Masih Tahap Awal, Diskusi RUU Sisdiknas Sudah Menghangat
Dinamika penyusunan draf Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional terus terjadi. Pemerintah menargetkan RUU ini masuk Prolegnas Prioritas 2022.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
Perubahan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional masih terus digodok pemerintah. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai inisiator menargetkan rancangan undang-undang ini bisa masuk program legislasi nasional prioritas di DPR tahun ini.
Meskipun disebutkan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) masih di tahap pertama, yakni perencanaan, pengawalan oleh publik begitu kuat. Draf RUU Sisdiknas di tahap awal yang sempat beredar memunculkan pro dan kontra. Hingga saat ini, tak ada lagi draf yang beredar di publik.
”Saat ini prosesnya masih dini atau tahap perencanaan. Bahkan, sekarang kita masih mengusulkan supaya RUU ini masuk dalam Prolegnas prioritas. Namun, kita sudah melakukan pelibatan publik,” kata Analis kebijakan dan anggota Tim RUU Sisdiknas Kemendikbudristek, Totok Suprayitno, dalam diskusi daring ”Nasib Pendidikan Informal dan Homeschooling di RUU Sisdiknas” yang digelar Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI), Senin (20/6/2022) malam.
Totok menjelaskan, pelibatan publik yang lebih masif akan dilakukan ketika RUU Sisdiknas sudah masuk Prolegnas prioritas. Harapannya, dalam waktu dekat Kemendikbudristek sudah bisa melaksanakan pelibatan publik yang lebih luas.
Berbagai masukan, salah satunya dari PHI yang menggelar pendidikan informal dalam keluarga, masuk dalam draf terbaru RUU Sisdiknas. Ada keresahan tentang nasib homeschooling atau sekolah rumah yang dulunya disebut sebagai pendidikan informal. Namun, di RUU Sisdiknas, sekolah rumah disebutkan masuk sebagai pembelajaran informal.
Menurut Totok, justru RUU Sisdiknas yang baru ini memberikan fleksibilitas untuk lentur mengikuti perubahan di masyarakat yang dinamis. Spektrum pendidikan bisa semakin luas karena penamaan atau bentuk yang mengikat (rigid) dihindari agar leluasa jika ada perubahan dan perkembangan.
”Kalau ada bentuk baru yang muncul dari inovasi masyarakat, nanti jadi susah. Semangat fleksibilitas itu ingin dimunculkan dalam draf RUU Sisdiknas ini,” kata Totok.
Pendidikan ke depannya harus dijalankan dengan semangat bebas dan merdeka, tetapi tetap ada check and balance dari pemerintah agar layanan pendidikan yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan dan selaras dengan definisi internasional.
Pendidikan informal yang dikenal di dalam negeri ternyata tidak dikenal dalam International Standar Clasiffication of Education (ISCE) UNESCO. Sebab, yang diakui adalah pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pembelajaran informal.
Jika tidak selaras dengan dunia internasional, capaian belajar dan wajib belajar yang menjadi kebijakan negara tidak tercatat secara internasional. ”Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana. Ada kurikulum, siklus belajar, hingga asesmen. Adapun pembelajaran merupakan proses perolehan pengetahuan, sikap, nilai, keterampilan, dan banyak hal lagi. Ini bisa didapat melalui pendidikan, bisa juga dari diskusi, menonton, atau keluarga,” papar Totok.
Koordinator Nasional PHI Ellen Nugroho mengatakan, pembahasan RUU Sisdiknas memang harus melibatkan publik yang relevan. Terkait pendidikan informal/sekolah rumah, PHI memperjuangkan agar para keluarga tetap diberikan kemerdekaan atau fleksibilitas dalam menjalankan pendidikan sesuai visi misi keluarga.
Para orangtua dan anak di dalam keluarga bersepakat meninggalkan sekolah atau pendidikan formal untuk dapat mengustomisasi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak. Namun, perlu juga pengakuan negara terhadap status belajar dan capain belajar supaya anak-anak sekolah rumah bisa mengakses pendidikan akademis, non-akademis, dan karier yang setara dengan keluaran pendidikan formal dan nonformal.
Dari hasil musyawarah nasional Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) pekan lalu, Komisi Pendidikan menyatakan, lapisan terdalam (nukleus) proses pendidikan adalah kehidupan manusia yang mulia, bermartabat, layak, dan berkelanjutan, bukan hanya sebatas memperoleh pekerjaan dan penghidupan.
Oleh karena itu, harus ditegaskan dalam sistem pendidikan nasional bahwa tujuan sistem persekolahan bukan hanya mencetak pekerja-pekerja terampil, melainkan juga untuk memberi efek transformasi ke arah masyarakat yang lebih rasional dan demokratis, mandiri mengembangkan dan menggunakan pengetahuan, teknologi, serta kebudayaan dengan identitas bangsa Indonesia.
Pendidikan juga harus mengemban tugas zaman. Karena itu, pendidikan harus responsif terhadap kebutuhan kecakapan masa kini dan stok kecakapan masa depan.
Pengawalan pembahasan RU Sisdiknas juga terus dilakukan Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) yang merupakan aliansi para penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat. APPI terdiri dari Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pengurus Pusat Muhammadiyah, Himpunan Sekolah dan Madrasah Nusantara (HISMINU), Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia (MPK), Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dan Majelis Luhur Perguruan Taman Siswa.
Ketua Dewan Pengarah APPI Doni Koesoema A mendesak agar dibentuk Panitia Kerja Nasional yang terdiri dari berbagai macam pemangku kepentingan, dari akademisi sampai praktisi untuk mendesain transformasi pendidikan nasional masa depan.