Cegah Stroke di Usia Muda, Kurangi Duduk dan Bergerak Lebih Banyak
Kasus stroke di usia muda semakin banyak terjadi. Untuk mengurangi risikonya, kurangi duduk dan perbanyak aktivitas fisik.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petugas medis dari Rumah Sakit Umum Daerah Dr Moewardi memberikan layanan pengobatan gratis dan penyuluhan tentang penyakit stroke bagi warga di Kampung Mondokan, Jebres, Solo, Jawa Tengah, Selasa (30/10/2018). Selain untuk memperingati Hari Stroke Sedunia, kegiatan itu juga untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang bahaya dan pencegahan penyakit stroke.
Seorang wanita muda viral di media sosial usai menceritakan kisahnya melalui video yang mengalami stroke saat berumur 20 tahun dan kemudian mengalami koma. Dalam video berdurasi satu menit tersebut, perempuan muda ini menjelaskan bahwa selama pandemi dia kerap begadang dan baru tidur setelah subuh.
Tidur terlambat dan waktu sedentary atau berdiam diri telah menjadi gaya hidup baru bagi banyak orang selama pandemi ini. Padahal, sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan orang untuk tidak bergerak, semakin besar risiko penyakit kardiovaskular, termasuk stroke.
Hampir 9 dari 10 stroke dapat dikaitkan dengan faktor risiko yang dapat dimodifikasi, seperti perilaku sedentary. Selain itu, terlalu banyak duduk diketahui menyebabkan meningkatnya risiko diabetes tipe 2 dan penyakit kronis lainnya, termasuk depresi.
Menurut data American Heart Association dalam jurnal Circulation pada Februari 2021, kematian terkait stroke di Amerika Serikat menurun pada tahun 2010 di antara orang dewasa 65 tahun ke atas. Namun, kematian akibat stroke meningkat di antara orang dewasa yang lebih muda, usia 35-64 tahun, meningkat dari 14,7 setiap 100.000 orang dewasa tahun 2010 menjadi 15,4 per 100.000 pada 2016.
Penulis studi ini, Raed A Joundi, seorang ahli stroke di Departemen Ilmu Saraf Klinis di Cumming School of Medicine di University of Calgary, Kanada, mengatakan, ada kecenderungan peningkatan waktu sedentary, yaitu durasi aktivitas terjaga yang dilakukan sambil duduk atau berbaring, berkaitan dengan meningkatnya stroke di kalangan lebih muda.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Warga Banda Aceh, Aceh, mengikuti senam antistroke, Jumat (27/10). Jumlah penderita stroke di Aceh termasuk peringkat ke-10 nasional.
Dalam studi ini, peneliti meninjau informasi kesehatan dan gaya hidup 143.000 orang tanpa stroke, penyakit jantung atau kanker yang sebelumnya berpartisipasi dalam Survei Kesehatan Masyarakat Kanada tahun 2000, 2003, 2005, 2007-2012. Peneliti mengikuti peserta selama rata-rata 9,4 tahun (hingga 31 Desember 2017) dan mengidentifikasi stroke melalui catatan rumah sakit.
Mereka meninjau jumlah waktu yang dihabiskan setiap hari dalam aktivitas santai (jam yang dihabiskan di depan komputer, membaca dan menonton TV) dan membaginya ke dalam kategori kurang dari empat jam per hari; empat sampai kurang dari enam jam per hari; enam sampai kurang dari delapan jam per hari; dan delapan jam atau lebih sehari. Mereka juga membagi aktivitas fisik menjadi kuartil atau empat kategori yang sama, di mana kuartil terendah adalah yang paling tidak aktif secara fisik dan setara dengan berjalan-jalan selama 10 menit atau kurang setiap hari.
Hasilnya, selama masa studi, sebanyak 2.965 stroke terjadi. Hampir 90 persen dari mereka mengalami stroke iskemik, jenis stroke yang paling umum terjadi ketika pembuluh yang memasok darah ke otak terhambat. ”Orang dewasa berusia 60 tahun dan lebih muda yang memiliki aktivitas fisik rendah dan melaporkan delapan jam atau lebih waktu luang setiap hari memiliki risiko stroke 4,2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang melaporkan waktu luang kurang dari empat jam setiap hari,” tulis Joundi.
Adapun kelompok yang paling tidak aktif, yaitu mereka yang melaporkan delapan jam atau lebih waktu duduk dan aktivitas fisik rendah, memiliki risiko stroke 7 kali lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang melaporkan kurang dari empat jam waktu duduk sehari dan tingkat aktivitas fisik yang lebih tinggi.
