Jangan Buang Uang untuk Multivitamin, Makan Sehat dan Berolahragalah
Tak ada seperangkat pil ajaib dan suplemen untuk membuat tubuh tetap sehat. Diet sehat dan olahraga adalah kuncinya.
Multivitamin dan suplemen kerap dianggap bisa mengisi kesenjangan nutrisi sehingga menjadi konsumsi harian sebagian orang. Namun, konsumsi multivitamin dan suplemen bagi kebanyakan orang sebenarnya hanya membuang-buang uang saja karena tidak ada bukti bahwa hal itu bisa meningkatkan daya tahan tubuh dan mencegah berbagai penyakit.
Bagi Raeshita Hardisurya (78), penggiat Jalan Sutra, komunitas pencinta kuliner di Jakarta, multivitamin telah menjadi konsumsi sehari-hari. ”Ada beberapa vitamin yang saya minum setiap hari,” kata Raeshita, di Jakarta, Jumat (15/7/2022).
Salah satunya vitamin karotenoid yang dianggap kaya lutein yang biasanya didapat dari pigmen yang terkandung pada beberapa jenis bahan makanan, seperti bayam, brokoli, jagung, anggur, jeruk, atau kuning telur. Konsumsi lutein dianggap menjaga kesehatan mata dan mencegah terjadinya degenerasi makula (AMD) atau katarak.
”Lalu saat awal pandemi, dokter anjurkan untuk periksa darah dan ternyata vitamin D di badan saya kurang sehingga saya kemudian rutin konsumsi vitamin D,” ujar Raeshita.
Baca juga : Obat dan Multivitamin Makin Laris Selama Pandemi
Lain halnya dengan Herawati Supolo Sudoyo (71), ahli biologi molekuler yang juga Ketua Komisi Kedokteran Akademisi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sekalipun dokternya menyarankan untuk mengonsumsi multivitamin, Herawati, yang juga berlatar belakang dokter ini, memilih untuk tidak melakukannya. Untuk mencukupi kebutuhan nutrisinya, dia memilih diet sehat.
”Setiap hari minum jus minimal dua kali. Itu lebih dari 1 kg wortel, tomat 4 buah, jeruk valencia, tambah sayur,” ujarnya. Selain itu, olahraga dan berusaha selalu bergerak, termasuk rajin jalan, menjadi cara yang dipilihnya untuk menjaga kesehatan.
Bagi Herawati, tak ada seperangkat pil ajaib untuk membuat tubuh tetap sehat. Diet dan olah raga adalah kuncinya. Hal ini sejalan dengan laporan terbaru United States Preventive Services Task Force (USPSTF), panel ahli independen terkait layanan pencegahan klinis di Amerika Serikat, yang menyebutkan, suplementasi makanan dan konsumsi multivitamin cenderung membuang uang karena tidak terbukti bermanfaat bagi sebagian besar orang.
Saat ini mengonsumsi multivitamin dan suplemen telah menjadi gaya hidup masyarakat modern. Laporan USPSTF menyebutkan, suplementasi makanan telah menjadi industri besar. Orang-orang di AS pada tahun 2021 menghabiskan hampir 50 miliar dollar untuk vitamin dan suplemen makanan.
Data Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional (NHANES) 2011-2014 di AS menyebutkan, lebih dari setengah (52 persen) orang dewasa yang disurvei (1.024 orang) menggunakan setidaknya satu suplemen makanan dalam 30 hari terakhir dengan 31 persen dilaporkan menggunakan suplemen multivitamin-mineral. Diet penggunaan suplemen bervariasi berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, dan etnis, serta sosial ekonomi.
Konsumsi multivitamin dan suplemen makanan yang tinggi ini terjadi karena konsumen terpikat iming-iming bahwa hal ini akan mengisi kekurangan nutrisi dalam pola diet dan aktivitas mereka. Dalam berbagai penelitian, makan makanan yang kaya nutrisi, seperti buah-buahan dan sayuran, memang dikaitkan dengan penurunan penyakit kardiovaskular dan risiko kanker. Vitamin dan suplemen yang diekstraksi dari buah-buahan dan sayuran, dikemas menjadi pil, dan diiklankan bahwa hal itu bisa membantu diet seimbang.
Konsumsi multivitamin dan suplemen makanan yang tinggi ini terjadi karena konsumen terpikat iming-iming bahwa hal ini akan mengisi kekurangan nutrisi dalam pola diet dan aktivitas mereka.
Meski demikian, menurut Jeffrey A. Linder, Kepala Penyakit Dalam Umum Fakultas Kedokteran Universitas Northwestern Feinberg dalam tulisannya di JAMA Network pada 21 Juni 2022, kecuali untuk ibu hamil, konsumsi multivitamin dan suplemen adalah buang-buang uang. Bahkan, dalam kasus tertentu bisa membahayakan kesehatan.
Menurut Linder, buah dan sayuran utuh mengandung campuran vitamin, fitokimia, serat, dan nutrisi lain yang bekerja secara sinergis untuk memberikan manfaat kesehatan. Namun, mikronutrien yang diisolasi dalam bentuk multivitamin dapat bertindak secara berbeda di dalam tubuh dibandingkan ketika dikemas secara alami dengan sejumlah komponen makanan lainnya.
