Dari sisi psikologi dan kemanusiaan, sebenarnya tidak ada yang menang dalam peperangan. Semua menderita kekalahan. Yang menang pun sesungguhnya kalah karena telah menghancurkan kemanusiaan.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Sejak meletusnya perang Rusia-Ukraina pada 24 Februari 2022, setiap hari media memberitakan ikhwal perang tersebut dan berbagai akibatnya. Catatan 3 Juli 2022 dari pihak Ukraina memberitakan setidaknya lebih dari 2.000 sekolah hancur, nyaris 350 anak tewas, belum lagi yang terluka dan korban pada orang dewasa. Angkanya terus bertambah dari hari ke hari.
Terkait perang, pada awalnya kajian akademik lebih tertarik untuk mempelajari dampaknya pada veteran perang. Khususnya ketika petugas kesehatan menemukan yang dulu disebut sebagai shell shock, shock akibat peluru/bom atau suara ledakan, yang terlihat pada veteran perang.
Perang bersifat traumatik. Maka, belakangan para ilmuwan menemukan istilah yang lebih tepat, yakni post-traumatic stress disorder, atau gangguan stres pascatrauma. Istilah ini menunjuk pada kondisi kesehatan mental yang dipicu oleh peristiwa sangat mengancam, entah mengalami sendiri, ataupun sebagai orang yang menyaksikan kejadian.
Gangguan stres
Gangguan stres pascatrauma tampil dalam berbagai bentuk, seperti ingatan-ingatan berulang tentang kejadian yang termanifestasi dalam mimpi buruk, kecemasan dan kewaspadaan berlebih, gangguan tidur, gangguan makan, reaktivitas atau sensitivitas berlebih dan berbagai perubahan perilaku lain.
Yang mengalami gangguan stres pascatrauma sering sulit menjalankan fungsinya sebagai manusia yang produktif, dan gangguan tersebut juga sering termanifestasi dalam kesulitan beradaptasi dengan lingkungan sosial, serta perilaku agresif dan sikap sinis.
Pada veteran perang cukup umum ditemukan ingatan berulang serta penyesalan mendalam mengenai situasi saat perang. Misal tentang teman yang tewas atau situasi saat terancam di tengah pertempuran. Mereka juga menunjukkan kondisi emosi yang mudah tersulut, perilaku destruktif, hingga isolasi sosial. Ada penyesalan dan perasaan bersalah, misalnya karena telah melukai atau membunuh orang lain, apalagi bila yang dibunuh adalah masyarakat sipil yang tidak berdaya.
Belakangan disadari bahwa bukan hanya yang langsung turun ke medan perang yang menunjukkan berbagai masalah. Masyarakat sipil pun menunjukkan berbagai dampak serius dari perang. Gangguan stres pascatrauma juga dapat tertampil pada masyarakat sipil. Namun, persoalannya melampaui itu. Sesungguhnya perang menghadirkan ketegangan dan kekacauan dalam masyarakat bahkan hingga setelah perang usai. Struktur masyarakat hancur, kondisi ekonomi amat memburuk, yang semuanya memiliki efek-efek sosial dan psikologis lebih lanjut.
Anak dan perempuan
Sebagai pihak yang paling tidak memiliki kekuatan, perang berdampak serius pada kehidupan anak. Anak masih sepenuhnya bergantung pada lingkungannya. Meski mungkin diam atau belum mampu menyampaikan suara hatinya, mereka mengamati apa yang terjadi dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Perang menyebabkan anak berisiko berhadapan dengan situasi sosial yang kacau, dengan ketegangan, kemarahan dan ketakutan orang dewasa yang dapat dirasakan oleh anak. Anak mungkin kehilangan orang yang dicintai, kehilangan tempat tinggal, harus berpindah-pindah dalam kondisi tidak aman. Ada banyak perubahan yang serba mendadak yang terasa mengancam, dengan ketidakjelasan nilai-nilai yang harus dipegang.
Perang juga menghadirkan situasi amat sulit bagi perempuan. Penelitian menunjukkan bahwa stres dan trauma tampil lebih besar pada perempuan dibanding pada laki-laki. Karena situasi kacau, kekerasan dalam berbagai bentuk lebih banyak terjadi, termasuk kekerasan seksual. Penelitian menunjukkan bahwa yang mengalami kekerasan seksual lebih serius menunjukkan gangguan pascatrauma dibandingkan kelompok lain.
Catatan Muhwezi dkk (2011) dari Uganda memperlihatkan bahwa pascaperang, kondisi masih sangat kacau, dengan meningkatnya fenomena seks transaksional, kekerasan seksual, perilaku berganti-ganti pasangan, hingga perkawinan anak dan pemaksaan perkawinan. Semuanya membawa dampak atau implikasi lanjutan yang kompleks.
Sia-sia
Perang merusak sistem moral manusia karena yang benar dan salah menjadi tidak jelas atau terbalik-balik. Sesama manusia menjadi lawan, melukai dan membunuh dibolehkan, bahkan mungkin baik atau harus dilakukan atas nama perjuangan dan untuk mencapai kemenangan.
Di lain pihak, hati nurani juga masih berbicara. Maka, mungkin ada penyesalan, rasa bersalah, dan kemarahan terkait yang dilakukan diri sendiri dan orang lain.
Bila hal di atas berpadu dengan stress pascatrauma, individu dapat menunjukkan gambaran masalah kesehatan mental yang serius. Yang mengalami gangguan stres pascatrauma sering sulit menjalankan fungsinya sebagai manusia yang produktif, dan gangguan tersebut juga sering termanifestasi dalam kesulitan beradaptasi dengan lingkungan sosial, serta perilaku agresif dan sikap sinis. Dapat diramalkan bahwa individu mengalami kesulitan untuk berintegrasi kembali dalam masyarakat.
Semua hal di atas menjadi beban berat bagi orang-orang terdekat. Selain harus merawat, keluarga juga harus mengambil alih tugas anggota keluarga yang mengalami gangguan, serta menjadi ”tameng”.
Kerja mencari nafkah harus diambil alih oleh anggota keluarga yang lain, sambil ia masih terbeban harus membereskan tugas-tugas keluarga, urusan rumah, dan kewajiban bermasyarakat. Demikian terbeban, bukan tidak mungkin keluarga mengalami trauma sekunder atau kelelahan serius.
Kita dapat berbicara panjang lebar mengenai apa yang dapat dilakukan dari sisi psikologi untuk mengatasi dampak serius yang diakibatkan oleh perang. Bagaimana membangun kembali rasa percaya antarkelompok yang sebelumnya saling bertikai, bagaimana memaafkan diri sendiri dan orang lain, bagaimana memulihkan luka psikologis, dan banyak lainnya.
Bagaimanapun, perang adalah kesia-siaan. Dari sisi psikologi dan kemanusiaan, sebenarnya tidak ada yang menang dalam peperangan. Semua menderita kekalahan. Yang menang pun sesungguhnya kalah karena telah menghancurkan kemanusiaan.
Kehancuran yang menghadirkan penderitaan yang tidak langsung berhenti ketika perang usai, tetapi membawa dampak jangka panjang hingga generasi-generasi berikutnya.