia, kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab menjadi salah satu hak yang harus dihormati dan dijamin sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
Oleh karena itu, sebagai bagian penting partisipasi publik dalam ikut mengawal jalannya pemerintahan adalah ikut serta melakukan pengawasan, termasuk memberi masukan dan kritik yang konstruktif dan bertanggung jawab.
”Dalam konteks ini, maka tidak ada terhindarkan munculnya kritik terhadap setiap institusi dan pejabat penyelenggara negara, termasuk presiden dan wakil rakyat. Menjadi hal yang lumrah dan biasa saja ketika rakyat terus bersuara dan mengkritik keras untuk perbaikan. Tidak perlu sensitif berlebihan, dengarkan saja dan lakukan perbaikan,” katanya.
Didik juga mendorong dalam pembahasan di DPR, RKUHP itu melibatkan partisipasi publik dalam setiap prosesnya. ”Idealnya untuk menghindari adanya potensi penolakan publik, maka pelibatan publik menjadi kunci penting,” ucapnya.