Dibutuhkan Intervensi untuk Tingkatkan Kualitas Pembelajaran
Capaian pembelajaran di sekolah-sekolah yang secara umum masih rendah utamanya akibat proses pembelajaran yang belum berorientasi mutu. Program Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak diharapkan mentransformasi mutu.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Intervensi yang mendorong peningkatan mutu pembelajaran di kelas dan sekolah secara berkelanjutan membantu transformasi proses pembelajaran kepada peserta didik. Proses pembelajaran di sekolah perlahan-lahan berubah untuk membangun kompetensi dan menghargai potensi para siswa sehingga dapat memperbaiki capaian belajar yang secara umum masih rendah.
Program Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak ditawarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai terobosan untuk memacu peningkatan mutu pembelajaran di sekolah-sekolah dengan intervensi khusus. Dukungan untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia di sekolah, pendampingan, hingga dana diberikan supaya kepala sekolah dan guru memiliki kepercayaan diri untuk melakukan perubahan yang berdampak pada kualitas pembelajaran.
Kepala SMA YPK Diaspora Kotaraja di Kota Jayapura, Papua, Alfrets R, Senin (13/6/2022), mengakui, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah selama ini berjalan di tempat. Sekolah pun stagnan dengan capaian akreditasi B sejak lama.
Minimnya peningkatan kapasitas guru dan kepala sekolah membuat layanan pendidikan minim inovasi dan kreativitas pembelajaran. Hal ini karena proses pembelajaran belum dipahami dengan baik.
Saya dapat rasakan bedanya saat belajar di SMP yang gurunya cuma menyelesaikan buku teks dengan di SMA sekarang karena guru-guru yang mendorong siswa aktif.
Melalui program Sekolah Penggerak, ia menemukan keinginan untuk bisa meningkatkan mutu pembelajaran agar capaian pembelajaran siswa baik dan siswa merasa senang belajar. ”Para kepala sekolah diminta untuk mendaftar dan ikut seleksi. Bagi saya, ini kesempatan untuk bisa mendapatkan dukungan yang dibutuhkan sekolah agar dapat membenahi cara mengajar guru yang masih belum banyak berubah, masih konvensional,” kata Alfrets.
Menurut dia, sekolah penggerak mendapatkan intervensi pendampingan selama tiga tahun guna menciptakan ekosistem pembelajaran di sekolah yang berorientasi pada mutu. Para guru diperkuat untuk memahami paradigma baru dalam pembelajaran yang berorientasi/berpusat pada siswa, termasuk memahami pembelajaran yang terdiferensiasi. Selain itu, para guru diikutkan dalam pemanfaatan teknologi digital pendidikan dan peningkatan kualitas proses pembelajaran yang mendorong peserta didik aktif.
”Tantangan yang utama memang memotivasi perubahan dari para pendidik untuk keluar dari cara-cara lama pada cara yang lebih mengutamakan kebutuhan belajar siswa. Dengan intervensi yang menyasar langsung pada kapasitas guru mengelola proses belajar, meskipun di sekolah ada Kurikulum Merdeka dan Kurikulum 2013, proses belajar yang aktif membawa perubahan cara belajar siswa yang lebih baik,” kata Alfrets.
Butuh belajar
SMA YPK Diaspora Kotaraja juga memiliki seorang guru penggerak, Trias Agata Roni. Guru berstatus honorer yang mengajar Bahasa Inggris ini mengikuti seleksi guru penggerak karena merasa ada kebutuhan untuk memperkuat kemampuan mengajar yang membuat siswa termotivasi.
”Saya merasakan cara mengajar saya yang masih berorientasi ke materi tanpa memahami kesiapan dan kebutuhan siswa membuat para siswa jadi bosan dan tidak semangat belajar. Saya merasa memiliki kemampuan mengajar yang belum inovatif dan kreatif sehingga ketika dikenalkan dengan program Guru Penggerak, ya, ingin menambah ilmu lagi,” ujar Trias.
