Potensi Eksklusivitas Beragama pada Generasi Muda Masih Ada
Generasi milenial dan gen Z Indonesia mayoritas memiliki sikap positif terhadap toleransi, nasionalisme, dan keberagaman. Namun, mereka cenderung intoleran dalam kebebasan beragama.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
YOLA SASTRA
Siswa SMK 2 Padang sedang beraktivitas di lorong sekolah, Padang, Sumatera Barat, Senin (25/1/2021). Sekolah ini menganjurkan semua siswa perempuan tanpa memandang agama untuk menggunakan jilbab saat di sekolah. Beberapa siswa non-Muslim di SMK 2 Padang mengaku lebih nyaman tidak berjilbab meskipun mengaku sudah terbiasa dan tidak terpaksa berjilbab di sekolah.
JAKARTA, KOMPAS — Mayoritas generasi muda Indonesia memiliki sikap positif yang kuat terhadap toleransi, nasionalisme, dan keberagaman, bahkan tentang kepemimpinan perempuan. Masa depan Indonesia yang bineka pun dinilai menjanjikan. Namun, di tengah kabar gembira ini terselip tantangan untuk membantu generasi muda yang dapat menerima kebebasan beragama.
Survei INFID dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) tentang Sikap dan Pandangan Generasi Z dan Milenial di Indonesia terhadap Toleransi, Kebinekaan, dan Kebebasan Beragama di 18 provinsi pada Agustus–September 2021 yang dipaparkan daring, Kamis (14/7/2022), menemukan, meski generasi muda saat ini memiliki sikap positif pada toleransi, masih ada indikasi intoleransi dan kecenderungan sikap negatif terhadap kebebasan beragama.
”Dalam ranah beragama yang lebih khusus, ada indikasi eksklusivitas dalam beragama dan berinteraksi dengan orang-orang yang beragama lain,” kata Koordinator Penelitian Lembaga Demografi UI Alfindra Primaldhi.
Penelitian tersebut melibatkan masyarakat kelompok umur 18-24 tahun (generasi Z) dan 25-40 tahun (generasi milenial). Mereka mewakili 218 juta penduduk atau 81 persen dari populasi berdasarkan sensus penduduk Badan Pusat Statistik Tahun 2020.
Alfindra mengatakan, sikap positif generasi muda pada inklusivitas melegakan. Hal ini ditunjukkan pada sikap seperti setuju tempat ibadah untuk agama minoritas di sekolah dan diberikan pelajaran tentang agama-agama di Indonesia. Lebih dari 90 persen responden setuju bahwa sekolah harus menerima siswa dari latar belakang agama apa pun.
”Generasi milenial dan gen Z setuju semua warga negara, apa pun agamanya, harus memiliki hak yang sama di hadapan negara, termasuk kesempatan untuk bekerja/membuka usaha,” papar Alfindra.
DOKUMENTASI INFID
Hasil survei INFID dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) tentang Sikap dan Pandangan Generasi Z dan Milenial di Indonesia terhadap Toleransi, Kebinekaan, dan Kebebasan Beragama di 18 provinsi pada Agustus-September 2021. Mayoritas generasi muda Indonesia punya sikap positif terhadap toleransi, nasionalisme, dan keberagaman.
Meski demikian, generasi tersebut tetap punya kecenderungan eksklusivitas agama, termasuk ketika berinteraksi dengan orang-orang lain agama. Setengah dari responden, misalnya, masih menolak pernikahan berbeda agama. Mereka juga masih mendukung peraturan berpakaian di sekolah yang sejalan dengan agama mayoritas di daerah itu, juga pembangunan rumah ibadah kelompok minoritas dilakukan dengan persetujuan kelompok mayoritas. Belum banyak yang tertarik untuk mencari informasi tentang agama selain agama yang dianut.
”Meskipun secara umum sudah menerima perempuan sebagai pemimpin di lembaga pemerintahan hingga tingkat RT/RW, untuk presiden dari kelompok minoritas maupun perempuan masih belum sepenuhnya diterima generasi muda,” ujar Alfindra.
