Dua PNS Bener Meriah Tersangka Perdagangan Satwa Lindung
Perdagangan satwa lindung memicu perburuan. Dampaknya populasi satwa lindung menyusut. Perlindungan harus diperkuat agar satwa-satwa itu tidak punah.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
SIMPANG TIGA REDELONG, KOMPAS — Aparat Kepolisian Resor Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, menahan tiga tersangka perdagangan bagian tubuh satwa lindung. Dua orang di antaranya pegawai negeri sipil.
Kepala Polisi Resor Bener Meriah Ajun Komisaris Besar Polisi Surya Agung Prabowo dalam jumpa pers, Senin (25/4/2022), menuturkan, bagian tubuh satwa lindung yang diperjualbelikan adalah kulit harimau, sisik trenggiling, dan opsetan beruang madu.
Ketiga tersangka yaitu SN (40), NI (40), dan THI (31). Ketiga tersangka warga Kabupaten Bener Meriah.
SN merupakan bidan, pegawai negeri sipil (PNS), di Puskesmas Rong-ronga. Sementara NI adalah PNS di Puskesmas Singah Mulo, sedangkan THI bekerja sebagai petani.
”Mereka ditahan untuk proses penyidikan. Mereka dijerat UU Konservasi sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara,” kata Surya.
Kronologi penangkapan ketiga pelaku tersebut berawal dari informasi rahasia. Petugas yang sudah mengetahui rencana transaksi pada Jumat (22/4/2022) pukul 21.00 menyambangi rumah tersangka THI. Di sana, ketiga tersangka ditangkap dan barang bukti disita.
Barang bukti yang disita satu helai kulit harimau, satu opsetan beruang, dan 1,5 kilogram sisik trenggiling.
Surya menuturkan, keterangan dari tersangka SN, dia membeli sisik trenggiling dari seseorang yang tidak diingat identitasnya. SN hendak menjual sisik trenggiling kepada NI dengan harga Rp 5 juta.
Begitu juga dengan THI yang memiliki opsetan beruang madu dan kulit harimau ingin menjual kepada NI. Mereka sepakat bertemu di rumah THI.
Kepada polisi, THI mengakui opsetan tersebut sudah cukup lama berada di rumahnya, peninggalan sang ayah. Opsetan beruang madu akan dijual seharga Rp 10 juta dan kulit harimau Rp 30 juta.
”Mereka mengaku baru kali ini melakukan penjualan bagian tubuh satwa lindung,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto menuturkan, perdagangan illegal menjadi salah satu pemicu menyusutnya populasi satwa lindung di Aceh. Perdagangan mendorong para pemburu di tingkat tapak membunuh satwa lindung.
Diperjualbelikan
Harimau, trenggiling, gajah, dan rangkong menjadi satwa yang paling banyak diburu. Bagian tubuh satwa itu diperjualbelikan pasar dalam negeri hingga ke luar negeri. Harga jual bagian tubuh satwa itu mencapai puluhan juta.
Penindakan hukum yang tegas perlu agar ada efek jera. (Agus Arianto)
Di tingkat tapak, para pemburu dengan mudah membunuh satwa lindung. Sebagai contoh, pembunuhan gajah jantan di Aceh Timur pada Juli 2021. Setelah meracuni gajah, pelaku mengambil gading lalu menjual ke perajin di Jawa Barat. Harga jual gading di tingkat perajin mencapai Rp 30 juta sepasang.
”Penindakan hukum yang tegas perlu agar ada efek jera,” kata Agus.
Berdasarkan catatan Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh sepanjang 2020-2021, penegak hukum menangani 18 perkara kejahatan terhadap satwa lindung. Jumlah tersangka ada 42 orang, tetapi 9 orang masih buron. Kajian yang dilakukan FJL, sebagian besar putusan hakim masih di bawah tuntutan jaksa.
Sebanyak lima kasus kematian satwa lindung di Aceh hingga kini proses hukumnya berjalan di tempat. Kelima kasus tersebut meliputi kematian orangutan di Aceh Selatan, dua kasus kematian harimau di Aceh Selatan, kematian gajah di Pidie, dan kematian anak gajah di Aceh Jaya.