Sudah terkena musibah dan kehilangan tempat tinggal, pengungsi masih menghadapi diskriminasi di Eropa karena latar belakang etnis mereka.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Krisis pengungsi akibat peperangan Rusia dengan Ukraina semakin menyingkap tabir diskriminasi terhadap pengungsi yang mencari perlindungan di negara-negara Eropa. Bahkan, di Jerman, para pengungsi dari Afghanistan yang melarikan diri dari Taliban tahun lalu kini digusur demi memberi ruang untuk pengungsi dari Ukraina. Harus ada sistem yang terbuka dan berkeadilan sehingga tidak seolah mengadu pengungsi dari negara-negara yang berbeda.
Salah satu contohnya dikisahkan di majalah Foreign Policy. Mariam Arween (33) hendak menyantap makan malam bersama suami dan kedua anak perempuan mereka ketika terdengar suara ketukan di pintu apartemen mereka. Pengungsi dari Afghanistan itu tinggal di Berlin, ibu kota Jerman sejak Januari 2022. Apartemen yang mereka tempati sederhana, tetapi cukup nyaman untuk keluarga kecil tersebut.
Namun, pada malam bulan Maret itu, segalanya berubah. Di luar pintu berdiri seorang pekerja sosial. Ia menyampaikan kabar bahwa Arween sekeluarga harus meninggalkan apartemen dalam 24 jam. Mereka dipindah ke tempat lain di luar kota, tepatnya di sebuah gedung yang menyerupai mes. Dari memiliki kamar mandi dan dapur sendiri, keluarga Arween kini harus berbagi dengan para pengungsi lain dari Afghanistan.
“Sulit sekali pindah mendadak. Apalagi, anak-anak saya sudah bersekolah. Sekarang, kami harus mengurus kembali pendidikan mereka dari awal,” kata Arween yang dulu bekerja sebagai karyawati perusahaan asing di Afghanistan.
Pekerja sosial yang menjadi pembawa berita penggusuran keluarga Arween tidak memberi banyak keterangan. Ia hanya mengatakan bahwa apartemen mereka akan dipakai untuk menampung sejumlah pengungsi dari Ukraina. Departemen Integrasi, Ketenagakerjaan, dan Layanan Sosial Kota Berlin yang mengelola pengungsi hanya memberi keterangan singkat bahwa mayoritas pengungsi dari Ukraina adalah perempuan dan anak-anak yang membutuhkan bantuan segera.
“Perilaku mendiskriminasi pengungsi karena latar belakang etnis ini harus dibasmi. Ini bukan salah pengungsi dari Ukraina maupun Afghanistan. Sistem di negara ini yang sakit,” kata Tareq Alaows, Anggota Dewan Pengungsi Berlin.
Dewan mencatat, ada sepuluh keluarga pengungsi Afghanistan yang diusir dari Berlin demi memberi tempat kepada pengungsi dari Ukraina. Secara keseluruhan, ada 22.000 pengungsi dari berbagai negara di Berlin yang ditampung di 83 tempat.
Jerman merupakan negara Eropa yang paling terbuka dengan pengungsi. Di tahun 2015, ketika terjadi konflik di Suriah, Jerman membuka pintu kepada orang-orang dari Timur Tengah. Hingga kini, tercatat ada 1,24 juta pengungsi yang berlindung di Jerman. Negara berikutnya adalah Polandia yang sejak Februari 2022 menerima 2,8 juta pengungsi dari Ukraina.
Khusus pengungsi dari Afghanistan, Jerman menampung 12.000 orang yang melarikan diri sejak Taliban merebut kekuasaan per Agustus 2021. Mereka masuk ke Jerman melalui jalur pencari suaka. Biasanya, orang-orang yang masuk jalur ini dievaluasi per enam bulan. Setelah itu, Pemerintah Jerman memutuskan apabila mereka diberi suaka atau tidak. Ini juga tergantung dari perkembangan situasi keamanan di negara asal.
Namun, para pengungsi dari Afghanistan diberi keistimewaan. Ketika tiba di Jerman, mereka langsung diberi izin tinggal selama tiga tahun. Perlakuan terhadap mereka disamakan dengan penerima suaka yang telah lama berada di Jerman, sehingga mereka tidak menerima layanan khusus pengungsi.
Mereka digusur dari apartemen di Berlin dengan alasan bahwa sejak awal, memang ditempatkan sementara di sana. Pada akhirnya, para pengungsi Afghanistan ini akan disebar ke 16 negara bagian di Jerman. Pemerintah berdalih bahwa situasi dengan pengungsi Ukraina juga serupa, yaitu mereka hanya sementara berada di Berlin. Akan tetapi, para pengungsi tidak mau menelan bulat-bulat alasan ini karena memindahkan satu keluarga ke tempat lain semestinya melalui prosedur yang jelas.
Perlakuan negara-negara Eropa terhadap pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika Selatan sangat berbeda dengan yang dari Ukraina. Liputan majalah Amerika Serikat, Deseret, menceritakan bahwa Diana Artomova (21) disambut dengan baik ketika memasuki perbatasan Polandia.
“Sungguh mengharukan. Warga setempat membagi-bagikan selimut dan makanan kepada kami. Ada juga yang mengenakan kostum badut untuk menghibur anak-anak,” tuturnya.
Tidak sampai satu bulan setelah penyerangan Rusia ke Ukraina, Komisi Eropa mengumumkan akan mengucurkan dana sebesar 3,4 miliar euro kepada negara-negara yang menampung pengungsi Ukraina. Biaya ini untuk memenuhi kebutuhan perumahan, kesehatan, dan pendidikan mereka.
Hal ini membuat para pegiat hak asasi manusia mencibir Eropa. Salah satunya ialah Julia Hall, Wakil Direktur Kajian Eropa Amnesty International. Ia mengungkapkan pengalamannya membantu para pengungsi dari Timur Tengah di masa perang Suriah. Negara-negara Eropa mayoritas menutup diri. Mereka beralasan takut orang-orang Timur Tengah itu disusupi oleh teroris yang akan mengacaukan keamanan Eropa.
“Sekarang, kita bisa berkata jujur bahwa semua berbasis diskriminasi etnis. Eropa tidak bisa lagi berdalih tidak memiliki tempat ataupun biaya yang cukup untuk menampung pengungsi,” kata Hall.