Setahun Bencana Seroja di NTT, Verifikasi Data Masih Berlangsung
Sudah satu tahun bencana Seroja berlangsung di NTT. Masih banyak hal yang belum ditangani tuntas, terutama soal perbaikan rumah penduduk. Hingga hari ini, pemerintah masih melakukan verifikasi data di lapangan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Penanganan satu tahun bencana badai siklon tropis Seroja, 3-5 April 2021, masih jauh dari harapan. Hingga hari ini, masih berlangsung verifikasi data penerima manfaat di lapangan meski alokasi dana dari pusat senilai Rp 849,300 miliar sudah ditransfer ke rekening daerah. Sejumlah fasilitas dan sarana umum pun belum ditangani tuntas.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Ambrosius Kodo di Kupang, Selasa (5/4/2022), mengatakan, sudah satu tahun bencana yang berlangsung pada 3-5 April 2020 itu berlalu. Sejumlah halbelum tuntas dikerjakan, terutama bantuan bagi korban penyintas bencana. Bantuan memang harus tepat sasaran agar tidak menimbulkan masalah, baik bagi penerima manfaat maupun pemerintah yang mengalokasikan bantuan.
”Proses verifikasi dan validasi data masih berlangsung di lapangan olehBPBD kabupaten/kota dibantu Dinas Sosial. Data awal yang dilaporkan pascabencana Seroja masih banyak yang perlu diverifikasi dan divalidasi. Data itu masih tumpang tindih dan berpeluang menjadi masalah di kemudian hari apabila digunakan sebagai patokan,” kata Ambrosius.
Dalam data yang disampaikan itu muncul, antara lain, empat kepala keluarga (KK) menempati satu rumah, kemudian dilaporkan ada empat KK sebagai penerima, seharusnya hanya satu KK. Penyewa atau pengontrak rumah mengaku sebagai pemilik sehingga namanya tertera sebagai penerima manfaat. Sementara pemilik rumah sudah meninggal dunia atau merantau ke luar NTT sehingga rumah tidak ditempati. Rumah tidak memiliki sertifikat dan dibangun di atas lahan sengketa dan berbagai masalah lain terkait data bantuan perumahan.
Sejauh ini, pemerintah pusat sudah mengalokasikan anggaran senilai Rp 849,300 miliar pada Desember 2021. Anggaran sebesar itu digunakan untuk perbaikan rumah kategori rusak berat masing-masing Rp 50 juta, rusak sedang Rp 25 juta, dan rusak ringan masing-masing Rp 10 juta per keluarga. Namun untuk relokasi rumah karena lokasi permukiman itu tidak layak ditempati, masing-masing butuh biaya sampai Rp 170 juta per keluarga.
Pembangunan rumah relokasi permukiman warga saat ini sedang berlangsung, bahkan beberapa permukiman baru sudah ditempati warga terdampak. Namun, bantuan stimulan untuk perbaikan rumah masih dalam proses verifikasi data di lapangan, meski anggaran perbaikan rumah senilai Rp 849,300 miliar sudah ditransfer ke rekening 16 kabupaten/kota penerima manfaat.
”Saat ini tim verifikasi dari kabupaten/kota sedang berjibaku ke lapangan dengan kemampuan seadanya melakukan verifikasi data itu. Desa-desa itu berjauhan satu sama lain sampai ratusan kilometer dari pusat kabupaten. Ini juga butuh anggaran khusus. Mereka akan jalan dari rumah ke rumah warga,” kata Ambrosius.
Ia menegaskan, validasi data itu sangat penting. Meski perbaikan rumah itu dinilai terlambat, paling utama bantuan itu tepat sasaran sehingga tidak ada warga yang mengklaim di kemudian hari. Pemerintah sebagai pihak yang mengalokasikan anggaran dan melakukan verifikasi data juga tidak berurusan dengan masalah hukum di kemudian hari.
Ambrosius menegaskan, pemerintah daerah tidak berniat mendapatkan bunga bank dari anggaran senilai Rp 849,300 miliar itu. Uang itu masih tersimpan di bank setiap kabupaten/kota. Bunga uang itu langsung masuk ke kas negara, bukan diambil pemerintah daerah. ”Ini perlu diluruskan sehingga tidak berkembang informasi yang menyesatkan masyarakat penerima manfaat,” kata Ambrosius.
Data awal kerusakan pascabencana Seroja yang dilaporkan tim Satgas Penanggulangan Bencana Seroja Provinsi NTT dengan dukungan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, kerusakan rumah warga mencapai 53.432 unit, terdiri dari rusak berat 6.336 unit, rusak sedang 6.445 unit, dan rusak ringan 40.651 unit. Data itu masih perlu diverifikasi langsung di lapangan.
Perlu dilakukan evaluasi menyeluruh satu tahun pascabencana Seroja. (Elfrid Veisal)
Direktur Circle of Imagine Society (CIS) Timor Wilayah Kerja Kabupaten Kupang, Kota Kupang, dan Timor Tengah Selatan Elfrid Veisal mengatakan, penanganan satu tahun bencana Seroja masih jauh dari harapan. Hal itu tidak hanya menyangkut perumahan warga, tetapi juga soal fasilitas umum, sarana dan prasarana umum lain.
“Di Kabupaten Kupang misalnya, lebih dari 100 embung dengan kapasitas air 200.000-500.000 meter kubik mengalami kerusakan sampai hari ini. Musim hujan 2021/2022 embung-embung itu tidak lagi menampung air. Padahal, embung ini membantu petani kecil untuk mengolah tanaman hortikultura, ternak, bahkan untuk kebutuhan air baku bagi desa-desa yang tidak memiliki sumber mata air,” kata Veisal.
Saat bencana, sedimentasi lumpur, batu, dan kerikil masuk ke dalam embung akibat longsor dan banjir sehingga embung menjadi dangkal. Perlu alat berat untuk mengangkat bahan sedimentasi itu keluar dari kolam embung sehingga embung bisa berfungsi normal lagi.
Bendungan Kambaniru di Kabupaten Sumba Timur pun belum selesai diperbaiki sehingga 42.000 hektar lahan di wilayah itu belum bisa digarap secara leluasa oleh petani. Pengerjaan masih berlangsung.
Selain itu, kawasan hutan yang rusak pun sampai setahun ini belum direhabilitasi, terutama di kawasan bantaran sungai dan tebing-tebing yang longsor. Material longsoran menimbun sejumlah sumber mata air dan belum dibersihkan sehingga warga sekitar kesulitan mendapatkan air seperti terjadi Pulau Pantar Kabupaten Alor. Warga masih menempati bantaran sungai yang berpotensi rawan longsor.
Ia mengusulkan, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh satu tahun pascabencana Seroja. Evaluasi ini penting untuk melihat sektor mana yang sudah ditangani dan yang belum ditangani sama sekali pascabencana Seroja.