Pengunjung Taman Nasional Komodo Dibatasi, Reservasi Daring Mulai Agustus
Sebelum pandemi Covid-19, pengunjung Taman Nasional Komodo terus meningkat. Jika tidak dibatasi, jumlahnya akan terus naik sehingga berpotensi mengganggu ekosistem komodo, reptil purba endemik Indonesia.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebelum pandemi Covid-19, kunjungan wisatawan ke Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur terus meningkat. Hal ini berpotensi mengancam kelestarian biodiversitas kawasan warisan dunia tersebut. Untuk mencegahnya, jumlah pengunjung akan dibatasi, salah satunya dengan menerapkan sistem reservasi daring mulai Agustus mendatang.
Pengunjung Taman Nasional Komodo pada 2019 mencapai 221.000 orang. Jumlah itu meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2016 dengan kunjungan mencapai 100.000 orang. Jika tidak dibatasi, jumlah wisatawan akan terus naik setiap tahun sehingga dikhawatirkan mengganggu ekosistem komodo, reptil purba endemik Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjalankan program penguatan fungsi Taman Nasional Komodo sebagai upaya mempertahankan nilai jasa ekosistem demi konservasi berkelanjutan. Salah satu rekomendasinya adalah membatasi jumlah pengunjung sekitar 200.000 orang per tahun.
Selain itu, reservasi kunjungan secara daring akan diterapkan mulai Agustus 2022 untuk mengendalikan jumlah wisatawan. Kompensasi biaya konservasi, menurut rencana, diterapkan secara kolektif sebesar Rp 3,75 juta per orang setiap tahun.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengatakan, jika tren peningkatan pengunjung tidak dikendalikan, outstanding universal value atau nilai universal luar biasa dari Taman Nasional Komodo akan terpengaruh. ”Perlu diatur jumlah maksimum yang dapat ditampung agar tidak berdampak pada kelestarian satwa komodo,” ujarnya di Gedung Manggala Wanabakti KLHK, Jakarta, Senin (27/6/2022).
Pembatasan pengunjung bertujuan meminimalkan dampak negatif kegiatan wisata terhadap kehidupan komodo serta ekosistem di sekitarnya. Oleh karena itu, diperlukan kajian daya dukung daya tampung wisata yang melibatkan sejumlah ahli dari sejumlah lembaga dan perguruan tinggi sebagai dasar penentuan kuota wisatawan.
Hasil kajian itu merekomendasikan jumlah pengunjung ideal ke Pulau Komodo sekitar 219.000 orang dan ke Pulau Padar berjumlah 39.420 orang per tahun. Alue berharap kajian tersebut dipakai dalam merumuskan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi dan pemanfaatan wisata berkelanjutan.
Pembatasan pengunjung dapat menekan potensi kehilangan nilai jasa ekosistem dan manfaat sosial ekonomi. Namun, jika tidak dibatasi, kehilangan jasa ekosistem diperkirakan Rp 11,1 triliun.
Akan tetapi, menurut Alue, penerapan kebijakan perlu sosialisasi menyeluruh agar masyarakat tidak kaget. Ia berharap rekomendasi itu diuji coba terlebih dulu.
Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi mengatakan, dibutuhkan kolaborasi sejumlah pihak untuk mendukung kelestarian biodiversitas di Taman Nasional Komodo. Oleh karena itu, rekomendasi ahli, baik aspek konservasi maupun pariwisata, harus dijadikan dasar dalam membuat kebijakan di setiap tingkatan.
”Jika tidak, beberapa tahun kemudian, saya yakin komodo ini akan punah. Mari berkolaborasi, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, maupun pihak-pihak lainnya,” katanya.
Menurut Josef, penanaman pohon di Taman Nasional Komodo perlu digencarkan. Sebab, pohon sangat berguna bagi anak komodo untuk dipanjat sehingga anak-anak komodo tidak dimangsa komodo dewasa.
”Pada 1960-an, hutan di sana masih sangat bagus, hutannya lebat. Jadi, anak komodo yang baru menetas bisa leluasa lari ke pohon. Namun, sekarang mereka (anak komodo) susah cari pohon,” ucapnya.
Perubahan perilaku komodo
Kepala Balai Taman Nasional Komodo Lukita Awang Nistyantara mengatakan, tren peningkatan pengunjung sudah terlihat sejak 2010. Pada 2016, pihaknya meneliti perilaku komodo terhadap wisatawan.
”Ternyata komodo di tempat wisata perilakunya berubah. Kewaspadaannya berkurang, cenderung dekat dengan manusia. Sementara di tempat nonwisata akan menjauh saat melihat manusia,” ujarnya.
Ketua Tim Ahli Kajian Daya Dukung Daya Tampung Berbasis Jasa Ekosistem di Pulau Komodo, Pulau Padar, dan Kawasan Air di Sekitarnya Irman Firmansyah mengatakan, pembatasan pengunjung dapat menekan potensi kehilangan nilai jasa ekosistem dan manfaat sosial ekonomi. Namun, jika tidak dibatasi, kehilangan jasa ekosistem diperkirakan Rp 11,1 triliun.
Irman menjelaskan, sejumlah tantangan dalam mengelola Taman Nasional Komodo, di antaranya, adalah pengelolaan sampah, penataan kawasan permukiman, membatasi kapal yang bermalam di laut, dan menjaga stabilitas ekosistem akibat dampak perubahan iklim.