Kasus Kian Marak, Terdakwa Perdagangan Sisik Trenggiling Dituntut 4 Tahun Penjara
Mereka ditangkap polisi pada awal Februari 2022 di terminal mobil barang di Desa Santan, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Saat mobil tersangka digeledah, ditemukan sisik trenggiling.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
JANTHO, KOMPAS — Dua terdakwa kasus perdagangan sisik trenggiling (Pholidota) dituntut masing-masing empat tahun penjara, sedangkan satu terdakwa lainnya dituntut tiga tahun penjara. Jaksa menyatakan tuntutan mendekati hukuman maksimal sesuai undang-undang karena perdagangan bagian tubuh satwa kian marak.
Jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Kabupaten Aceh Besar, Wira Fadilla, dihubungi pada Selasa (24/5/2022) mengatakan, besaran tuntutan tersebut sudah setimpal dengan peran masing-masing terdakwa dalam kasus perdagangan satwa lindung sisik trenggiling. Terdakwa Firmansyah (37) dan Sandika (31) masing-masing dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, sedangkan Ahmad Yani (48) dituntut 3 tahun penjara dan denda Rp 50 juta.
Ancaman hukuman maksimal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah lima tahun penjara. ”Kami menuntut hukuman tinggi sebagai bentuk komitmen kejaksaan mendukung konservasi,” ujar Wira.
Wira menyebutkan, dalam fakta persidangan terungkap Firmansyah berperan sebagai penampung sisik trenggiling hasil perburuan yang dilakukan Sandika. Berat sisik trenggiling yang disita polisi dari mereka sebesar 22 kilogram.
”Firmansyah mengaku sebagai penampung, tetapi dia mengatakan baru sekali. Kami tidak percaya. Kami menduga dia pernah bertransaksi,” kata Wira.
Sementara barang bukti milik Ahmad Yani sebanyak 4 ons. ”Ahmad Yani mengaku sisik trenggiling didapati di kebun, bukan sengaja diburu,” ujar Wira.
Mereka ditangkap polisi pada awal Februari 2022 di terminal mobil barang di Desa Santan, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Saat mobil tersangka digeledah, ditemukan sisik trenggiling.
Satwa lindung trenggiling termasuk paling banyak diburu. Sisik trenggiling dijadikan bahan baku untuk produksi narkotika sabu dan obat. Sebagian besar trenggiling dari Indonesia diselundupkan ke China atau Vietnam. Harga sisik trenggiling di pasar gelap Rp 700.000 hingga Rp 1 juta per kilogram.
Trenggiling termasuk satwa lindung. Satwa ini berperan sebagai predator terhadap serangga atau rayap. Keberadaan trenggiling dapat mengendalikan populasi serangga dan rayap.
Menurut Taing Lubis dari Tim Ahli Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, perburuan satwa lindung kian masif. Dalam dua tahun terakhir kasus perburuan yang ditangani aparat penegak hukum cukup beragam, mulai dari gajah, harimau, rangkong, trenggiling, hingga orangutan.
Permintaan di pasar gelap tinggi sehingga mendorong pelaku untuk berburu. (Teuku Muhammad Zulfikar)
Di wilayah yang konflik satwanya tinggi, potensi perburuan juga masif. Dalam beberapa kasus, pelaku perburuan memanfaatkan situasi konflik satwa. Satwa lindung dibunuh dengan dalih mengganggu aktivitas pertanian warga.
Aktivis konservasi Yayasan Ekosistem Lestari, Teuku Muhammad Zulfikar, mengatakan, selama perdagangan satwa lindung belum dapat dihentikan, aktivitas perburuan tetap berpotensi terjadi. ”Permintaan di pasar gelap tinggi sehingga mendorong pelaku untuk berburu,” kata Zulfikar.
Meski demikian, Zulfikar menaruh harapan kepada aparat penegak hukum agar mengungkap jaringan perburuan dan perdagangan bagian tubuh satwa sampai tuntas agar ancaman terhadap satwa lindung menurun.
Catatan Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh sepanjang 2020-2021, penegak hukum menangani 18 perkara kejahatan terhadap satwa lindung. Jumlah tersangka ada 42 orang, tetapi sebanyak 9 orang masih buron. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan FJL, sebagian besar putusan hakim masih di bawah tuntutan jaksa.
Sebanyak lima kasus kematian satwa lindung di Aceh hingga kini proses hukumnya berjalan di tempat. Kelima kasus tersebut meliputi kematian orangutan di Aceh Selatan, dua kasus kematian harimau di Aceh Selatan, kematian gajah di Pidie, dan kematian anak gajah di Aceh Jaya.