Sebelum menjadi guru penggerak, Tria mengajar dengan hanya memikirkan target materi di buku teks bisa selesai. Padahal, belajar Bahasa Inggris bagi para siswa yang berasal dari sejumlah daerah pedalaman di Papua umumnya hal baru sehingga sulit dipahami dengan cara belajar yang seragam.
Dengan program Guru Penggerak yang membantu peningkatan kapasitas guru selama sembilan bulan secara daring dan luring, Trias terbantu untuk membenahi cara mengajarnya yang selama ini kurang berdampak kepada siswa. ”Hal sederhana saja, dari mulai masuk kelas, saya lebih memperhatikan kesiapan belajar siswa dulu. Saya sediakan games atau cara belajar yang memancing siswa untuk semangat. Saya bersyukur, meskipun masih dengan Kurikulum 2013, dengan proses belajar yang lebih memacu siswa aktif, mereka jadi lebih berani bertanya dan mengemukan pendapat,” cerita Trias.
Lebih menyenangkan
Amelia Damena (16), siswa kelas X, menuturkan, proses belajar yang dialami di SMA jauh berbeda dengan di SMP yang masih konvensional. Para guru di kelas X yang mendapat intervensi dalam peningkatan mutu proses belajar mampu menghadirkan pembelajaran yang lebih ramah pada siswa.
Para guru terbiasa untuk membangun keterhubungan atau engagement dengan siswa sebelum pembelajaran dimulai. Pemanfaatan teknologi digital dengan memakai gawai juga semakin meningkat sehingga siswa leluasa mengeksplorasi sumber belajar yang beragam. Para siswa juga dibiasakan untuk berkolaborasi dalam kelompok, melakukan presentasi, bertanya, ataupun berargumentasi.
”Kalau ada tugas, guru juga tidak memaksakan harus dengan cara yang sama. Para siswa diberikan keleluasaan untuk memilih produk tugas yang memang sesuai dengan kekuatan dan potensi siswa,” ujar Amelia.
Amelia mencontohkan, saat ada topik tentang burung cenderawasih yang mulai punah di pelajaran Biologi, para siswa bisa membuat berbagai karya untuk mengeksplorasi pemahaman. Dirinya menggunakan tarian cenderawasih untuk menjelaskan pentingnya melestarikan burung cenderawasih. Ada teman lain yang membuat video pemaparan, menyampaikan presentasi di depan kelas, ataupun membuat tulisan.
Frits Yosefus Darinya (17), siswa kelas X, mengatakan, proses pembelajaran yang aktif membuat siswa menjadi lebih berani untuk bertanya tanpa takut salah. Apalagi, guru mulai mampu menjalankan perannya sebagai fasilitator.
”Belajar jadi lebih menyenangkan, jadi lebih termotivasi. Saya dapat rasakan bedanya saat belajar di SMP yang gurunya cuma menyelesaikan buku teks dengan di SMA sekarang karena guru-guru yang mendorong siswa aktif,” kata Frits.
Secara terpisah, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, berbagai kebijakan di Kemendikbudristek dengan bermacam nama sebenarnya tetap fokus pada guru guna mentransformasi guru agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Ada kebijakan Kurikulum Merdeka, esensinya dengan pelatihan guru agar dapat memahami dan mengimplementasikan modul Kurikulum Merdeka, termasuk lewat platform Merdeka Mengajar untuk menjadi sarana belajar dan berbagi para guru.
Program Sekolah Penggerak juga mentransformasi sekolah dengan menguatkan kepala sekolah dan para guru. Demikian pula, program pendidikan Guru Penggerak sederhananya untuk menyiapkan guru yang berpotensi menjadi kepala sekolah/pengawas. ”Jika pimpinan sekolah punya mindset penggerak, guru-guru di sekolahnya juga mudah digerakkan untuk bertransformasi mengutamakan pendidikan berkualitas,” kata Nadiem.
Berdasarkan data Kemendikbudristek, ada 9.237 sekolah penggerak dari jenjang pendidikan anak usia dini hingga SMA/SMK. Adapun program pendidikan Guru Penggerak hingga tahun 2024 akan menyasar sebanyak 405.900 guru.