Bedah Data Pengungsi Dunia
Jumlah pengungsi menunjukkan tren kenaikan. Di tengah ketidakpastian ekonomi, jaminan dan perlindungan bagi pengungsi terancam makin diabaikan.
Hari ini dunia diajak mengingat nestapa yang dihadapi puluhan juta pengungsi yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Jiwa-jiwa yang tercerabut karena perang, kekerasan, serta bencana masih membutuhkan jaminan atas keamanan dan kesejahteraan.
Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mengangkat semangat ”Bersama Kita Sembuh, Belajar, dan Bersinar” dalam memperingati Hari Pengungsi Dunia pada 20 Juni tahun ini. Perhatian ditujukan untuk memastikan adanya akses kesehatan, pendidikan, dan ketersediaan ruang kreatif untuk pengungsi.
Situasi dunia yang masih diselimuti pandemi Covid-19 menjadi pukulan ganda bagi pengungsi. Ketidakpastian ekonomi dapat berimbas pada besarnya kontribusi dunia pada pemenuhan hak-hak pengungsi. Alih-alih turun, jumlah pengungsi pun menunjukkan tren kenaikan.
Pada tahun 2021, jumlah orang yang diperhatikan (people of concern) di bawah mandat UNHCR diprediksi 97,3 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 10,7 juta jiwa atau 12,4 persen dibandingkan tahun 2019. Mereka adalah orang dengan status pengungsi, pencari suaka, pengungsi internal, dan orang tanpa kewarganegaraan.
Pada tahun 2021, jumlah orang yang diperhatikan (people of concern) di bawah mandat UNHCR diprediksi 97,3 juta jiwa. Meningkat 10,7 juta jiwa atau 12,4 persen dibandingkan tahun 2019.
Peta sebaran pengungsi dengan berbagai status masih terpusat di Afrika dengan proporsi sebanyak 39 persen pada 2019. Angka ini naik dari tahun 2018 yang tercatat 35 persen. Kenaikan juga terjadi di Amerika dari 17 persen menjadi 18 persen.
Penurunan proporsi ditunjukkan di gugus Timur Tengah dan Afrika Utara, Eropa, serta Asia Pasifik. Diprediksikan sebaran pengungsi tidak akan jauh berbeda pada tahun 2021. Pertambahan proporsi akan terjadi di Afrika menjadi 40 persen, sementara Eropa turun dari 14 persen menjadi 12 persen.
Pengungsi
Pengungsi atau refugees didefinisikan sebagai orang yang melarikan diri dari perang, konflik, dan kekerasan yang melintas perbatasan internasional untuk mencari keselamatan.
Laporan tengah tahun 2020 UNHCR mencatat terdapat 20,7 juta orang yang mengungsi. Sebanyak 67 persen dari total tersebut hanya berasal dari lima negara, yakni Suriah, Venezuela, Afghanistan, Sudan Selatan, dan Myanmar.
Jumlah pengungsi hingga tengah tahun 2020 sudah melebihi jumlah pengungsi di sepanjang tahun 2019 yang tercatat 20,4 juta orang. Dari jumlah ini, lebih dari setengahnya (57 persen) hanya berasal dari tiga negara, yakni Suriah, Afghanistan, dan Sudan Selatan.
Jumlah pengungsi hingga tengah tahun 2020 sudah melebihi jumlah pengungsi di sepanjang tahun 2019.
Pengungsi asal Suriah adalah yang terbanyak, yakni 6,6 juta jiwa. Keadaan ini tidak lain merupakan imbas dari perang yang mulai berkobar sejak Maret 2011. Perlawanan terhadap pemerintahan yang otoriter dan perang saudara membuat warga Suriah harus meninggalkan rumahnya untuk mencari perlindungan.
Tak hanya nestapa perang, pengungsi asal Suriah juga menghadapi pedihnya hidup di pengungsian. Misalnya, harian ini pada akhir 2020 memberitakan 1,5 juta pengungsi Suriah yang berada di Lebanon menghadapi penolakan dari warga setempat.
