Lonjakan Wisatawan Ancam Situs Warisan Dunia
Penetapan situs warisan dunia mendorong perputaran roda bisnis pariwisata di Indonesia. Namun, kunjungan massal wisatawan yang tak terkendali menjadi ancaman serius bagi kelestarian situs-situs warisan dunia.
MAGELANG, KOMPAS - Warisan dunia di Indonesia berupa situs budaya atau alam menjadi magnet wisata yang luar biasa. Meski membantu perekonomian, wisata massal sekaligus menjadi ancaman bagi kelestarian warisan dunia.
Gempuran wisatawan salah satunya mengancam situs budaya warisan dunia Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kerusakan di candi ini di antaranya berupa keausan pada bagian batu tangga.
Hal ini diakibatkan oleh gesekan alas kaki para pengunjung ketika naik dan turun candi. Keausan sangat terlihat jelas dengan kondisi permukaan batu tangga yang cekung karena tergerus.
Kepala Balai Konservasi Borobudur (BKB), Wiwit Kasiyati, mengatakan, tidak hanya sekedar gesekan alas kaki yang memicu ausnya batuan, kerusakan juga terjadi karena kunjungan wisatawan massal yang dibarengi aksi vandalisme dan membuang sampah sembarangan.
Wisatawan juga tak segan naik ke atas stupa asalkan bisa berfoto dengan sudut terbaik di atas bangunan candi.“Rata-rata kunjungan wisatawan sama sekali tidak memiliki nilai atau tujuan edukasi. Mereka hanya beramai-ramai datang, buru-buru naik ke atas stupa, hanya untuk tujuan foto belaka,” ujarnya, Jumat (24/6/2022) di Magelang, Jateng .
Aksi vandalisme pengunjung paling parah terjadi di tahun 2000, di mana banyak wisatawan membuang berbagai jenis sampah di segala sisi candi dan mencorat-coret batu candi dengan spidol atau cat semprot. Tidak terbayangkan bahwa kunjungan masif di Borobudur akan berdampak seperti sekarang.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Nasional Junus Satrio Atmodjo mengatakan, permasalahan yang membelit Candi Borobudur sangat kompleks, termasuk di dalamnya perihal perilaku pengunjung. Tidak sekedar mencorat-coret batuan ataupun membuang sampah sembarangan, sebagian wisatawan bahkan nekat membuang “sampah” dari tubuhnya, dengan pipis seenaknya di bangunan candi.
“Di atas Candi Borobudur yang semestinya dihormati sebagai bangunan suci, beberapa orangtua justru seenaknya menyuruh anak-anaknya pipis di lantai candi,” kata dia.
Di sana, pengunjung juga sering melakukan tindakan tercela. Di lorong-lorong candi misalnya, pengunjung laki-laki melakukan pelecehan atau kekerasan seksual pada wisatawan perempuan.
Tidak hanya sekedar gesekan alas kaki yang memicu ausnya batuan, kerusakan juga terjadi karena kunjungan wisatawan massal yang dibarengi aksi vandalisme dan membuang sampah sembarangan.
Berdasarkan pantauan dan pengukuran yang dilakukan sejak tahun 1984 hingga 2021, bangunan Candi Borobudur telah ambles sedalam dua sentimeter dari permukaan. Salah satu penyebabnya adalah tekanan dari beban aliran pengunjung yang terus berdatangan tanpa dibatasi.
Penjagaan ekstra perlu dilakukan di teras 1, 2, dan 3 Candi Borobudur karena struktur batuan candi di lokasi tersebut tidak diperkuat dengan campuran beton.“Teras 1, 2, dan 3 menjadi daerah yang paling rawan rusak, sementara tiga teras tersebut juga menjadi sasaran utama kunjungan turis, terutama mereka yang ingin berswafoto,” kata Koordinator Kelompok Kerja Pemeliharaan BKB, Bramantara.
Baca juga: Uji Coba Kunjungan Candi Borobudur Menunggu SOP Kemendikbudristek
Kunjungan wisatawan ke Candi Borobudur memang luar biasa. Sejak tahun 2016, jumlah kunjungan wisatawan selalu lebih dari 3,7 juta orang. Sebelum pandemi, pada 2019, jumlah wisatawan di sana mencapai 3,9 juta orang.
Dampak kerusakan dari faktor internal seperti usia bangunan candi yang sudah tua, memang sulit dihindari. Namun, faktor manusia seperti kunjungan wisatawan harus dicegah dan diantisipasi.
