Indonesia sebagai salah satu negara transit diharapkan dapat menjamin keamanan dan hak hidup warga dunia yang terusir menjadi pengungsi. Mengabaikan pengungsi, pada akhirnya juga mengabaikan rasa kemanusiaan itu sendiri.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Di tengah krisis multidimensi karena pandemi Covid-19, entitas pengungsi makin membutuhkan perhatian. Indonesia sebagai salah satu negara transit diharapkan dapat menjamin keamanan dan hak hidup warga dunia yang terusir.
Menurut laporan terbaru Komisi Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) yang diterbitkan pertengahan Juni lalu, jumlah agregat pengungsi pada 2020 lebih banyak daripada yang diprediksikan. Laporan Global 2020 menunjukkan, ada 91,9 juta pengungsi dengan berbagai status di bawah mandat UNHCR. Jumlah ini lebih tinggi 11,5 persen daripada yang diperkirakan.
Tak sekadar angka, peningkatan tersebut menunjukkan adanya eskalasi perang dan konflik yang terus memaksa ribuan orang untuk meninggalkan kampung halamannya. Peningkatan signifikan terjadi pada status pengungsi internal. Jumlah pengungsi internal mencapai 48,6 juta individu pada 2020. Padahal, diperkirakan pengungsi internal akan turun menjadi 39,1 juta individu.
Di tengah peningkatan jumlah pengungsi, penempatan kembali pengungsi ke negara asal atau negara ketiga juga masih jauh panggang dari api. Optimisme dapat mengembalikan pengungsi hingga 2,3 juta hanya tercapai 251.000 atau tidak lebih dari 10 persen dari prediksi.
Meski begitu, ada upaya dunia untuk memberikan dukungan bagi para pengungsi. Hal ini tampak dari peningkatan kontribusi dana yang diterima UNHCR.
Pada 2020, UNHCR membukukan kontribusi 4,8 miliar dollar AS, baik dari pemerintah, swasta, maupun PBB. Angka tersebut naik 13,3 persen dari kontribusi pada 2019. Sebagai pembanding, kontribusi pada 2019 hanya naik 0,8 persen dari tahun sebelumnya.
Indonesia
Tak ketinggalan, Indonesia pun turut berkontribusi untuk program-program UNHCR. Tercatat 60.000 dollar AS kontribusi dari pemerintah dan 45.000 dollar AS dari donor non-pemerintah. Tak hanya itu, Indonesia juga menjadi salah satu negara transit yang dituju pengungsi untuk mencari perlindungan.
Laporan teranyar UNHCR pada Maret 2021 mencatat, sedikitnya ada 13.497 individu di Indonesia yang berstatus pengungsi dan pencari suaka. Mereka terdiri dari 73 persen orang dewasa dan 27 persen anak-anak di bawah usia 18 tahun.
Para pengungsi ini setidaknya tersebar di 10 titik besar, di antaranya Jakarta, Medan, Makassar, Tanjung Pinang, dan Pekanbaru. Pengungsi di Jakarta adalah yang terbanyak dengan 7.137 individu atau 52,88 persen dari total pengungsi yang terdata UNHCR. Sementara di Medan dan Makassar masing-masing ada sekitar 1.700 pengungsi dengan proporsi di kisaran 13 persen.
Sebanyak 56,18 persen pengungsi berasal dari Afghanistan dengan jumlah 7.583. Proporsi pengungsi dari Afghanistan ini terus-menerus membesar, setidaknya sejak Februari 2016. Dilaporkan, pada 2016, dari 13.826 individu pengungsi dan pencari suaka yang tinggal di Indonesia, separuhnya berasal dari Afghanistan.
Dalam skala global, pengungsi dari Afghanistan adalah yang terbanyak ketiga setelah pengungsi dari Suriah dan Venezuela. Pengungsi Afghanistan adalah korban-korban yang lari dari kecamuk perang yang berkobar sejak 2001. Tak terkira, sepuluh tahun sudah mereka menahan lara terusir dari kampung halaman dan terkatung-katung mencari perlindungan.
Selain pengungsi Afghanistan, Indonesia juga kedatangan pengungsi dari Somalia (10,22 persen), Irak (5,32 persen), Myanmar (4,99 persen), dan negara lain (23,29 persen).
Di tengah upaya dunia, dan tentu saja Indonesia, dalam memberikan jaminan keamanan dan hak dasar, pengungsi tetap berada di situasi krisis. Pada 17 Mei 2021, Kompas merekam aksi pengungsi memasang poster di depan Kantor UNHCR, Jakata Pusat, untuk meminta kejelasan nasib.
Selain pengungsi dari negara nun jauh, Indonesia juga menjadi rumah bagi warga eks Timor Timur. Sayangnya, pasca-penentuan pendapat 30 Agustus 1999, masih ada warga eks Timor Timur yang tinggal di kamp pengungsian.
Kompas pada 24 Februari 2020 melaporkan, 358 keluarga yang meliputi lebih dari 1.000 jiwa masih menempati Kamp Tuapukan di Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka adalah orang yang memilih bergabung dengan Indonesia, tetapi masih terbelenggu keterbatasan.
Regulasi
Indonesia menunjukkan upaya perlindungan bagi pengungsi dari luar negeri melalui pembentukan beberapa regulasi. Hal ini mulai tampak ketika Presiden Joko Widodo pada 31 Desember 2016 mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Regulasi ini mengatur tentang penemuan, penampungan, pengamanan, pengawasan keimigrasian, dan pendanaan.
Gayung bersambut, peraturan untuk memberikan jaminan pendidikan juga dikeluarkan. Pada 10 Juli 2019, terbit Surat Edaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75253/AA.4/HK/2019 tentang Pendidikan bagi Anak Pengungsi.
Aturan ini memberikan jaminan pendidikan bagi pengungsi anak usia sekolah yang memenuhi syarat administrasi, seperti kartu pengungsi dari UNHCR dan memiliki surat jaminan dukungan biaya pendidikan.
Pada Maret 2021, tercatat 20 persen dari 3.655 pengungsi anak masuk ke sekolah negeri terakreditasi. Tidak hanya di sektor formal, tercatat 3.842 orang atau 28 persen dari total pengungsi dan pencari suaka mendapatkan pendidikan, seperti pelatihan keterampilan, terdaftar dalam platform belajar daring, dan juga kelas-kelas yang diselenggarakan oleh komunitas.
UNHCR juga mencatat Kementerian Kesehatan Indonesia pada Juni 2020 akan memastikan akses kesehatan pada pengungsi dalam upaya penanganan Covid-19. Kini, UNHCR sedang mengusahakan vaksin Covid-19 bagi para pengungsi.
Capaian tersebut menyumbang narasi penting dalam upaya Indonesia memperjuangkan hak pengungsi. Pemerintah Indonesia diharapkan dapat konsisten menerapkan panji-panji kemanusiaan untuk menjadi rumah singgah bagi para pengungsi.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dalam seruannya berharap Pemerintah Indonesia juga dapat meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 agar memiliki wewenang untuk menentukan status pengungsi tanpa menunggu mandat UNHCR.
Per November 2019, tercatat sudah ada 149 negara menjadi bagian dari Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Kamboja, Filipina, dan Timor Leste menjadi negara di Asia Tenggara yang sudah meratifikasi konvensi tersebut. Akankah Indonesia selanjutnya?
Tentu harapan ini tetap berlandaskan asas kemanusiaan karena bagaimanapun mengabaikan pengungsi pada akhirnya juga mengabaikan kemanusiaan. (LITBANG KOMPAS)