Di Maluku Utara, ada saksi hidup sejarah panjang kekayaan rempah di Nusantara. Usianya sudah 200-an tahun. Namanya adalah pohon Cengkeh Afo III.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Cengkeh di Ternate, Selasa (14/6/2022). Cengkeh merupakan salah satu rempah unggulan di Maluku bagian utara sejak beberapa abad silam. Selain cengkeh, Maluku Utara juga terkenal akan pala.
Di lereng Gunung Gamalama, Ternate, Maluku Utara, ada sebuah pohon cengkeh berusia sekitar 200 tahun. Pohon bernama Cengkeh Afo III itu kemungkinan adalah pohon cengkeh tertua di Indonesia, bahkan di dunia saat ini.
Cengkeh Afo III adalah ”cucu” dari Cengkeh Afo I yang sebelumnya disebut sebagai pohon cengkeh tertua di dunia. Cengkeh Afo I relatif besar dengan tinggi 36,6 meter dan diameter 1,98 meter. Pohon tersebut hidup hingga usia 416 tahun. Karena alasan usia, Cengkeh Afo I akhirnya mati pada tahun 2000.
Sebelum mati, bibit Cengkeh Afo I diambil dan ditanam. Bibit yang berhasil tumbuh itu lantas dinamai Cengkeh Afo II. “Anak” dari Cengkeh Afo I tersebut hidup hingga usia sekitar 250 tahun, namun tumbang pada 2019 karena faktor usia. Adapun bibit Cengkeh Afo II juga diambil, ditanam, dan pohonnya kini disebut Cengkeh Afo III.
Cengkeh Afo punya segudang sejarah. Cengkeh Afo I merupakan satu-satunya pohon cengkeh yang selamat saat VOC memusnahkan pohon cengkeh di Nusantara pada abad ke-17 hingga ke-19. Pemusnahan massal ini berdasarkan kebijakan extirpatie yang bertujuan mengontrol produksi dan perdagangan rempah. Pohon cengkeh hanya boleh ada di kebun milik VOC.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Pohon Cengkeh Afo III (kanan) di lereng Gunung Gamalama, Ternate, Senin (13/6/2022). Pohon berdiameter 3,9 meter itu berusia sekitar 200 tahun dan diyakini sebagai pohon cengkeh tertua di dunia. Cengkeh Afo III merupakan bibit generasi ketiga dari pohon Cengkeh Afo I yang berusia 416 tahun. Cengkeh Afo I selamat dari pemusnahan pohon cengkeh massal oleh VOC dan sebelumnya menjadi pohon cengkeh tertua di dunia. Cengkeh Afo I mati pada tahun 2000.
Menurut cerita rakyat di Ternate, ada seorang warga yang resah dengan langkah VOC. Ia khawatir anak-cucu di masa depan tidak akan mengenal pohon cengkeh. Padahal, Maluku bagian Utara terkenal sebagai penghasil cengkeh dan pala.
Pamor Maluku Utara sebagai penghasil rempah tersebar di Nusantara, Asia, hingga Eropa. Bahkan, hingga awal abad ke-17, cengkeh dan pala hanya bisa ditemukan di Maluku bagian utara dan Banda.
Itu sebabnya, warga tersebut nekat menyelamatkan bibit pohon cengkeh. Bibit itu ditanam di balik pohon besar di lereng Gunung Gamalama, tersembunyi dari pantauan VOC. Berdasarkan cerita rakyat, warga itu bernama Aufat. Namanya digunakan untuk menamai pohon cengkeh yang ia selamatkan. Dari Aufat, jadi Cengkeh Afo.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Cengkeh di Ternate, Selasa (14/6/2022). Cengkeh merupakan salah satu rempah unggulan di Maluku bagian utara sejak beberapa abad silam. Selain cengkeh, Maluku Utara juga terkenal akan pala.
Pada 1770, seorang Perancis berhasil mengambil bibit Cengkeh Afo dan dibawa ke Perancis. Bibit pohon cengkeh tersebut juga menyebar hingga ke Zanzibar, Tanzania, yang kini menjadi salah satu negara penghasil rempah.
Pamor Maluku Utara sebagai penghasil rempah tersebar di Nusantara, Asia, hingga Eropa. Bahkan, hingga awal abad ke-17, cengkeh dan pala hanya bisa ditemukan di Maluku bagian utara dan Banda.
”Bisa dibilang semua cengkeh di Indonesia berasal dari Cengkeh Afo I. Bahkan, mungkin semua cengkeh di dunia, termasuk Zanzibar, juga berasal dari situ,” kata Ketua Komunitas Cengkeh Afo, Johar, di Ternate, Senin (13/6/2022).
Lapuk
Kini tersisa Cengkeh Afo III yang tumbuh di ketinggian sekitar 300 meter di atas permukaan laut (mdpl). Lokasi tepatnya di Kelurahan Tongole, Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate.
