Putusan MA yang mencabut SKB Tiga Menteri terkait seragam sekolah perlu menjadi perhatian dan disikapi dengan baik. Intoleransi pada anak, remaja, dan pemuda sebenarnya masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan SKB Tiga Menteri terkait pakaian seragam dinilai sebagai ”alarm” serius bagi Republik Indonesia ke depan. Kondisi saat ini, anak-anak muda dengan yakin dan tegas memerangi kekerasan atau ekstremisme atas nama agama, tetapi dalam sikap toleransi kehidupan beragama justru generasi muda bersikap abu-abu dan terpecah belah.
Kenyataan ini menjadi sinyal agar semua pihak perlu menyeriusi bibit-bibit intoleransi di kalangan anak muda. Ini tumbuh akibat realitas kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang juga mencontohkan adanya sikap dan tindakan intoleran dalam kehidupan beragama.
Elga Sarapung, Direktur Institut Dialog AntarIiman di Indonesia (Institut Dian/Interfidei) dari Yogyakarta, Jumat (7/5/2021), mengatakan kehidupan beragama jangan terjebak pada simbol semata. Generasi muda harus dibantu untuk memahami makna simbol-simbol agama dalam realitas dan kehidupan sosial.
”Ide untuk membuat anak-anak didik berakhlak mulia dengan menjalankan agama dan memunculkan simbol lewat seragam khas agama dan lain-lain, bukan ide tidak baik. Namun, para pendidik jangan hanya berhenti di simbol, tetapi harus juga dimaknai dalam kehidupan sosial. Jangan ada sikap ekslusif dalam dunia pendidikan atas nama agama,” kata Elga.
Namun, sikap intoleran justru terpecah belah dan semakin meningkat. Anak-anak muda terlihat gamang untuk bersikap tenggang rasa terhadap perbedaan keyakinan orang lain. Semisal mengucapkan selamat hari raya pada pemeluk agama lain dan berteman dengan yang berbeda agama, anak-anak muda ragu dan cenderung tidak menerima.
”Di sisi lain, mayoritas anak muda ini meyakini bahwa ketaatan agama bukan karena memakai simbol-simbol agama, seperti seragam. Namun, mereka jadi ragu karena narasi yang berkembang, terutama di media sosial yang jadi keseharian hidup mereka, justru sebaliknya. Anak-anak muda ini jadi tidak yakin atau bersikap abu-abu terhadap perbedaan keyakinan,” ujar Ahmad.
Survei tahun 2020 ini untuk memotret perkembangan sikap serupa di tahun 2016. Sikap menolak ekstremisme menguat, tetapi sikap intoleransi menganga lebar antara yang setuju dan tidak setuju.
”Untuk sikap menolak kekerasan atas nama agama atau ekstremisme, bisa dikatakan semua hampir sepakat. Ini juga gambaran di masyarakat secara umum, yang cenderung semakin eksklusif dengan kelompoknya.
Menurut Ahmad, kelompok pro-toleransi yang berangkat dari semangat Bhinneka Tunggal Ika yang dimiliki bangsa ini harus bersatu untuk memperkuat narasi keberagaman, keindonesiaan, di ruang publik. Termasuk untuk memperjuangkan keberagaman yang sungguh-sungguh dialami siswa selama di sekolah dan perguruan tinggi.
”Sinyal masalah intoleransi yang memprihatinkan ini bukan hanya diselesaikan dunia pendidikan," kata dia.
Faktor di luar sekolah, lanjutnya, kehidupan di masyarakat dan bernegara juga harus mampu secara tegas menunjukkan sikap toleran dalam keberagaman. Ia pun mengatakan agar tokoh-tokoh berpengaruh dan dipercayai masyarakat harus terdepan dalam mencontohkan sikap toleransi positif.
”Jangan anak-anak muda dibuat gamang atau ’belibet’ lidahnya kalau ditanya tentang sikap toleran,” katanya.
Pengalaman perjumpaan
Elga mengatakan tumbuhnya bibit intoleransi di sekolah harus bisa diselesaikan. Memberikan ruang perjumpaan lewat pembelajaran atau pelatihan bersama para guru atau para siswa yang berbeda-beda harus intensif dilakukan.
Di Yogyakarta, Infidei sejak 2004 memberikan pendidikan pluralisme, konflik, dan dialog kepada guru agama dan guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bekerja sama dengan Dinas Pendidikan setempat . Namun di tahun 2018 diluaskan kepada semua guru mata pelajaran karena mulai munculnya isu ekstremisme atas nama agama.
Di April ini, 50 guru di Daerah Istimewa Yogyakarta yang ikut dalam lokakarya ”Pendidikan Yang menghargai Nilai-nilai Kehidupan Bersama dalam Kebinekaan: Toleran Aktif, Kritis, Positif, dan Konstruktif” yang digelar Interfidei dan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY. Para guru berkesempatan untuk berdialog dengan pemuka agama.
”Dengan memberikan ruang perjumpaan dan dialog, guru mulai melepaskan prasangka dan steorotype. Ada perkembangan baik para pendidik mulai memahami dan meyakini tentang pluralisme,” kata Elga.
Ahmad mengatakan anak-anak muda yang gamang tentang toleransi karena mengandalkan informasi dari media sosial dan praktik di sekolah dan keluarga. Tidak banyak kesempatan bagi mereka untuk bisa berdialog dengan pemuka agama atau orang yang berbeda agama.
”Pengalaman perjumpaan lebih punya pengaruh besar untuk mengubah cara pikir intoleran para anak muda,” ujar Ahmad.
Menurut Ahmad, Kemendikbud Ristek pun harus mulai serius untuk menyeleksi atau menyaring sikap kebangsaan para guru dan tenaga kependidikan. ”Harus dipastikan GTK (guru dan tenaga kependidikan) yang ada di sekolah memang nasionalis demi kepentingan bangsa,” kata Ahmad.