Di tengah tren yang naik, jumlah pengungsi yang dapat kembali ke negaranya cenderung kecil dan menunjukkan tren penurunan. Pada 2019, hanya tercatat 317.000 pengungsi yang dapat aman kembali ke negara asalnya. Jumlah ini tidak lebih dari setengah jumlah pengungsi yang kembali di tahun 2017.
Selain pengungsi, pengungsi internal (internally displaced people/IDP) juga menunjukkan tren naik. Pengungsi internal adalah mereka yang harus pergi dari rumah tetapi tetap berada dalam negaranya.
Baca juga: Tulus Merawat Pengungsi
Pada 2019, pengungsi internal mencapai 43,5 juta jiwa. Jumlah ini mewakili separuh porsi dari total orang yang menjadi perhatian UNHCR. Angkanya pun diprediksi naik menjadi 49 juta jiwa pada 2021.
Tercatat 44 persen dari pengungsi internal merupakan warga dari Kolombia, Kongo, dan Suriah. Internal Displacement Monitoring Centre (iDMC) melaporkan pada 2020 terdapat 4,9 juta pengungsi di Kolombia. Hampir seluruhnya disebabkan oleh konflik dan kekerasan. Hanya 0,4 persen yang disebabkan oleh bencana alam.
Pada 2020 terdapat 4,9 juta pengungsi di Kolombia. Hampir seluruhnya disebabkan oleh konflik dan kekerasan.
International Center for Transitional Justice (ICTJ) menyebut Kolombia telah mengalami konflik selama 40 tahun akibat perang saudara dan aktivitas kriminal terorganisasi. Pertikaian melibatkan pihak pemerintah, militer, kelompok pemberontak, paramiliter, dan sindikat perdagangan narkoba.
Meski begitu, jumlah pengungsi internal di Kolombia berangsur-angsur turun. Penurunan tren terjadi sejak tahun 2016 yang kala itu mencapai 7,2 juta jiwa. Penurunan ini tak lepas dari upaya dunia dan Kolombia untuk mengakhiri kemelut konflik. Misalnya pada 23 September 2015, Presiden Kolombia Juan Manuel Santos dan pemimpin Tentara Revolusioner Kolombia (FARC), Timoleon Jimenez, menyepakati perjanjian berdamai.
Perhatian
Di tengah kemelut perang dan kekerasan yang masih terjadi, upaya dunia untuk menjamin kesejahteraan pengungsi diharapkan terus menyala. Dukungan dalam bentuk materiil menunjukkan peningkatan meskipun kurang signifikan.
Total kontribusi pemerintah, swasta, dan PBB untuk UNHCR tercatat 4,21 miliar dollar AS pada 2019. Jumlahnya hanya naik 0,8 persen dari tahun sebelumnya. Padahal, keamanan dunia yang masih diguncang perang membuat jumlah pengungsi terus bertambah.
Total kontribusi untuk UNHCR adalah 4,21 miliar dollar AS pada 2019. Jumlahnya hanya naik 0,8 persen dari tahun sebelumnya.
Amerika Serikat mencatatkan diri sebagai donor terbesar dengan total 1,7 miliar dollar AS. Artinya, AS menjadi donor dengan proporsi 41,4 persen dari total kontribusi.
Di posisi kedua merupakan donor dari gabungan pemerintahan Uni Eropa sebesar 473 juta dollar AS atau menyumbang 11,2 persen dari total kontribusi. Berikutnya berturut-turut adalah Jerman (418,1 juta dollar AS), Jepang (163 juta dollar AS), dan Swedia (162 juta dollar AS).
Selain sumbangan materiil, pengungsi juga membutuhkan perhatian lain agar nilai kemanusiaan yang ada dalam diri mereka tetap mendapatkan penghormatan. Hak untuk bekerja dan belajar dapat diberikan oleh negara tujuan pengungsi.
Di Indonesia, kepedulian tersebut mulai ditunjukkan dengan pemberian akses pada pengungsi anak untuk dapat bersekolah. Langkah nyata lainnya juga perlu dilakukan dengan membentuk regulasi ramah pengungsi sebagai bukti bakti negara pada kemanusiaan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Pengungsi dan Masalah Kita