Gangguan kesehatan jiwa semakin signifikan dengan adanya pandemi Covid-19. Namun, layanan kesehatan jiwa belum terjangkau semua pihak.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
One of the residents suffering from a mental disorder is held in a cell at the Penuh Warna Griya Cinta Kasih Foundation in Jombang regency, East Java, Thursday (3/10/2019). The foundation, chaired by Jamiin, runs a rehabilitation center for people with mental disorders. Currently, it has 265 residents.
MATARAM, KOMPAS — Layanan kesehatan jiwa belum banyak diakses kendati depresi dan kecemasan meningkat selama pandemi Covid-19. Alasannya, antara lain, biaya dan layanan yang belum merata. Rancangan layanan kesehatan jiwa yang komprehensif dan inklusif pun diperlukan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019 mencatat, satu dari delapan orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Gangguan yang paling umum adalah depresi dan kecemasan. Angka itu naik signifikan saat pandemi Covid-19. Angka kecemasan naik 26 persen dan depresi naik 28 persen.
Gangguan kesehatan jiwa tidak hanya dialami orang dewasa, tetapi juga kaum muda. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat, depresi terjadi sejak usia 15-24 tahun dengan prevalensi 6,2 persen. Prevalensinya meningkat seiring bertambahnya usia.
”Isu kesehatan jiwa tidak hanya dialami orang dewasa, tetapi juga remaja dan anak-anak. Ini mengkhawatirkan karena akan berdampak ke masa depan. Kesehatan jiwa berhubungan dengan pembangunan, seperti ekonomi dan sosial,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa Dasa Nugraha, Kamis (9/6/2022), secara daring. Hal itu disampaikan Kunta saat forum C20 Mental Health and How It Be Integrated to Universal Health Coverage di Mataram.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Forum Civil 20 (C20) bertajuk Mental Health and How It Be Integrated to Universal Health Coverage berlangsung pada Kamis (9/6/2022) di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Gangguan kesehatan jiwa berdampak ke produktivitas individu. Menurut data Institute for Health Metrics and Evaluation pada 2017, persentase tahun hilang akibat kesakitan atau kecacatan tertinggi karena gangguan mental sebesar 14,4 persen. Angka ini tertinggi dibandingkan gangguan kesehatan lain, seperti penyakit kardiovaskular (4,2 persen).
Kendati demikian, belum banyak yang mengakses layanan kesehatan mental. Baru 52 persen orang mengakses layanan ini di negara berpendapatan tinggi, serta 27 persen di negara berpendapatan rendah dan menengah.
Kesehatan penting untuk pembangunan sosial dan ekonomi. Selain itu, kesehatan jiwa adalah hak fundamental semua orang
Salah satu kendalanya ialah layanan kesehatan jiwa yang belum merata. Sebagai contoh, jumlah psikiater di Indonesia sekarang sekitar 1.000 orang. Sebanyak 70 persen di antaranya ada di Pulau Jawa. Artinya, satu psikiater mesti menangani sekitar 250.000 penduduk. Padahal, standar ideal WHO adalah satu psikiater menangani 10.000 penduduk.
Kendala lain adalah soal biaya. Kunta mengatakan, meski layanan kesehatan jiwa sudah ditanggung BPJS Kesehatan, pasien dan keluarga masih harus mengeluarkan biaya untuk keperluan lain, misalnya transportasi.
Direktur WHO Collaboration Center for Mental Health di Melbourne, Australia, Helen Herrman mengatakan, 100 juta orang jatuh miskin setiap tahun karena membayar biaya kesehatan dari kantong sendiri. Layanan kesehatan jiwa pun mesti diintegrasikan ke cakupan kesehatan semesta (universal health coverage/UHC). UHC memastikan layanan kesehatan yang inklusif. Adapun Indonesia mengadaptasi UHC melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
”Kesehatan penting untuk pembangunan sosial dan ekonomi. Selain itu, kesehatan jiwa adalah hak fundamental semua orang,” kata Herrman.
Sebelumnya, WHO menyusun rencana aksi komprehensif terhadap kesehatan jiwa periode 2010-2030. Rencana ini menargetkan 80 persen negara memiliki setidaknya dua program kesehatan jiwa. Program itu mencakup promosi dan pencegahan gangguan kesehatan jiwa di level nasional dengan pelibatan multisektor.
Preseden
Kepala Program Kesehatan Departemen Kesehatan Filipina Frances Prescilla mengatakan, Filipina memiliki payung hukum yang mengatur layanan kesehatan jiwa. Mental Health Act ditandatangani pada 2018, sementara Universal Health Care Act pada 2019.
Payung hukum itu mendorong integrasi layanan kesehatan jiwa dengan layanan kesehatan dasar. Selain itu, hak dan kebebasan penderita gangguan kesehatan jiwa pun dijamin. Prescilla menambahkan, Filipina juga membangun sistem kesehatan jiwa yang komprehensif dan terintegrasi.
Upaya mengatasi gangguan kesehatan jiwa juga dilakukan di Pakistan. Wakil Direktur Kementerian Layanan Kesehatan, Regulasi, dan Koordinasi Nasional Pakistan Samra Mazhar mengatakan, agenda penyakit tidak menular dan kesehatan jiwa telah diakui sebagai prioritas.