Melambat untuk Menjawab Krisis
Krisis energi diikuti krisis pangan harus mendorong transformasi ke energi bersih, selain lebih hemat energi. Ada biaya dan pihak lain yang lebih membutuhkan untuk setiap bentuk energi dan pangan yang kita boroskan.
Pandemi Covid-19 belum sepenuhnya teratasi, tetapi dunia menghadapi kombinasi krisis energi dan pangan. Solusi yang kita pilih untuk mengatasi rentetan masalah saat ini akan sangat menentukan tingkat keparahan masalah berikutnya: krisis iklim.
Invasi Rusia ke Ukraina memicu sanksi larangan impor energi negara-negara Barat dari Rusia. Sanksi ini kemudian dibalas Rusia dengan penghentian pengiriman bahan bakar ke sejumlah negara Eropa.
Padahal, Rusia bukan hanya pengekspor minyak terbesar nomor dua di dunia, tetapi juga pengekspor gas alam terbesar dan eksportir penting batubara. Sebagian besar pasokan gas dari Rusia itu merupakan penopang energi listrik di Eropa.
Gas menjadi sumber energi di Eropa semenjak mereka mulai mengurangi ketergantungan pada batubara untuk mencapai netralitas karbon pada 2050 dan mengurangi emisi setidaknya 55 persen pada 2030. Kini, sekitar 25 persen konsumsi energi UE berasal dari gas alam, minyak bumi (32 persen), energi terbarukan dan biofuel (18 persen), serta bahan bakar fosil padat (11 persen).
Sebanyak 41 persen kebutuhan gas Eropa dipasok Rusia. Bahkan, Jerman menggantungkan lebih dari setengah gas alam dan sepertiga kebutuhan minyaknya dari Rusia. Sekitar setengah dari impor batubara Jerman, terutama untuk menopang industri bajanya, juga berasal dari Rusia.
Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Berlanjut ke Perang Energi
Maka, begitu Rusia memangkas kapasitas pipa Nord Stream 1 yang mengalirkan gas ke Eropa, pekan lalu, Jerman mengumumkan kondisi darurat dan menyatakan bakal menghidupkan kembali pembangkit listrik tenaga batubara. Austria, Belanda, dan Italia segera mengikuti, dengan mencabut pembatasan pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil.
Pembakaran batubara melepaskan CO2 rata-rata dua kali lebih banyak daripada gas alam sehingga bisa dipastikan target penurunan emisi global tidak akan tercapai.
Krisis pangan
Padahal, krisis energi ini hanya rangkaian dari masalah berikutnya, yaitu krisis pangan. Lonjakan harga pangan yang terjadi sejak pertengahan 2020 akibat pandemi Covid-19 dan cuaca buruk telah diperparah oleh perang Rusia dan Ukraina.
Kedua negara itu adalah pengekspor makanan utama, bersama-sama menyumbang hampir 30 persen dari ekspor gandum global dan memainkan peran kunci dalam pasokan pupuk global. Harga pangan yang telah meningkat tajam selama dua tahun terakhir bakal naik lebih tinggi lagi jika harga bahan bakar terus meningkat.
Menurut Program Pangan Dunia (WFP), dalam dua tahun terakhir, jumlah orang yang rawan pangan parah di seluruh dunia telah meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 276 juta dan selanjutnya dapat meningkat 17 persen menjadi 323 juta sebagai akibat dari perang Rusia di Ukraina tahun ini.
Gabungan krisis energi dan pangan global ini menjadi sumber petaka bagi negara-negara yang fondasi ekonomi-politiknya rapuh.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres dalam pesan videonya saat membuka pertemuan kelompok negara-negara industri besar G-7 di Berlin, pekan lalu, mengatakan, situasi tahun 2023 bisa lebih buruk lagi. Biaya utama bagi petani adalah pupuk dan energi. Padahal, harga pupuk telah meningkat lebih dari setengahnya pada tahun lalu dan harga energi lebih dari dua pertiga. Situasi ini akan memicu krisis besar ke depan.
Bahkan, saat ini, gabungan krisis energi dan pangan global ini menjadi sumber petaka bagi negara-negara yang fondasi ekonomi-politiknya rapuh. Di Sri Lanka, orang mengantre bermil-mil untuk mengisi tangki bahan bakar yang menipis. Kebangkrutan ekonomi dan jeratan utang membuat negara ini kesulitan membeli bahan bakar dan makanan.
Mengurangi konsumsi
Kombinasi krisis energi dan krisis pangan ini memang tak mudah diatasi. Namun jelas, jawabannya bukanlah bahan bakar fosil tambahan. Kita memang perlu segera mengatasi defisit energi saat ini, tapi solusi yang diambil harus melampaui kepentingan jangka pendek dan menghitung risiko masa depan.
Kita tahu bahwa beralih ke energi bersih adalah solusi terbaik untuk iklim. Faktanya, dalam lima tahun terakhir, transisi energi menuju energi bersih mengalami stagnasi. Konsumsi dan produksi energi berkontribusi pada dua pertiga emisi global dan 81 persen dari sistem energi global masih didasarkan pada bahan bakar fosil, persentase yang sama seperti 30 tahun lalu.
Tentu saja dunia harus mencari solusi jangka pendek atas hilangnya pasokan minyak dan gas dari Rusia dari pasar. Namun, hal ini jangan sampai menjadi alasan untuk kembali mengenjot kembali investasi bahan bakar fosil. Sebaliknya, hal ini harus menjadi momentum untuk mempercepat transformasi energi terbarukan, termasuk transfer teknologi ke negara-negara berkembang dan miskin.
Baca juga: Perang Ukraina, Hadangan Baru Transisi Energi dan Pemanasan Global
Jalan lain yang juga harus ditempuh adalah dengan mengurangi konsumsi, terutama di negara-negara maju yang selama ini menjadi penyumbang emisi per kapita terbesar. Seperti diingatkan sejarawan Aviva Chomsky dalam bukunya, Is Science Enough? Forty Critical Questions About Climate Justice (2022), penyebab sebenarnya dari perubahan iklim adalah sistem ekonomi global yang konsumtif dan tidak adil.
Apa yang kita sebut energi alternatif atau energi bersih, menurut Chomsky, bisa menjadi istilah yang relatif. Misalnya, mobil listrik yang menjadi gaya hidup di negara maju bukanlah energi bersih jika dijalankan dengan listrik energi fosil, belum lagi baterai dan komponen fisik lain yang dalam pembuatannya tinggi emisi.
Lagi pula pandemi sebenarnya memberikan pelajaran bahwa ekonomi tetap bisa berjalan dengan pengurangan mobilitas fisik. Faktanya, hanya 15 persen dari populasi planet ini yang pernah naik pesawat dan sebagian besar didominasi penduduk negara maju.
”Kita perlu memikirkan bagaimana tidak mengonsumsi lebih dari bagian kita, menyadari bahwa ada biaya untuk setiap bentuk produksi energi,” ujar Chomsky.
Umat manusia membutuhkan energi dan pangan, tetapi kita harus memprioritaskan kebutuhan dasar manusia di atas kemewahan kelompok elite di Bumi ini. Ada biaya dan pihak lain yang lebih membutuhkan untuk setiap bentuk energi dan pangan yang dihambur-hamburkan.