”Inong”, Potret Pilu Anak Gajah Sumatera yang Terjebak di Kubangan
Induk gajah sempat mendatangi anaknya, mengusap tubuh Inong yang terbaring kaku di rumput. Induk gajah itu perlahan menjauh seperti tahu anaknya butuh pertolongan medis.
Oleh
ZULKARNAINI
·5 menit baca
Nasib ”Inong”, gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis) berusia satu bulan itu, sungguh malang. Jatuh ke kubangan menyebabkan dia kehilangan penglihatan, kaki nyaris lumpuh, dan terpisah dari induknya. Kerusakan habitat membuat gajah sumatera kian merana.
Gajah mungil itu dipanggil Inong, yang dalam bahasa Aceh berarti perempuan, karena gajah itu berjenis kelamin betina. Pada Rabu (17/2/2021) gajah itu masih menjalani pengobatan intensif di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Saree, Kabupaten Aceh Besar.
”Keadaannya mulai membaik. Namun, kecil harapan kakinya bisa normal,” kata drh Rosa Rika Wahyuni, petugas medis dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh.
Gajah kecil itu ditemukan warga terjebak dalam lumpur, bekas kubangan kerbau, pada Senin (8/2/2021) di Desa Bunot, Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie. Tidak ada yang tahu mengapa anak gajah itu terjatuh ke kubangan, tetapi diperkirakan dia sudah lima hari terjebak di sana.
Sang induk tetap menjaga anaknya. Namun, dia tidak bisa menolong. Saat warga mengevakuasi si anak, induknya menyaksikan dari jauh. Gajah kecil itu diangkat dari kubangan dalam kondisi kritis, napasnya lemah, matanya luka, dan kakinya lumpuh.
Induk gajah sempat mendatangi anaknya, mengusap tubuh sang anak yang terbaring kaku di rumput. Induk gajah itu perlahan menjauh seperti tahu anaknya butuh pertolongan medis.
Gajah kecil itu pun dibawa ke PKG Saree. Hasil pemeriksaan tim medis menunjukkan gajah itu mengalami luka pada mata kiri sehingga menyebabkan kebutaan, kaki kiri depan dislokasi, dan kedua kaki belakang mengalami kelumpuhan.
”Kami berusaha maksimal untuk merawat Si Noeng, mudah-mudahan dia cepat pulih,” ujar Rosa.
Hari itu selang infus masih terpasang pada lehernya. Tubuhnya dimasukkan dalam gendongan yang digantung pada balok kayu. Luka pada pangkal daun telinga mengering. Dia berusaha berdiri, tetapi kakinya tak mamu menopang tubuh sendiri.
”Saat pertama dibawa ke sini, daun telinga pun tidak bergerak, dia kritis. Sekarang mulai baik, tetapi kelihatan masih stres,” kata Rosa.
Pengobatan Inong melibatkan tim medis dari BKSDA Aceh, Pusat Kajian Satwa Liar (PKSL) Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (FKH-USK), dan Fauna and Flora International (FFI).
Rosa, dokter hewan yang sudah berpengalaman lebih dari 10 tahun, mengatakan, dari sekian banyak anak gajah yang dirawat tidak ada yang bertahan hingga dewasa. Mereka semua mati.
Sebelum kasus Inong, ada Salma, gajah kecil yang ditemukan terjebak di dalam lubang di Aceh Timur. Selama delapan bulan dia dirawat di Conservation Response Unit Serbajadi, Aceh Timur. Rosa termasuk salah seorang tim medis yang merawat Salma. Salma mati pada 7 Februari 2020 akibat gangguan sistem pencernaan, jantung, dan limfa.
Kasus lain, anak gajah berusia 11 bulan ditemukan kritis di kawasan hutan di Aceh Timur pada Januari 2017. Namun, dia mati saat dalam proses perawatan di PKG Saree pada 13 Juni 2017. Penyebab kematiannya adalah infeksi pada usus.
Kita tidak akan mampu memberikan sentuhan, kasih sayang, dan pola perawatan seperti induknya.
Menurut Rosa, nutrisi dari air susu induk tidak akan mampu digantikan dengan apa pun. Sebagai tim medis, mereka berusaha maksimal untuk menyelamatkan. ”Kami tidak akan mampu memberikan sentuhan, kasih sayang, dan pola perawatan seperti induknya,” ucap Rosa.
Tiga kasus kematian anak gajah sumatera tersebut adalah potret pilu kehidupan satwa lindung itu. Berdasarkan data dari BKSDA Aceh, sejak 2016 hingga 2020 jumlah gajah yang mati mencapai 42 ekor. Penyebab kematiannya sebanyak 57 persen karena konflik, 33 persen mati alami, dan 10 persen karena perburuan.
Diperkirakan populasi gajah di Aceh tersisa 539 ekor yang tersebar di 15 kabupaten dan kota. Kawasan seperti Pidie, Aceh Timur, Bener Meriah, dan Aceh Jaya paling dominan penyebarannya.
Data dari Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh menunjukkan, pada 2016-2019 Aceh kehilangan tutupan hutan seluas 69.091 hektar. Sebagian hutan yang rusak berada di koridor gajah, seperti di Aceh Timur, Pidie, Aceh Jaya, dan Utara.
Sementara berdasarkan The IUCN Red List of Threatened Species, Organisasi Internasional untuk Konservasi Alam, gajah adalah spesies yang terancam kritis, berisiko tinggi untuk punah di alam liar.
Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto menuturkan, kerusakan habitat menjadi penyebab utama konflik gajah dan satwa lindung lain di Aceh sukar diatasi. Agus memperkirakan sebanyak 85 persen gajah kini berada di luar kawasan konservasi. Perubahan fungsi kawasan dari hutan menjadi area budidaya membuat gajah kehilangan habitat.
”Dampaknya, kebanyakan gajah itu mencari makan ke kawasan budidaya bahkan ke permukiman,” ujar Agus.
Semakin menjadi ancaman bagi gajah, sebagian petani memasang pagar listrik untuk menghalau gajah dan babi. Di Aceh Jaya, pada Januari 2020, lima ekor gajah mati karena tersengat pagar listrik.
Agus mengatakan, untuk mengatasi konflik, caranya dengan memulihkan habitat gajah, membangun parit pembatas, dan menyesuaikan jenis tanaman petani dengan tanaman yang tidak disukai gajah. Pemulihan kawasan menjadi kunci penanganan konflik jangka panjang.
”Untuk menekan konflik, kami sudah menetapkan koridor penghubung di 10 kawasan ekosistem esensial,” kata Agus.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh Muhammad Nur mengatakan, selama aktivitas ilegal dalam kawasan tidak dicegah, konflik satwa lindung di Aceh tidak akan terselesaikan. Nur mempertanyakan keseriusan pemerintah menyelamatkan hutan dan melindungi satwa liar.
Dia mencontohkan tambang ilegal di hutan lindung Geumpang, Pidie, hingga kini masih masif terjadi. Akibatnya kehidupan satwa lindung di koridor itu terganggu sehingga gajah sering turun ke permukiman.
Saat gajah turun ke permukiman, keselamatan mereka dan manusia sama-sama terancam. Namun, kematian lebih sering menimpa gajah. Jika tidak dilindungi, satwa kebanggan itu akan berakhir punah.