Depresi Meningkat, Kesadaran Kesehatan Jiwa Masih Minim
Pandemi Covid-19 kian memicu tekanan psikologis. Tanpa intervensi dan antisipasi yang menyeluruh, kasus gangguan jiwa di masyarakat dikhawatirkan akan melonjak dalam beberapa tahun ke depan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Ketika jam menunjukkan pukul 14.30 WIB, aplikasi transportasi daring milik Reno (50) baru berbunyi. Suara itu sudah ia harapkan sejak pagi, bahkan sudah sejak sore kemarin. Segeralah ia bergegas menuju alamat penumpang yang tertera di layar telepon pintarnya.
Sejak pandemi Covid-19 terjadi, jumlah penumpang Reno menurun signifikan. Sebelum pandemi ia bisa membawa 21 penumpang dalam sehari. Saat pandemi hanya ada satu sampai tiga penumpang. Paling parah saat Juli 2021 ketika kasus Covid-19 sedang berada di puncak.
”Syukur sekarang masih ada satu dua penumpang dalam sehari. Waktu pandemi sedang parah itu, bahkan seminggu lebih saya tidak dapat penumpang. Kalau cuma satu orang sehari itu artinya saya hanya bisa bawa pulang Rp 20.000,” katanya.
Kondisi tersebut tentu sangat berat bagi Reno. Dengan istri yang hanya bekerja sebagai buruh pabrik serta masih ada dua anak yang bersekolah, membuat dia merasa terpuruk. Kebutuhan harian pun akhirnya hanya mengandalkan upah sang istri serta tabungan yang dimiliki. ”Yang penting bisa makan hari ini. Perkara besok adalah urusan besok,” ucap Reno.
Dengan usianya yang sudah tidak lagi muda membuat Reno juga sulit mencari pekerjaan lain. Meminjam uang ke saudara atau teman pun tidak memungkinkan karena kondisi ekonomi sama-sama sedang susah.
Hal itu juga dialami Hiras Hasibuan (49). Pengemudi transportasi daring tersebut bahkan sempat menganggur selama satu tahun lebih. Tidak adanya penumpang dan tidak adanya sumber pendapatan membuatnya depresi.
Kebutuhan sehari-hari Hiras hanya mengandalkan tabungan. Selain itu, beberapa kali ia juga akhirnya terpaksa meminjam uang kepada sanak saudaranya. ”Seperti gali lubang tutup lubang,” katanya.
Hiras menyampaikan, berhari-hari tidurnya tidak tenang. Anaknya yang masih berusia sembilan tahun harus tetap mendapatkan makanan yang cukup. Begitu pula dengan istrinya. Pada saat pengeluaran untuk kebutuhan tetap sama, pendapatan justru berkurang, malahan tidak ada pendapatan lagi.
”Seperti tidak ada harapan. Tetapi, bagaimana lagi, saat ini bukan hanya saya yang menderita. Hampir semua menderita,” katanya.
Syukur sekarang masih ada satu dua penumpang dalam sehari. Waktu pandemi sedang parah itu bahkan seminggu lebih saya tidak dapat penumpang. Kalau cuma satu orang sehari itu artinya saya hanya bisa bawa pulang Rp 20.000.
Baik Reno maupun Hiras sebenarnya menyadari bahwa dirinya mulai mengalami depresi. Selain sulit tidur, mereka sama-sama menjadi lebih mudah marah. Emosinya pun tidak menentu. Namun, tidak ada upaya yang dilakukan untuk mengatasi perasaan tersebut.
Ketika ditanya apakah pernah berpikir untuk pergi ke layanan kesehatan jiwa, Reno menjawab, ”Untuk apa. Saya enggak yang sampai gila.”
Menurut psikiater yang juga President Federation of Asian Oceanian Neuroscience Societies (FAONS) Adhi Wibowo Nurhidayat, kesadaran dan pemahaman masyarakat yang masih minim terkait kesehatan jiwa membuat pelayanan di masyarakat pun tidak optimal. Pemerintah juga organisasi profesi dan lembaga swadaya masyarakat sudah banyak menyediakan layanan kesehatan jiwa. Namun, layanan tersebut tidak dimanfaatkan optimal oleh masyarakat.
