Trauma atau peristiwa menyakitkan cukup sering terkait juga dengan persoalan budaya, nilai-nilai dalam masyarakat, hubungan antarkelompok, atau stigma yang dilekatkan pada kelompok tertentu.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Banyak dari kita mengikuti berita mengenai musibah yang dialami keluarga Pak Ridwan Kamil, ikut merasa sedih, dan ikut mendoakan yang terbaik. Dengan akhirnya tubuh Eril ditemukan di Bendungan Engehalde di Bern, Swiss, ada kelegaan, meski rasa sedih dan kehilangan akan tetap dirasakan untuk waktu panjang.
Kehilangan dan meninggalnya anggota keluarga secara mendadak dan tak disangka-sangka merupakan satu contoh trauma. Orangtua bekerja keras mendampingi anak agar kelak mandiri, istri atau suami bahu-membahu membangun keluarga bersama pasangan, pengusaha sedang optimistis merintis bisnis, tak disangka tiba-tiba dihantam oleh realitas sangat menyakitkan.
Peristiwa yang amat mengejutkan, mengancam, dan menyakitkan dapat merusak cerita yang telah terbangun cukup stabil dalam hidup kita. Keyakinan bahwa hidup itu bermakna dan berharga dapat terkacaukan. Juga bahwa kita mampu mengatasi masalah dan dapat meraih kebahagiaan.
Kita perlu secara sengaja dan berulang menyampaikan pada diri sendiri bahwa hidup ini memiliki makna.
Sarah Jirek (2017) mewawancarai anak-anak muda yang punya pengalaman traumatik, tentang bagaimana mereka merekonstruksi cerita hidup pascatrauma. Yang mereka alami beragam, seperti kematian mendadak orang-orang terdekat akibat sakit, kecelakaan, pembunuhan, dan bunuh diri. Yang lain mengalami pemerkosaan, penganiayaan, kecelakaan parah, serta peristiwa menyakitkan lain.
Belum koheren
Menganalisis datanya, Jirek mengelompokkan partisipan pada tiga kelompok. Pertama, yang membangun cerita diri yang tidak koheren dan tidak (atau belum) mampu mengalami pertumbuhan setelah trauma. Kedua, yang sedang berproses untuk dapat menemukan makna hidup yang utuh. Ketiga, yang telah menemukan cerita hidup yang koheren dan menunjukkan pertumbuhan pascatrauma.
Sebagai contoh kelompok 1 ada Mike, 18 tahun. Dua tahun sebelumnya ia kehilangan kakak perempuannya di acara lomba perahu layar. Jenazahnya ditemukan tiga hari kemudian di dalam air. Tidak jelas apa yang terjadi, apakah itu kecelakaan, meski Mike menduga jangan-jangan kakaknya dibunuh pacarnya.
Mike masuk kelompok 1 karena masih harus banyak berjuang mengelola emosinya, terutama emosi marah. Ia belum mampu mengembangkan cerita yang terintegrasi atau koheren seusai peristiwa sangat menyakitkan itu. Ia tidak siap membahas tentang kakaknya dengan orang lain, ingin melupakan traumanya, tetapi tidak bisa. Ia tidak punya arahan masa depan. Bukan saja tidak punya energi untuk dapat berkontribusi bagi kehidupan orang lain, untuk dirinya sendiri pun ia merasa seperti terperangkap, tidak dapat bergerak maju.
Jirek (2017) mencontohkan kasus sebaliknya yang digolongkannya masuk ke kelompok 3. Jennifer, 23 tahun, di usia 12 tahun ibunya mengalami stroke, disusul ayahnya yang mengalami serangan jantung. Jen dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan, harus mengurus orangtuanya ataupun keuangan keluarga. Setelahnya ia mengalami perampokan di bawah todongan senjata serta pelecehan seksual, dan ia mencoba tetap menjalankan semua tugasnya dalam keluarga ataupun di sekolah.
Dengan tumpukan trauma dan amat berkelebihan beban kerja, ia sempat mengalami kecemasan dan depresi. Untungnya ada konselor yang membantunya mengurai persoalan, berkonsentrasi lebih baik pada kuliahnya, dan merawat diri dengan lebih baik.
Hidup bertujuan
Menyadari bahwa masa depan itu tidak pasti, Jen menjalani hidup dengan tujuan harian dan mencoba berinteraksi secara positif dengan orang lain sedemikian rupa agar ia tidak menyesalinya pada kemudian hari. Hal tersebut makin mendekatkannya kepada keluarga.
Ia juga tersadar bahwa ternyata ia dapat melakukan berbagai hal yang tidak dibayangkan dapat dilakukannya. Ia berencana bekerja di bidang kesehatan masyarakat agar dapat menolong masyarakat yang tidak mampu dan menghadirkan harapan bagi orang lain.
Cerita yang dibangunnya tidak naif, mengasihani diri atau minta dikasihani, depresif, sinis, ataupun penuh kemarahan. Terlihat bahwa Jen mampu memaknai kembali peristiwa-peristiwa traumatik yang terjadi dan mengintegrasikannya menjadi cerita hidup yang bertujuan. Ia mengakomodasi pemahaman baru tentang dunia dan membangun cerita yang koheren untuk hidupnya.
Cukup banyak dari kita mungkin ada di golongan 2. Berjuang untuk memahami apa arti hidup, di satu sisi terus mempertanyakan mengapa harus mengalami peristiwa yang sangat menyakitkan itu, dan di sisi lain mencoba yakin bahwa ada makna spiritual di baliknya.
Untuk dapat terus bertumbuh, kita perlu merevisi narasi atau cerita yang telah kita bangun di masa sebelumnya, dengan memasukkan peristiwa traumatik sebagai bagian terintegrasi. Kita perlu secara sengaja dan berulang menyampaikan pada diri sendiri bahwa hidup ini memiliki makna. Bahwa kita mampu mengatasi tantangan serta mampu membangun hidup yang bahagia.
Cara untuk sampai pada cerita dengan makna baru mengenai hidup berbeda-beda. Ada yang memperolehnya lewat rutin merenung dan menulis atau mengobrol yang bersifat reflektif dengan orang lain. Sebagian kita mungkin perlu bantuan profesional atau menjalani konseling untuk mengurai kebuntuan atau kekacauan pikiran kita.
Trauma atau peristiwa menyakitkan cukup sering terkait juga dengan persoalan budaya, nilai-nilai dalam masyarakat, hubungan antarkelompok, atau stigma yang dilekatkan pada kelompok tertentu. Misalnya, individu dihukum keras untuk pilihan hidup atau perbedaan yang dianggap melanggar norma masyarakat atau norma agama.
Apabila demikian, proses untuk dapat menghadirkan cerita baru yang koheren mengenai makna hidup positif dapat lebih sulit dijalani oleh individu. Menyadari ini, baik untuk selalu berupaya memperlakukan sesama dengan menghormati berbagai keragaman yang ada, untuk dapat meminimalkan kesakitan dan trauma.
Semoga semua yang pernah mengalami peristiwa sangat menyakitkan dapat berproses untuk menghadirkan cerita baru yang tetap positif mengenai hidup.