”Orang dewasa berusia 60 tahun ke bawah harus menyadari bahwa waktu duduk yang sangat tinggi dengan sedikit waktu yang dihabiskan untuk aktivitas fisik dapat memiliki efek buruk pada kesehatan, termasuk peningkatan risiko stroke,” kata Joundi.
AGUS SUSANTO
Warga memanfaatkan libur akhir pekan dengan bersepeda di Jalan Sudirman, Jakarta, Minggu (15/11/2020). Selain mengatur pola makan, aktivitas fisik dan olahraga bisa memunculkan imunitas yang sangat diperlukan tubuh saat belum ada vaksin untuk mengatasi Covid-19 ini. Menjaga pikiran dan emosi agar selalu positif juga diperlukan selama pandemi.
Pekerjaan rumah tangga
Untuk mengimbangi efek samping yang parah dari gaya hidup yang tidak banyak bergerak, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan orang dewasa minimal melakukan 150 menit latihan intensitas sedang dalam seminggu atau setara dengan 75 menit olahraga berat. Beberapa peneliti juga merekomendasikan setiap hari minimal berjalan kaki 10.000 langkah.
Namun, kebanyakan orang tidak bisa memenuhi rekomendasi ini seiring dengan kecenderungan untuk menghabiskan waktu dengan duduk atau tiduran.
Sebuah studi baru dari San Diego State University yang diterbitkan dalam JAMA Network Open pada 3 Juni 2022 menemukan bahwa melakukan aktivitas harian dengan intensitas yang lebih ringan, seperti pekerjaan rumah tangga, juga dapat secara signifikan mengurangi risiko stroke.
”Aktivitas fisik intensitas ringan dapat mencakup menyedot debu, menyapu lantai, mencuci mobil, berjalan-jalan santai, meregangkan tubuh, atau bermain lempar tangkap,” kata Steven Hooker dari College of Health and Human Services, San Diego State University, yang jadi penulis pertama kajian ini dalam keterangan tertulis yang dirilis San Diego State University.
Dalam kajian ini, Hooker dan tim mengamati bahwa aktivitas fisik dan tidak banyak bergerak secara independen memengaruhi risiko stroke. Penelitian ini menunjukkan bahwa strategi pencegahan stroke harus fokus pada keduanya.
Hooker dan rekan penelitiannya mengukur baik jumlah waktu peserta yang tidak banyak bergerak maupun durasi dan intensitas aktivitas fisik pada 7.600 orang dewasa berusia 45 tahun ke atas dan kemudian membandingkan data tersebut dengan kejadian stroke pada peserta di atas tujuh tahun.
Aktivitas fisik intensitas ringan dapat mencakup menyedot debu, menyapu lantai, mencuci mobil, berjalan-jalan santai, meregangkan tubuh, atau bermain lempar tangkap.
Mereka menemukan orang yang tidak bergerak selama 13 jam atau lebih dalam sehari memiliki 44 persen risiko lebih besar terkena stroke. ”Temuan ini lebih kuat karena aktivitas dan perilaku menetap diukur dengan akselerometer, memberikan data yang jauh lebih akurat daripada penelitian sebelumnya yang mengandalkan pengukuran yang dilaporkan sendiri,” kata Hooker.
Peserta penelitian mengenakan akselerometer yang dipasang di pinggul, detektor gerakan sensitif yang secara tepat merekam aktivitas fisik dan durasi duduk dan tidak aktif.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petugas medis dari Rumah Sakit Umum Daerah Dr Moewardi memberikan layanan pengobatan gratis dan penyuluhan tentang penyakit stroke bagi warga di Kampung Mondokan, Jebres, Solo, Jawa Tengah, Selasa (30/10/2018).
Meskipun telepon dan jam tangan pintar telah memotivasi orang Amerika untuk bergerak lebih banyak, sebagian besar orang dewasa tidak cukup berolahraga. Laporan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS menyebutkan, hanya 23 persen orang dewasa AS yang memenuhi rekomendasi mingguan untuk aktivitas aerobik dan penguatan otot.
Namun, jika berjalan 10.000 langkah sehari tidak bisa dilakukan, Hooker mengatakan bahwa bangun dan melakukan aktivitas fisik ringan hingga sedang selama sepuluh menit beberapa kali sepanjang hari adalah strategi yang efektif dalam mengurangi kemungkinan terkena stroke.
Untuk kesehatan jantung dan otak secara keseluruhan, resep paling sederhana yang bisa dijalankan adalah lebih banyak bergerak dan kurangi duduk atau berbaring santai!