Pengembangan Baterai untuk Kendaraan Listrik Harus Ramah Lingkungan
Pengembangan baterai kendaraan listrik harus mengedepankan aspek keberlanjutan dan ramah lingkungan. Baterai yang telah diproduksi dan digunakan agar dipastikan bisa diolah atau didaur ulang kembali.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Petugas melepas baterai motor listrik saat uji coba stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) di Jakarta, Senin (31/8/2020). Adanya SPBKLU ini diharapkan akan menambah minat masyarakat untuk beralih dari kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan.
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan baterai sangat dibutuhkan sebagai penyimpan energi dan merupakan salah satu teknologi inti dalam kendaraan listrik.Namun, riset dan pengembangan baterai harus mengedepankan aspek keberkelanjutan dan ramah lingkungan agar tidak menimbulkan permasalahan baru di masa mendatang.
Hal tersebut mengemuka dalam konferensi internasional tentang baterai untuk energi terbarukan dan kendaraan listrik (ICB-REV) 2022 secara daring, Rabu (22/6/2022). Acara yang diselenggarakan oleh Institut Penelitian Baterai Nasional (NBRI) pada 21-23 Juni ini menghadirkan sejumlah pembicara dan pakar dari sejumlah negara.
Profesor bidang material dari New University of Lisbon, Portugal, Rodrigo Martins, mengemukakan, pengembangan baterai yang berkelanjutan harus fokus pada sejumlah aspek. Baterai harus berasal dari sumber atau bahan yang bisa dipertanggungjawabkan, dibuat dari manufaktur berkelanjutan dan sirkular, serta dapat didaur ulang kembali.
Persyaratan pengumpulan yang kuat dan insentif untuk mengembalikan baterai litium bekas guna memastikan baterai tersebut tidak hilang atau dikirim secara ilegal di akhir masa pakainya.
”Pengembangan baterai harus dimulai dengan membuat sistem yang transparan. Mengingat bahan baku baterai berasal dari alam, perlu juga menerapkan perlindungan lingkungan yang lebih kuat pada kegiatan penambangan global,” ujarnya.
Menurut Rodrigo, memastikan pengembangan baterai yang mengedepankan aspek keberlanjutan memerlukan peran semua pihak, tak terkecuali produsen. Semua produsen baterai yang produknya ditemukan di pasaran, terutama Uni Eropa, harus mengukur dan melaporkan jejak karbon dan energi setiap model baterai yang diproduksi.
KOMPAS/STEFANUS OSA
Bongkahan baterai mobil listrik Hyundai dipamerkan dalam GIIAS di ICE BSD, Tangerang, Banten, 11-21 November 2021. Sebagian besar penyebab mahalnya mobil listrik terletak pada mahalnya harga baterai listrik kendaraan.
Pihak produsen didorong untuk melaporkan detail massa karbon produk baterai dengan satuan kilogram karbon dioksida per kilowatt jam (kgCO2/kWh) dan penggunaan energinya. Seluruh informasi ini juga harus dipastikan dapat diakses dengan mudah oleh publik.
Selain itu, baterai yang telah diproduksi dan digunakan harus dipastikan bisa diolah atau didaur ulang kembali. Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan persyaratan pengumpulan yang kuat dan insentif untuk mengembalikan baterai litium bekas guna memastikan baterai tersebut tidak hilang atau dikirim secara ilegal di akhir masa pakainya.
”Dengan pertimbangan produk ramah lingkungan, desain sel dan kemasan baterai harus memasukkan sirkularitas sejak awal. Ini bertujuan untuk memudahkan pembongkaran, perbaikan, penggunaan kembali, dan daur ulang,” ucapnya.
Kepala Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ratno Nuryadimengatakan, peleburan seluruh lembaga penelitian ke dalam BRIN membuat pengembangan baterai dapat lebih terarah. Sumber daya manusia yang sebelumnya tersebar di berbagai institusi juga kini telah terintegrasi dalam satu kelompok riset.
Salah satu fokus yang didalami para periset BRIN adalah terkait teknologi inti baterai. Teknologi ini menjadi fokus karena baterai ion litium memiliki aplikasi yang sangat luas, terutama untuk kendaraan listrik dan penyimpanan energi. Dengan menguasai teknologi ini, produk baterai dapat dikembangkan dengan lebih ringan, kecil, aman, dan berbiaya rendah.
Riset material
Sebagai upaya mempercepat pengembangan baterai dalam negeri, BRIN saat ini terus fokuspada riset material dari hulu hingga hilir. Fokus riset ini termasuk untuk teknologi penambangan, sintesis prekursor, bahan aktif, hingga proses daur ulang.
”Teknologi utama dari baterai ini termasuk material, manufaktur, dan sistem manajemen baterai. Namun, teknologi material memiliki peran paling penting,” ujarnya.
Selain itu, BRIN juga akan fokus pada riset untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam lokal seperti nikel sebagai bahan baterai melalui proses yang ramah lingkungan dan hemat biaya. Semua program riset baterai dari BRIN juga membuka peluang kerja sama dengan universitas, industri, dan lembaga riset lainnya, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Keseriusan dan fokus Indonesia ini tidak terlepas dari pertumbuhan industri baterai litium dunia yang diprediksi akan naik 14 kali lipat seiring dengan kemajuan teknologi.Namun, Indonesia Battery Corporation (IBC)memperkirakan butuh investasi hingga 15,3 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 218 triliun untuk membuat Indonesia menjadi pemain baterai kendaraan listrik di pasar global.