”Pasien bertanya sepanjang waktu tentang suplemen apa yang harus dikonsumsi. Mereka membuang-buang uang dan fokus berpikir harus ada satu set pil ajaib yang akan membuat mereka tetap sehat. Namun, kalau kita semua harus mengikuti praktik berbasis bukti, makan sehat dan berolahraga adalah yang terbaik,” kata Linder, dalam pengantar papernya di laman kampusnya.
Linder dan sesama ilmuwan di Northwestern Medicine menulis ini untuk mendukung rekomendasi baru USPSTF pada 21 Juni lalu. Berdasarkan tinjauan sistematis terhadap 84 penelitian, pedoman baru USPSTF menyatakan tidak ada bukti yang cukup, ”...bahwa mengonsumsi multivitamin, suplemen dobel, atau suplemen tunggal dapat membantu mencegah penyakit kardiovaskular dan kanker pada orang dewasa yang sehat dan tidak hamil.”
Panel ahli ini secara khusus juga merekomendasikan untuk tidak mengonsumsi suplemen beta-karoten karena justru bisa meningkatkan risiko kanker paru-paru dan merekomendasikan untuk tidak mengonsumsi suplemen vitamin E karena tidak memiliki manfaat dalam mengurangi kematian, penyakit kardiovaskular, atau kanker.
Baca juga : Hati-hati Mengonsumsi Vitamin C dan Vitamin E
Sekalipun tidak menyarankan konsumsi multivitamin untuk orang sehat, pedoman USPSTF ini tidak berlaku untuk orang yang sedang hamil atau mencoba untuk hamil. Natalie Cameron, seorang ahli penyakit dalam umum di Northwestern Medicine, yang turut menulis editorial di JAMA Network mengatakan, vitamin tertentu, seperti asam folat, dibutuhkan bagi wanita hamil untuk mendukung perkembangan janin yang sehat. Cara paling umum untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan mengonsumsi vitamin prenatal.
Makan sehat dan olahraga
Linder mengatakan, daripada mencari pil ajaib untuk menjaga kesehatan, cara yang lebih baik untuk mengurangi risiko penyakit seperti kardiovaskular adalah rutin olahraga dan berhenti merokok. Tak hanya bagi orang lanjut usia, hal ini juga dianjurkan pada anak-anak muda yang belakangan banyak yang mengalami stroke sekalipun masih di bawah 50 tahun.
Tidur terlambat dan waktu sedentary atau berdiam diri telah menjadi gaya hidup baru bagi banyak orang selama pandemi juga menjadi faktor risiko masalah kardiovaskular. Semakin banyak waktu yang dihabiskan orang untuk tidak bergerak, semakin besar risiko penyakit kardiovaskular termasuk stroke.
Menurut data American Heart Association dalam jurnal Circulation pada Februari 2021, kematian terkait stroke di AS menurun pada tahun 2010 di antara orang dewasa 65 tahun ke atas. Akan tetapi, kematian akibat stroke pada kelompok umur 35 hingga 64 tahun meningkat dari 14,7 setiap 100.000 orang dewasa pada tahun 2010 menjadi 15,4 per 100.000 pada tahun 2016.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan orang dewasa minimal melakukan 150 menit latihan fisik intensitas sedang dalam seminggu atau setara dengan 75 menit olahraga berat. Beberapa peneliti juga merekomendasikan setiap hari minimal berjalan kaki 10.000 langkah.
Meski demikian, kebanyakan orang tidak bisa memenuhi rekomendasi ini seiring dengan kecenderungan untuk menghabiskan waktu dengan duduk atau tiduran.
Baca juga : Stroke Mengancam Usia Muda
Sebuah studi baru dari San Diego State University, yang diterbitkan di JAMA Network Open pada 3 Juni 2022, menemukan, melakukan aktivitas harian dengan intensitas yang lebih ringan seperti pekerjaan rumah tangga juga dapat secara signifikan mengurangi risiko stroke.
Selain menjaga aktivitas fisik, asupan makanan bernutrisi merupakan kunci menjaga kesehatan. Misalnya, kecukupan vitamin D sangat penting untuk tulang, gigi, kekebalan, kesehatan jantung, kesehatan mental, dan banyak lagi.
Seperti direkomendasikan panel ahli USPSTF, jangan buang-buang uang dengan bergantung pada suplemen dan multivitamin. Banyak makanan yang bisa menjadi sumber vitamin D, misalnya jamur, kuning telur, ikan, biji-bijian dan kacang-kacangan.
Kembali ke kisah Raeshita, konsumsi rutin lutein yang dilakukannya sejauh ini tidak memberinya perubahan positif sehingga ia mempertimbangkan untuk menghentikan. Selain harganya mahal, produk ini juga harus dibeli dari luar negeri.
”Yang jelas, saya masih harus terapi suntik di mata untuk mengatasi masalah di retina saya, jadi tidak ada efeknya dengan konsumsi suplemen,” kata Raeshita, yang masih aktif dalam berbagai kegiatan komunitas ini.
”Memang dari muda yang penting olahraga dan sampai tua juga jangan berhenti, tentu disesuaikan dengan kemampuan kita sendiri.”