Dua Tahun, Kasus Pemerkosaan terhadap Bocah di Sragen Terkatung-katung
Bocah usia sembilan tahun di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, diduga diperkosa tetangganya pada 2020. Hingga kini, kasus belum menunjukkan kejelasan. Tersangka belum ditetapkan, sedangkan korban tidak didampingi psikolog.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SRAGEN, KOMPAS — Laporan kasus dugaan pemerkosaan terhadap anak di Sragen, Jawa Tengah, yang diduga dilakukan tetangganya terkatung-katung hampir 2 tahun. Laporan sudah disampaikan ke aparat kepolisian pada 2020, tetapi penanganan kasus tak kunjung jelas hingga saat ini. Keluarga korban dan berbagai pihak mendesak kepolisian serius mengungkap kasus ini segera.
Musibah tersebut dialami W saat masih berusia 9 tahun. Terduga pelaku adalah tetangga korban berinisial S, yang juga berstatus sebagai guru silat dari salah satu perguruan di daerah tersebut. Kejadian itu diketahui keluarga setelah korban mengalami demam. Setelah diperiksakan ke dokter, ternyata ada luka pada alat kelaminnya. Diduga, luka itu disebabkan oleh kekerasan seksual.
”Saya sudah beberapa kali melaporkan, tetapi seolah tidak ditanggapi. Baru setelah saya didampingi penasihat hukum, mereka (polisi) baru beri surat pelaporan dan dilanjutkan dengan gelar perkara pada 2021,” kata D (35), ayah korban, dalam pertemuan daring bertajuk ”Kawal Kasus Perkosaan Anak Perempuan Usia 9 Tahun di Sragen”, Sabtu (14/5/2022).
D menengarai adanya kejanggalan dalam pengusutan kasus tersebut. Ia, misalnya, justru diminta mencuci celana dalam milik putrinya yang terdapat bukti berupa bercak darah di hadapan polisi yang memeriksanya. Saat itu, kebetulan ia tak didampingi penasihat hukumnya.
Sampai saya pernah ditawari uang untuk menutup kasus ini dengan nominal Rp 500.000.
Namun, D tak gentar memperjuangkan keadilan untuk putrinya. Ia terus mempertanyakan apa yang membuat kasus itu tak segera terungkap. Bahkan, sekali waktu, ia pernah diminta agar tak melanjutkan proses hukum atas kasus dugaan pemerkosaan tersebut oleh seorang politisi lokal.
”Saya tidak berhenti mencari keadilan di mana pun. Sampai saya pernah ditawari uang untuk menutup kasus ini dengan nominal Rp 500.000. Namun, saya tidak mau,” kata D.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Saron Andar Beniala Lumbanraja menganggap jajaran kepolisian berjalan terlalu lamban dalam mengusut kasus tersebut. Pihaknya sudah berusaha memberikan sejumlah alat bukti, termasuk surat visum yang menunjukkan adanya kekerasan seksual yang dialami korban. Akan tetapi, penetapan tersangka tak kunjung dilakukan meski bukti-bukti yang diberikan sudah dirasa cukup.
Di samping itu, lanjut Andar, orangtua korban juga sempat diintimidasi. Dampaknya, korban dan keluarganya terpaksa berlindung ke hutan selama sehari dengan alasan keamanan. Selain itu, sebut Andar, korban juga tidak memperoleh pendampingan psikologis atas musibah yang dialaminya.
”Sampai kapan pun kami akan melakukan perlindungan. Hak korban akan kami jamin. Ke mana saja, akan kami kejar,” kata Andar.
Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) Komisaris Besar M Iqbal Alqudussy tak memungkiri belum ada tersangka yang ditetapkan dalam kasus tersebut. Aparat kepolisian tengah bekerja mengumpulkan alat-alat bukti tambahan. Alat bukti yang ada dianggap belum cukup untuk menentukan tersangka dari kasus tersebut.
”Jadi, kasus ini memang masih memerlukan pendalaman untuk menentukan yang bersangkutan sebagai tersangka atau tidak karena memang belum cukup alat bukti. Yang jelas sudah ada upaya dari Polda Jateng. Ada asistensi penyidikan di sana (Sragen),” kata Iqbal.
Anggota Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Sri Nurherwati, mendesak agar penetapan tersangka bisa segera dilakukan. Menurut dia, Mahkamah Konsitutsi telah memperluas makna saksi. Dalam peristiwa pemerkosaan, saksi tidak harus seseorang yang melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Terlebih lagi, jelas Sri, sudah ada bukti berupa surat visum yang menunjukkan kondisi korban akibat dugaan pemerkosaan yang dialaminya. Bukti pendukung lain yang juga bisa digunakan adalah keterangan psikolog pendamping korban. Mereka bisa diposisikan sebagai ahli yang mampu menjelaskan keadaan psikologis korban atas peristiwa yang dialaminya.
Analisis bisa dibuat dari beragam bukti yang sudah ada oleh ahli pidana. Itu diharapkan dapat mempercepat proses pemeriksaan.
”Itu memperkuat bahwa kasus ini sudah cukup buktinya. Jadi, bisa direkomendasikan naik ke tahap berikutnya. Bahkan, menetapkan pelaku menjadi tersangka. Saya kira itu langkah yang paling dekat dan strategis untuk segera dilakukan,” kata Sri.