Pohon itu masih berbuah setahun sekali, tetapi tidak memungkinkan dipanen karena batangnya lapuk. Menurut Johar, keberadaan Cengkeh Afo III mesti dipertahankan kendati kelangsungan hidup pohon berdiameter 3,9 meter itu menghadapi sejumlah tantangan.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Ketua Komunitas Cengkeh Afo, Johar, di Ternate, Senin (13/6/2022). Ia berdiri di sebelah Cengkeh Afo III yang berusia sekitar 200 tahun sehingga diyakini sebagai pohon cengkeh tertua di dunia. Cengkeh Afo III merupakan bibit generasi ketiga dari pohon Cengkeh Afo I yang berusia 416 tahun. Cengkeh Afo I selamat dari pemusnahan pohon cengkeh massal oleh VOC dan sebelumnya menjadi pohon cengkeh tertua di dunia. Cengkeh Afo I mati pada tahun 2000.
Selain lapuk dimakan usia, Cengkeh Afo III tumbuh di lahan yang miring. Air hujan perlahan menggerus tanah yang menjadi fondasi akar pohon. Cengkeh Afo III bisa saja tumbang suatu hari jika tanahnya terus tergerus.
Saat ditanya apa ada rencana menanam Cengkeh Afo IV, Johar mengatakan, Kkita butuh meneliti lebih lanjut soal ini. Sebab, bibit Cengkeh Afo III sudah menyebar ke mana-mana. Kita tidak tahu yang mana Cengkeh Afo IV.”
Wali Kota Ternate M Tauhid Soleman berencana mengembangkan penelitian soal rempah. Perdagangan rempah masa lalu mesti direfleksikan untuk pendidikan generasi muda. Ia juga berharap rempah mendatangkan nilai tambah bagi masyarakat.
”Besar keinginan kami agar ke depan di Ternate ada studi mengenai rempah sehingga rempah kami tidak hanya menjadi kekuatan masa lalu, tetapi juga menjadi bagian dari ciri khas Ternate,” kata Tauhid, Selasa (14/6/2022).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Amadal (65) merawat bibit cengkeh jenis afo di kawasan Marigurubu, Ternate, Maluku Utara, Rabu (3/5/2017). Pembibitan cengkeh Amadal tersebut memasok kebutuhan bibit cengkeh di kawasan Maluku Utara, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan. Cengkeh adalah salah satu komoditas andalan warga.
Belajar rempah
Pemuda asal Bengkulu, Fakhri (18), mengaku selama ini kata rempah identik dengan bumbu masakan baginya. Persepsi itu berubah setelah ia belajar tentang rempah langsung ke lapangan. Ia dan ratusan pemuda-pemudi lainnya bahkan berlayar ke titik-titik perdagangan rempah Nusantara zaman dulu.
Pelayaran itu merupakan bagian dari Muhibah Budaya Jalur Rempah, program napak tilas Jalur Rempah yang digagas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sebanyak 147 pemuda-pemudi dari 34 provinsi mengikuti program ini. Mereka berlayar ke enam titik: Surabaya, Makassar, Baubau-Buton, Ternate-Tidore, Banda, dan Kupang.
”Setelah berlayar, saya baru paham ada banyak sekali (makna) di balik kata rempah. Ada budaya, ada sejarah bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim, bahkan saya jadi tahu ternyata ada jalur perdagangan rempah,” tutur Fakhri yang juga Laskar Rempah, sebutan buat peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Sebagian Laskar Rempah melambaikan tangan dari haluan Kapal RI (KRI) Dewaruci saat berlayar dari Ternate ke Tidore, Maluku Utara, Rabu (15/6/2022). Mereka berlayar dalam rangka Muhibah Budaya Jalur Rempah.
Laskar Rempah asal Sulawesi Barat, Suarman (23), mengatakan, Jalur Rempah tidak hanya terkait soal rempah. Di situ ada akulturasi budaya antardaerah. Hal itu membentuk kekayaan budaya di Indonesia saat ini. ”Ini tampak dari kekayaan wastra dan bahasa yang mirip di beberapa daerah,” katanya.
Laskar Rempah asal Aceh, Fachrul (24), menyadari bahwa budaya maritim Indonesia tidak lepas dari rempah. Dengan kesadaran baru itu, ia berencana lebih sering mengonsumsi rempah, lalu mengajak keluarga dan kerabat untuk melakukan hal serupa. ”Saya juga ingin aktif mengangkat isu ini ke teman-teman.”
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah tiba di Ternate, Maluku Utara, dengan menaiki Kapal RI (KRI) Dewaruci, Selasa (14/6/2022). Muhibah Budaya Jalur Rempah adalah program napak tilas jalur rempah Nusantara yang dilakukan dengan berlayar ke enam titik, yaitu Surabaya, Makassar, Baubau-Buton, Ternate-Tidore, Banda, dan Kupang.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah tiba di Ternate, Maluku Utara, dengan menaiki Kapal RI (KRI) Dewaruci, Selasa (14/6/2022).
Perjalanan Laskar Rempah belum berakhir. Pelayaran dari 1 Juni 2022 masih akan berlangsung hingga 2 Juli 2022 dengan Kapal RI (KRI) Dewaruci. Kini, rombongan berlayar ke Banda, berlanjut ke Kupang, lalu kembali lagi ke Surabaya.
Mereka diharapkan belajar, memahami, dan mengalami apa itu rempah serta budaya maritim. Sebagai duta rempah, mereka bertugas menyebar pengetahuan itu ke publik, termasuk sesama kaum muda. Semoga ingatan soal rempah tidak putus.