Ruang Aktualisasi Diri bagi Pengungsi dan Pencari Suaka
Pengungsi dan pencari suaka butuh dorongan agar bisa berkontribusi ke masyarakat. Salah satu hal yang dibutuhkan adalah ruang untuk aktualisasi diri.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain membutuhkan layanan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan, pengungsi serta pencari suaka di Indonesia juga membutuhkan wadah untuk memberdayakan diri. Hal itu bertujuan agar mereka bisa memberi kontribusi positif ke masyarakat.
Pengungsi asal Afghanistan, Nazanin Jan Ali (19), menuturkan, ketika datang ke Indonesia sekitar enam tahun lalu, ia dan keluarganya kesulitan mengakses layanan kesehatan. Ia juga kesulitan melanjutkan pendidikan sehingga terpaksa tidak sekolah. Tak mau diam saja, ia lantas menjadi guru bahasa Inggris bagi para pengungsi anak-anak.
Belakangan ini ia mengikuti latihan pemodelan dari Mishka Project, program nonprofit dari Makaila Haifa, salah satu jenama Indonesia. Setelah berlatih berjalan dan berpose seperti model profesional, ia didapuk sebagai salah satu model (muse) bagi jenama itu pada ajang Indonesia Fashion Week (IFW) 2022.
”Rasanya senang karena bisa mengeksplorasi potensi diri. Selama ini, saya tidak ada waktu untuk memikirkan diri sendiri,” kata Nazanin di Jakarta, Senin (20/6/2022). Tanggal 20 Juni diperingati sebagai Hari Pengungsi Sedunia.
Menurut Komisi Tinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), saat ini ada lebih dari 100 juta orang yang terpaksa meninggalkan rumah atau negaranya karena perang, kekerasan, ataupun persekusi. Itu adalah jumlah terbesar yang pernah tercatat selama ini.
Rasanya senang karena bisa mengeksplorasi potensi diri. Selama ini, saya tidak ada waktu untuk memikirkan diri sendiri.
Konflik antara Rusia dan Ukraina pun menambah jumlah pengungsi dan pencari suaka. Sebelumnya, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket mengatakan, setidaknya 10 juta penduduk meninggalkan Ukraina. Angka ini setara seperempat jumlah penduduk di sana. Adapun 6 juta orang menjadi pengungsi di Uni Eropa dan negara-negara Eropa.
Senior Protection Officer UNHCR Indonesia Julia Zajkowski mengatakan, selain Ukraina, kekerasan yang memaksa orang mengungsi juga masih terjadi di negara-negara lain, di antaranya Myanmar, Afghanistan, dan Republik Demokratik Kongo.
Di Indonesia saat ini ada lebih dari 13.100 pengungsi dan pencari suaka yang berasal dari 50 negara. Sebanyak 74 persen di antaranya adalah perempuan. Mereka tersebar di beberapa tempat di Indonesia, antara lain Jakarta, Medan, Aceh, Batam, dan Makassar.
Menurut Zajkowski, ada sejumlah pengungsi dan pencari suaka yang sudah bertahun-tahun tinggal di Indonesia dan berkontribusi ke masyarakat. Mereka dapat memberi kontribusi lebih jika diberi kesempatan. ”Setiap orang berhak mencari suaka. Siapa pun, dari mana pun, dan di mana pun dia berada,” ujarnya.
”Ini tanggung jawab kita bersama untuk memastikan akses suaka. Namun, tanggung jawab kita tidak selesai di situ. Kita juga mesti memastikan mereka punya kesempatan membangun kembali hidup mereka, mengusahakan akses pendidikan, layanan kesehatan, bahkan kesehatan mental jika diperlukan,” tuturnya.
Dengan lebih dari 100 juta pengungsi dan pencari suaka saat ini, hanya kurang dari 1 persen dari mereka yang akan ditempatkan di negara dunia ketiga. Penempatan itu berarti pengungsi atau pencari suaka bisa tinggal dalam jangka waktu panjang atau bahkan permanen di negara tersebut.
”Setiap negara (yang menerima pengungsi dan pencari suaka) mempunyai kuota terbatas untuk penempatan sehingga kami mesti menerapkan prioritas berdasarkan, antara lain, durasi tinggal di Indonesia, kerentanan, dan kebutuhan,” kata Zajkowski.
Karena itu, perlu mekanisme lain untuk memastikan pengungsi bisa hidup layak. Pengungsi dapat mengandalkan jalur tenaga kerja. Artinya, pengungsi yang memiliki pengalaman kerja dan keterampilan tertentu dapat direkrut suatu negara untuk bekerja. Pembekalan berbagai keterampilan bagi pengungsi dan pencari suaka menjadi penting.
Inisiator dan pendiri jenama Makaila Haifa, Ling Hidah Seaful, mengutarakan, program nirlaba yang ia jalankan akan dikembangkan. Selain membina pengungsi menjadi model, ia berencana membina mereka agar dapat terlibat dalam proses mendesain busana.
”Kami harap bisa merangkul lebih banyak pengungsi, dari dalam ataupun luar negeri, karena ini merupakan isu global,” katanya.