Menyikapi hal tersebut, Wiwit menuturkan, BKB telah membuat SOP (prosedur standar operasi) yang harus dipatuhi pengunjung saat bangunan Candi Borobudur kembali dibuka. Dalam SOP ditetapkan bahwa jumlah kunjungan wisatawan ke bangunan candi dibatasi sebanyak 1.259 orang per hari. Setiap pengunjung yang naik juga wajib mengenakan sandal upanat dan didampingi pemandu wisata bersertifikat.
Swafoto dengan komodo
Selain Candi Borobudur, Warisan dunia alam di Indonesia yang juga banyak diminati adalah Taman Nasional (TN) Komodo di Nusa Tenggara Timur (NTT). Di Pulau Komodo misalnya, wisatawan diajak menyusuri rute habitat komodo dan melihat komodo secara langsung. Mereka memotret dan berswafoto dengan latar belakang komodo.
Di lokasi itu, pemandu dengan kayu bercabang berusaha menghalau pergerakan komodo masuk ke tengah hutan."Kasihan komodonya. Jangan ditahan lama-lama. Komodo bisa stres, " ujar Tasya (35), salah seorang pengunjung.
Namun, salah satu pemandu mengatakan, mereka terpaksa melakukan hal itu agar wisatawan dapat melihat komodo lebih lama dan dapat berpose dengan komodo. "Kasihan mereka sudah datang jauh-jauh untuk lihat komodo tapi komodo sudah masuk ke hutan. Semua ini kami lakukan untuk kepuasan wisatawan, " ujarnya.
Sebelum pandemi Covid-19, pengunjung di TN Komodo mencapai 221.703 orang pada 2019. Jumlah itu meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan 2018 sebanyak 109.243 orang.
Baca juga: Pengunjung Taman Nasional Komodo Dibatasi, Reservasi Daring Mulai Agustus
Jika tidak dibatasi, jumlah wisatawan akan terus naik setiap tahunnya sehingga berpotensi mengganggu ekosistem reptil purba tersebut. Menurut Kepala Balai Taman Nasional Komodo Lukita Awang Nistyantara, tren peningkatan pengunjung sudah terlihat sejak 2010.
Pada 2016, pihaknya meneliti perilaku komodo terhadap wisatawan.“Ternyata komodo di tempat wisata perilakunya berubah. Kewaspadaannya berkurang, cenderung dekat dengan manusia. Sementara di tempat non-wisata, akan menjauh saat melihat manusia,” jelasnya saat konferensi pers "Kajian Daya Dukung Daya Tampung Berbasis Ekosistem di Taman Nasional Komodo" di Jakarta, Senin (27/6).
Kelestarian komodo juga bergantung pada dukungan alam di sekitarnya, termasuk pepohonan. Apalagi, komodo dewasa sering memangsa anak komodo. Karena itu, pohon sangat penting sebagai tempat berlindung bagi anak komodo.
“Pada 1960-an, hutan di sana masih sangat bagus, hutannya lebat. Jadi, anak komodo yang baru menetas bisa leluasa lari dan memanjat pohon. Namun, sekarang mereka (anak komodo) susah cari pohon,” ucap Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi.
Ketua Tim Ahli Kajian Daya Dukung Daya Tampung Berbasis Jasa Ekosistem di Pulau Komodo, Pulau Padar, dan Kawasan Air di Sekitarnya, Irman Firmansyah, mengatakan, pembatasan pengunjung di TN Komodo dapat menekan potensi kehilangan nilai jasa ekosistem dan manfaat sosial ekonomi. Namun, jika tidak dibatasi, kehilangan jasa ekosistem diperkirakan mencapai Rp 11,1 triliun.
Terancam dicoret
Ancaman serius terhadap kelestarian warisan dunia juga menimpa Hutan Hujan Tropis Sumatera yang ditetapkan sebagai situs alam warisan dunia oleh UNESCO pada 2004. Ada lima ancaman serius yang membahayakan kelestarian hutan ini, yaitu pembangunan jalan di dalam hutan atau taman nasional, gangguan perluasan lahan pertanian, pembalakan liar, perburuan satwa, dan lemahnya kebijakan lembaga institusi serta pemerintah.
Baca juga: Ini Lima Penyebab Hutan Hujan Tropis Sumatera Terancam Dicoret sebagai Warisan Dunia
Sejak 10 tahun terakhir, hutan seluas 2,5 juta hektar itu masuk dalam daftar merah warisan dunia atau berada dalam kategori bahaya. Jika tidak ada upaya serius untuk menjaga kelestariannya, Hutan Hujan Tropis Sumatera akan dicoret dari daftar situs alam warisan dunia.(EGI/TAM/FRN/SKA/JOL/HRS/ELN/ABK)