Menurut Alfindra, generasi muda berpotensi menjaga Indonesia yang toleran dan beragam. Namun, hal ini perlu diperkuat dengan sistem pendidikan formal dan informal yang membantu mereka punya empati atau mampu merasakan di posisi orang lain. ”Pada dasarnya, manusia penting diajarkan empati atau merasakan posisi orang lain jadi muncul toleransi pada orang lain. Penting juga membangun kecakapan berpikir kritis serta mengomunikasikan sikap dan pikiran yang melihat keragaman Indonesia,” kata Alfindra.
Sementara itu, Abdul Waidl dari INFID mengatakan, dari temuan ini pihaknya meminta agar sumber daya pendidikan untuk pemimpin dan aktor agama serta pemuda harus dipetakan untuk diberdayakan dan dimanfaatkan untuk promosi toleransi, kebebasan beragama, dan menghargai perbedaan. Selain itu, pengetahuan tentang orang dan kelompok lain harus dipromosikan di dalam lembaga-lembaga keagamaan untuk meningkatkan pemahaman, toleransi, dan rasa hormat terhadap agama dan kepercayaan lain, serta memastikan identitas agama tidak menjadi sumber perpecahan dan ketegangan dan kekerasan agama di Indonesia.
Cara gaul
Feminis Muslimah dan Peneliti Jaringan Gusdurian Kalis Mardiasih mengatakan, di satu sisi ada kabar baik tentang generasi muda Indonesia yang memiliki sikap positif toleran dan nasionalisme. Namun, ketika menanggapi isu dan berita sensitif terkait agama tertentu, jawaban anak-anak muda ini terkadang tidak terduga. ”Intoleransi dan ekstremisme itu invisible atau tidak kelihatan. Apalagi sekarang kelompok yang meyakini ekstremisme itu mulai menyebarkan konten dengan cara yang ’gaul’. Menyasar anak SMP dan SMA, lewat grup telegram atau Instagram, semisal pesan berjihat untuk belajar menjadi teroris sambil ber-selfie,” kata Kalis.
Menurut Kalis, kini akun yang memproduksi pengetahuan ekstremisme mulai tidak lagi memakai nama islami serta ilustrasinya juga yang sesuai anak muda. Sosok yang ditampilkan tidak lagi berpakaian dengan simbol agama, tapi sudah berkaus dan jins. Akan tetapi, dalam pesannya tetap menyampaikan ideologi agama yang mendukung kekerasan.
KORNELIS KEWA AMA
Kepala Sekolah Menengah Musik Negeri 2 Kasihan Bantul Agus Suranto. Seni membentuk karakter orang untuk bergaul tanpa batas suku, agama, ras, dan antargolongan sebagaimana diperlihatkan SMMN Kasihan Bantul. SMM menerima siswa dari Sabang sampai Merauke tanpa membedakan asal-usul, suku, dan agama. Sekolah itu lebih mengutamakan jiwa seni yang dimiliki siswa.
Direktur Eksekutif AMAN Indonesia Dwi Rubiyanti Khofifah mengatakan, perspektif generasi muda Indonesia yang sudah bagus ini harus dijaga agar tidak mudah digoyahkan dengan intoleransi maupun ekstremisme. Untuk itu, mereka butuh dikuatkan kemampuan berpikir kritis.
”Ketika berbicara tentang keberadaan anak muda, kita perlu kembali pada fondasi ruang demokrasi. Anak muda perlu didukung untuk berpartisipasi dan difasilitasi untuk bertumbuh. Selama ruang demokrasi terjaga dan ruang sipil ada, mereka bisa bersuara lantang,” kata Dwi.
Generasi tersebut tetap punya kecenderungan eksklusivitas agama, termasuk ketika berinteraksi dengan orang-orang lain agama.
Salah satunya, memfasilitasi ruang perjumpaan dengan beragam perbedaan. ”Perlu diintervensi supaya ruang perjumpaan dengan yang berbeda dan dibekali dengan alat/skil mengelola perbedaan sehingga tidak kaget ketika betul-betul berhadapan dengan entitas yang dibenci, tetapi mau belajar mendengarkan,” ujar Dwi.
Asisten Deputi Mitigasi Bencana dan Konflik Sosial Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Andre Notohamijoyo mengatakan, budaya toleransi perlu diperkuat, dimulai dari dalam keluarga. Nilai-nilai Pancasila harus bisa diterjemahkan dan jadi contoh dalam kehidupan sehari-hari di rumah, sekolah, dan masyarakat.