Film ”Sangihe Melawan” Membuka Diskusi Publik soal Tambang Emas
Film dokumenter berjudul ”Sangihe Melawan” ditayangkan ke publik untuk memantik diskusi publik, utamanya soal Pulau Sangihe di Sulawesi Utara yang menjadi lokasi tambang emas PT Tambang Mas Sangihe.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga swadaya masyarakat Save Sangihe Island menayangkan film dokumenter berjudul Sangihe Melawan ke publik di Jakarta, Senin (11/7/2022). Penayangan ini untuk memantik diskusi mengenai Pulau Sangihe di Sulawesi Utara yang menjadi lokasi tambang emas PT Tambang Mas Sangihe. Penambangan bermasalah karena mencakup lebih dari setengah pulau dan tidak mengantongi izin sesuai undang-undang.
Film Sangihe Melawan diproduksi oleh Watchdoc Documentary bekerja sama dengan Greenpeace Indonesia. Film berdurasi lebih kurang 30 menit itu menceritakan warga Sangihe yang bergantung pada alam, baik hutan maupun laut. Hidup mereka berkecukupan karena alam menyediakan sumber pangan dan nafkah.
Namun, kehidupan 140.000 warga di pulau seluas 73.680 hektar ini mulai bergejolak saat Sangihe ditetapkan sebagai lokasi tambang emas. PT Tambang Mas Sangihe (TMS), sebuah perusahaan multinasional, mengantongi kontrak karya yang diberikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kontrak itu berlangsung selama 33 tahun, yaitu 2021 hingga 2054.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B Ponto mengatakan, kontrak karya yang dimiliki PT TMS berdasarkan Persetujuan Presiden RI tertanggal 17 Maret 1997. Landasan hukumnya adalah UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Namun, kontrak karya itu kehilangan dasar hukum dengan terbitnya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mencabut UU Nomor 11 Tahun 1967.
Di sisi lain, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil melarang penambangan di pulau kecil. Pulau kecil yang dimaksud adalah yang luasnya tidak lebih dari 2.000 kilometer persegi atau 200.000 ha.
”Luas Pulau Sangihe 73.680 ha atau 736,8 meter persegi sehingga, menurut UU ini, aktivitas pertambangan dilarang,” kata Soleman secara daring setelah penayangan film.
Di atas hukum
Pada Januari 2021, Kementerian ESDM menerbitkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe. Soleman mengatakan, keputusan ini bertentangan dengan sejumlah UU, antara lain UU Nomor 32 Tahun 2009, UU Nomor 3 Tahun 2020, UU Nomor 1 Tahun 2014, dan UU Nomor 39 Tahun 2009.
”Keputusan Menteri ESDM sifatnya above the law (di atas hukum). Padahal, Indonesia adalah negara hukum,” ujarnya.
Masyarakat pun menggugat hal ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Namun, PTUN Jakarta menyatakan tidak kompeten mengadili penerbitan izin operasi PT TMS oleh Kementerian ESDM.
Masyarakat lantas menggugat lagi ke PTUN Manado. PTUN Manado mengabulkan gugatan masyarakat. Putusan itu menetapkan penundaan pelaksanaan izin lingkungan bagi PT TMS yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sulawesi Utara. PT TMS mesti menghentikan sementara segala kegiatan.
Koordinator Save Sangihe Island (SSI), Jan Takasihaeng, mengatakan, aktivitas masih dilakukan pihak petambang. Pada pertengahan Juni 2022, dua alat berat masuk ke Sangihe. Warga menuntut agar alat berat itu dikeluarkan dari pulau.
”Kondisi ini menimbulkan beragam konflik sosial di masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan aparat (penegak hukum) pun turun,” kata Jan.
Di sisi lain, warga menolak penambangan emas di Sangihe karena khawatir ruang hidup mereka rusak. Kegiatan tambang tidak hanya akan merusak hutan yang menjadi habitat sejumlah satwa, tetapi juga menghasilkan limbah yang bisa mencemari laut. Warga yang kehilangan sumber kehidupan terpaksa pindah. Namun, warga hanya bisa bergerak ke arah utara, sementara di sana ada Gunung Awu, gunung api yang masih aktif.