Rusak akibat Badai Seroja, Bendungan Kambaniru Direhabilitasi dengan Anggaran Rp 90 Miliar
Bendungan Kambaniru di Kabupaten Sumba Timur, NTT, yang rusak diterjang banjir badai Seroja pada 3-5 April 2021, segera diperbaiki. Infrastruktur ini vital untuk mengairi 1.440 hektar lahan pertanian di daerah tersebut.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Bendungan Kambaniru di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, yang rusak diterjang banjir badai Seroja pada 3-5 April 2021, segera diperbaiki. Pemerintah menyediakan dana total Rp 90 miliar untuk keperluan itu pada tahun anggaran 2021 dan 2022. Perbaikan mendesak dilakukan mengingat fungsi vital infrastruktur ini untuk mengairi 1.440 hektar lahan pertanian.
Juru bicara Gubernur Nusa Tenggara Timur, Marius Ardu Jelamu, di Kupang, Minggu (6/6/2021), mengatakan, rencana rehabilitasi Bendungan Kambaniru itu sesuai dengan hasil kunjungan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, Jumat (4/6/2021).
Suharso, yang didampingi Gubernur NTT Viktor Laiskodat, mengunjungi Bendungan Kambaniru. Bendungan itu mengalami kerusakan cukup parah sehingga direncanakan segera direhabilitasi tahun ini dengan anggaran Rp 67,5 miliar dan diteruskan pada tahun 2022 senilai Rp 22,5 miliar.
Marius mengatakan, sebagai langkah sementara, akan dibangun empang dan tanggul dalam bentuk beronjong di bagian hulu sepanjang 300 meter untuk menampung air di kolam bendungan yang jebol. Air itu kemudian dialirkan ke lahan pertanian warga. Selain kolam bendungan yang jebol, kerusakan juga terjadi pada jaringan irigasi induk, sekunder, dan tersier setelah diterjang banjir.
Bupati Sumba Timur Kristofel Praing mengatakan, akibat badai Seroja, petani gagal panen karena irigasi rusak total sehingga air tidak bisa mengalir ke lahan pertanian. Petani hanya bisa berharap pada tanaman lain, seperti jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan sayur-sayuran.
Ribuan petani bergantung pada air bendungan itu. Selain mengairi lahan pertanian, bendungan juga berfungsi untuk kebutuhan perikanan air tawar serta pengairan tanaman hortikultura seperti sayur-sayuran, jagung, kacang, dan umbi-umbian.
Kristofel mengungkapkan, selama ini warga di Kecamatan Kambaniru dan sekitarnya tidak pernah mengalami gagal panen akibat kekeringan, kecuali serangan hama belalang. Mereka tidak kesulitan pangan pada puncak kemarau seperti daerah lainnya di NTT. Lahan pertanian di daerah itu dapat ditanami 2-3 kali dalam setahun karena adanya bendungan.
Produksi padi rata-rata 4 ton per hektar per tahun. Padi tersebut sebagian besar dijual di pasar-pasar tradisional di Sumba, sebagian lagi untuk kebutuhan rumah tangga sendiri. Kebergantungan petani pada pengairan Bendungan Kambaniru sangat tinggi.
Hasil pertanian hortikultura di Sumba Timur dari Kambaniru didistribusikan juga ke Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya. ”Saya berterima kasih kepada Bapak Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Gubernur NTT yang melihat langsung kondisi bendungan dan telah mengambil keputusan akan membangun bendungan itu,” kata Kristofel.
Ketua Kelompok Tani Membangun, Desa Kambaniru, Kecamatan Kambera, Agus Tanggure mengatakan, bendungan itu vital bagi sentra pertanian di Pulau Sumba. Petani sangat tersiksa setelah air tidak mengaliri lahan pertanian kelompok tani yang beranggotakan 30 orang itu. Setiap anggota kelompok tani memiliki lahan seluas 5 are (500 meter persegi) sampai dengan 300 are (3 hektar).
Mereka semata-mata bergantung pada air bendungan karena tidak ada sumur bor atau air hujan selama musim kemarau.
Agus mengatakan, selain di desanya, kerusakan bendungan itu juga menyebabkan para petani di Desa Maulumbi, Lambanapu, Mauhau, dan Mauliru tidak dapat mengolah lahan secara optimal. Mereka semata-mata bergantung pada air bendungan karena tidak ada sumur bor atau air hujan selama musim kemarau.
Saat badai Seroja merusak bendungan itu, Agus menambahkan, sebagian tanaman padi telah berusia 60-80 hari atau dalam proses bunting, sebagian padi sudah keluar malai dan berbunga. Namun, kebanyakan padi masih dalam proses pertumbuhan atau di bawah usia 60 hari. Padi yang masih dalam proses pertumbuhan ini pun terancam gagal panen karena kekurangan air.
”Padi masih bisa dipanen, tetapi tidak seperti musim tanam tahun-tahun sebelumnya karena sebagian besar tanaman padi tiarap di tanah, bahkan terendam banjir selama belasan hari sampai rusak. Produksi padi gabah kering saat ini rata-rata 1,5 ton per hektar,” kata Agus.
Ia pun berharap pemerintah segera memperbaiki bendungan yang jebol itu sehingga bisa menampung air dari Sungai Kambaniru kembali. ”Bendungan itu merupakan andalan petani Sumba Timur. Ribuan warga bergantung pada air bendungan itu,” ujarnya.