”Stigma mengenai kesehatan jiwa masih besar. Orang datang ke rumah sakit jiwa atau layanan kesehatan jiwa itu masih dianggap gila. Belum lagi latar belakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang menganggap suatu masalah yang dialami harus diselesaikan sendiri,” katanya.
Padahal, ia mengungkapkan, tekanan yang dihadapi selama masa pandemi dapat memicu terjadi gangguan kesehatan jiwa. Berbagai riset pun memprediksi ada lonjakan kasus gangguan jiwa dalam beberapa tahun ke depan. ”Tsunami gangguan jiwa bisa terjadi dalam dua sampai tiga tahun ke depan. Dan saya meyakini itu,” ucap Adhi.
Berdasarkan hasil swaperiksa yang dilakukan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia pada lima bulan pandemi Covid-19 di Indonesia menunjukkan, dari 4.010 pengguna swaperiksa terdapat 64,8 persen pengguna yang mengalami masalah psikologis. Sebanyak 65 persen mengalami kecemasan, 62 persen mengalami depresi, dan 75 persen mengalami trauma.
Masalah psikologis terbanyak ditemukan pada kelompok usia 17-29 tahun dan usia lebih dari 60 tahun. Dari analisis yang dilakukan, satu dari lima orang memiliki pemikiran tentang lebih baik mati. Sebanyak 15 persen pengguna setiap hari memikirkan lebih baik mati dan 20 persen memikirkan hal tersebut selama beberapa hari dalam seminggu.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi depresi menjadi penyakit dengan jumlah yang paling banyak dialami masyarakat pada 2030. Depresi perlu menjadi perhatian serius karena beban yang diakibatkan bisa lebih besar dari penyakit lainnya, seperti penyakit paru kronis, gangguan jantung iskemik, diabetes, serta stroke.
Umumnya, gejala depresi yang muncul, seperti hilangnya minat dan kegembiraan, mudah lelah, konsentrasi berkurang, harga diri dan tingkat kepercayaan diri yang berkurang, serta munculnya rasa bersalah dan tidak berguna. Selain itu, orang yang mengalami depresi akan menilai masa depannya menjadi suram, tidur terganggu, nafsu makan berkurang, serta memiliki pemikiran yang dapat membahayakan diri sampai bunuh diri.
Adapun kondisi pandemi yang dapat memicu terjadinya gangguan jiwa, antara lain perubahan sosio-kultural di masyarakat, seperti larangan silaturahmi, trauma setelah kematian anggota keluarga atau teman dekat akibat Covid-19, stres berat karena pekerjaan (burnout), tekanan untuk bekerja dari rumah, serta dampak ekonomi.
Adhi mengungkapkan, pasiennya kini banyak yang datang dengan keluhan depresi akibat dampak ekonomi. Ini tidak hanya dari kelompok menengah ekonomi ke bawah, tetapi juga ekonomi menengah ke atas.
Pandemi telah membuat masyarakat kehilangan sumber pendapatan. Ini belum lagi ditambah dengan kondisi yang tidak menentu. Sementara, tabungan atau simpanan yang dimiliki sudah mulai menipis. Padahal, beban biaya hidup tidak berkurang.
Menurut Adhi, ada tiga hal yang harus diperhatikan terkait masalah gangguan kesehatan jiwa dan pandemi, yaitu masyarakat sehat yang rentan mengalami gangguan kesehatan jiwa, masyarakat yang memang sudah mengalami gangguan kesehatan jiwa, serta sarana dan prasarana yang mendukung layanan kesehatan jiwa.
”Perlu aksi nyata untuk bisa mengatasi persoalan ini. Penyelesaiannya tidak bisa hanya dari satu sisi saja. Pendampingan psikososial pada masyarakat rentan memang perlu. Namun, intervensi dari pemerintah melalui bantuan sosial tidak kalah penting karena itu yang menjadi pemicu gangguan kesehatan mental di masyarakat,” kata Adhi.