Rempah tidak hanya berfungsi untuk kesehatan, tetapi juga bisa untuk konservasi rumah tradisional berbahan kayu. Kegunaan rempah didorong jadi agenda promosi Jalur Rempah.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejarah rempah di Nusantara selama ini masih lekat dengan kedatangan bangsa Eropa dan imperialisme. Padahal, rempah juga berperan dalam gaya hidup masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini agar disertakan saat pengajuan Jalur Rempah sebagai warisan dunia.
Hal tersebut mengemuka saat seminar daring berjudul ”Warisan Dunia: Bukti Globalisasi dan Akulturasi di Nusantara”, Kamis (28/4/2022), yang digelar oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta.
”Tidak disebut tentang bagaimana rempah-rempah yang dibawa mengarungi samudera dengan penuh risiko, bahkan hingga mempertaruhkan nyawa, berkontribusi ke peradaban dan ilmu pengetahuan di Eropa,” kata anggota tim Kosmopolis Rempah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sri Margana.
Pada abad ke-15, bangsa Eropa berbondong-bondong datang ke Nusantara untuk mencari rempah. Rempah jadi komoditas unggulan karena harganya sangat mahal dan pasarnya pun potensial. Hal ini tidak hanya mendorong terjadinya perdagangan rempah, tetapi juga perkembangan pengetahuan di Barat.
Menurut Margana, pengetahuan bangsa Eropa soal tumbuhan dan hewan yang hidup di daerah tropis berkembang pesat karena publikasi dan karya kolektor. Orang-orang yang berangkat ke Asia diminta mengumpulkan buah dan biji tanaman tropis sebanyak-banyaknya kemudian dikirimkan ke Belanda. Tanaman kemudian diperbanyak di Hortus Botanicus Belanda agar bisa dipelajari.
Perdagangan rempah juga berhubungan dengan berkembangnya ilmu perkapalan di Nusantara. Jung atau perahu niaga orang Melayu dan Jawa, misalnya, dapat dibuat tanpa logam dan mengandalkan sistem sambungan kayu. Perahu tanpa mesin itu juga bisa menampung muatan hingga ratusan ton.
Rempah juga memengaruhi gaya hidup orang Eropa. Rempah-rempah dikonsumsi sebagai obat dan banyak dijual di apotek. Rempah dijual di wadah khusus dengan instruksi penggunaannya. Selain itu, rempah juga digunakan orang Eropa sebagai wewangian untuk mengusir roh jahat.
Tidak disebut tentang bagaimana rempah-rempah yang dibawa mengarungi samudra dengan penuh risiko, bahkan hingga mempertaruhkan nyawa, berkontribusi ke peradaban dan ilmu pengetahuan di Eropa.
Sementara itu, penggunaan rempah sebagai obat sudah berkembang di Nusantara jauh sebelum bangsa Eropa tiba. Ini tampak dari relief sejumlah candi, seperti Candi Borobudur dan Prambanan. Ramuan tradisional dari rempah pun masih dikonsumsi masyarakat Indonesia hingga kini.
Potensi rempah Indonesia juga dapat dikembangkan ke sektor kebugaran. Laporan Ekonomi Kebugaran Global atau Global Wellness Economy menyatakan, potensi ekonomi kebugaran mencapai 4,4 triliun dollar AS pada 2020. Potensi sektor pengobatan tradisional sebesar 423 miliar dollar AS.
Selain untuk kesehatan dan ilmu pengetahuan, rempah juga dapat dimanfaatkan untuk konservasi rumah tradisional berbahan kayu. Salah satu ramuannya adalah mencampur seliter air dengan 20-50 gram cengkeh, 2 buah gambir, 20-50 gram tembakau, dan 20-50 gram pelepah batang pisang.
Cengkeh dan gambir dapat membunuh bakteri dan jamur pada kayu sehingga mencegah pembusukan. Adapun tembakau membunuh rayap dan menghambat serangan rayap. Tembakau juga mengeluarkan warna asli kayu. Pelepah batang pisang mempertahankan warna asli kayu dan merekatkan serat kayu yang retak.
Arkeolog dan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM, Timbul Haryono, mengatakan, perdagangan rempah berdampak ke akulturasi. Hal ini sudah berlangsung jauh di zaman nenek moyang. Namun, mereka mampu tetap mempertahankan budaya asli.
”Nenek moyang mampu memilah dan memilih budaya. Ini karena modal ketahanan budaya kuat. Ini penting sebagai identitas bangsa,” kata Timbul.
Dosen arkeologi UGM dan anggota tim Kosmopolis Rempah UGM, Widya Nayati, menambahkan, akulturasi tidak hanya terjadi antarbangsa asing dengan Nusantara. Akulturasi juga terjadi antarwilayah Nusantara.