Hidup sebagai pengungsi susah. Hidup sebagai perempuan pengungsi lebih susah lagi. Kekerasan berbasis jender mengintai.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Sudah terusir dari tanah air, perempuan pengungsi dari Ukraina menghadapi kerentanan terkena jerat kekerasan domestik dan rumah tangga di tempat pengungsian. Sebuah momok yang terjadi kepada perempuan yang kehilangan tempat tinggal secara global selama bertahun-tahun. Kekerasan berbasis jender maupun KDRT menjadi penyakit yang semakin terkuak di hadapan masyarakat. Pertanyaannya ialah maukah pemerintah dan publik melakukan sesuatu untuk menanganinya.
Fakta terbaru mengenai ancaman terhadap perempuan pengungsi Ukraina itu terungkap melalui liputan surat kabar Inggris, Daily Mail. Mereka melakukan penyelidikan terhadap program bantuan pengungsi di negara tersebut yang bernama Homes for Ukraine.
Di dalam program itu, warga Inggris secara sukarela menawarkan tempat tinggal mereka sebagai rumah singgah bagi para perempuan pengungsi dari Ukraina yang meninggalkan negara mereka sejak Rusia menyerang per 24 Februari 2022. Program ini mengiklankan diri melalui berbagai media sosial. Tercatat, ada 138.000 warga Inggris yang bergabung sebagai induk semang untuk para pengungsi.
Namun, setelah ditelaah, ternyata 30 persen dari relawan Homes for Ukraine adalah laki-laki berusia 40 tahun ke atas dengan sejarah sebagai pelaku KDRT ataupun pelecehan seksual. Ini membuat masyarakat mendesak agar Pemerintah Inggris ataupun organisasi swasta dan lembaga swadaya masyarakat melakukan pengawasan dan pengecekan lapangan yang lebih intensif.
Seorang perempuan pengungsi berusia 30 tahun, merupakan salah satu pengungsi yang mengalami hal tidak mengenakkan ini. Ia bergabung dengan akun media sosial program tersebut demi mencari tempat tinggal. “Justru, yang muncul malah pesan-pesan dari para relawan ini. Pengirimnya berbeda-beda, tapi isinya sama, yaitu mengatakan mau menyediakan tempat tinggal dengan syarat menikahi si pemilik rumah,” tuturnya.
Akibat pesan-pesan kurang ajar itu, perempuan tersebut menulis di profil media sosialnya bahwa ia mencari rumah singgah khusus untuk perempuan. Akan tetapi, para “relawan” ini tetap mencecarnya. Bahkan, ada yang menuduh perempuan tersebut tidak tahu diuntung karena menolak kebaikan hati para laki-laki yang menawarkan kehidupan baru.
“Program ini tidak sesuai kaidah perlindungan pengungsi. Perempuan yang dalam posisi rentan secara aturan tidak boleh ditampung oleh laki-laki lajang. Pemerintah lalai dalam pengawasan,” kata Robina Qureshi, Direktur Positive Action in Housing, lembaga yang bergerak di permukiman layak bagi kelompok rentan di Inggris, kepada BBC.
Fenomena ini menjadi pembicaraan publik karena terjadi kepada pengungsi Ukraina. Bangsa yang menurut pandangan masyarakat Barat hampir mustahil menjadi korban konflik berskala besar. Murni karena penilaian pengungsi Ukraina berparas serupa dengan masyarakat Barat berkulit putih.
Persoalan serius
Sejatinya, kekerasan terhadap perempuan pengungsi adalah masalah serius. Pada Agustus 2021, media The NewHumanitarian menerbitkan artikel bahwa perempuan-perempuan Rohingya yang mengungsi di Bangladesh mengalami kekerasan. Baik di luar maupun di dalam kemah pengungsian.
Kekerasannya mulai dari ancaman, penganiayaan, pemerasan, hingga pelecehan seksual. Perempuan-perempuan pengungsi banyak yang bekerja di luar kemah secara ilegal demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Kami kemudian dipalak oleh preman yang menguasai wilayah. Di dalam kemah pengungsian, kami juga diperas oleh sesama pengungsi,” kata salah satu dari enam perempuan Rohingya yang diwawancara The NewHumanitarian.
Cox’s Bazar, kemah pengungsian Rohingya terbesar di dunia yang berada di Bangladesh ini menampung 500.000 individu. Para perempuan mengaku kemah ini bagaikan kota di dalam kota. Ketertiban dan penegakan hukum merupakan hal yang sukar diterapkan di dalam tempat pengungsian yang berisi bedeng-bedeng dari papan tripleks dan seng ini.
“Bahkan, pemberdayaan perempuan pengungsi menghadapi kendala serius karena perempuan-perempuan Rohingya yang aktif dan diteladani oleh sesamanya turut menghadapi ancaman dari dalam dan luar kemah pengungsian,” kata Flora Macula, Kepala UN Women (Entitas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan) untuk area Cox’s Bazar.
Sejatinya, negara-negara anggota PBB umumnya telah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Hanya enam anggota PBB yang tidak meratifikasi, yaitu Amerika Serikat, Iran, Palau, Somalia, Sudan, dan Tonga. Di dalam CEDAW, status perempuan pengungsi juga masuk sebagai kelompok yang harus diperhatikan dan dipastikan tidak mengalami kekerasan berbasis etnis, agama, maupun jender.
Penegakan prinsip CEDAW untuk situasi pemberdayaan perempuan di dalam negeri juga masih menghadapi banyak tantangan. “Akan tetapi, setiap negara sejatinya mengusung prinsip kemanusiaan. Perlakuan yang layak kepada setiap orang yang mencari perlindungan tidak perlu mewah, tetapi memastikan bahwa hak dan martabat mereka sebagai manusia terjaga,” kata Kiran Kaur, Ketua Pertubuhan Pertolongan Wanita (WAO), lembaga pemberdayaan perempuan Malaysia kepada surat kabar The Rakyat Post.
Catatan editor: Artikel ini telah mengalami perbaikan pada hari Kamis, 21 Desember 2023, jam 14.35 WIB. -- Redaksi