Lima Pengelola TPA Ilegal Terancam 15 Tahun Penjara
Lima orang ditetapkan sebagai tersangka atas aktivitas pembuangan sampah di tempat pembuangan akhir ilegal di Tangerang dan Bekasi. Akibat ulahnya itu berpotensi merugikan negara dan pencemaran lingkungan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lima orang ditetapkan sebagai tersangka atas aktivitas pembuangan sampah di tempat pembuangan akhir ilegal di Kota Tangerang, Banten, dan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Perbuatan tersangka dianggap telah merugikan negara dan berpotensi merusak lingkungan karena menyebabkan pencemaran. Atas perbuatannya, kelima tersangka terancam hukuman 15 tahun penjara dan denda hingga Rp 15 miliar.
Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Yazid Nurhuda saat mengadakan konferensi pers, Jumat (1/4/2022), menerangkan, kelima tersangka itu merupakan orang yang mengelola dua tempat pembuangan akhir (TPA) sampah ilegal di dua daerah berbeda.
E (47) bertugas sebagai koordinator lapangan dan A (52) merupakan penanggung jawab pengelolaan TPA ilegal di Desa Sumber Jaya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi. Jumlah sampah di TPA ilegal yang sudah ada sejak 2004 ini cukup besar, yakni mencapai 508.776 meter kubik dengan luasan lahan mencapai 3,6 hektar.
Sampah-sampah tersebut dibuang di bantaran Sungai Cikarang Bekasi Laut (CBL) dan bersebelahan dengan ruas tol Cilincing-Cibitung yang sedang dalam tahap pengerjaan. Berdasarkan pantauan Kompas di lokasi TPA ilegal sudah terpasang plang dari KLHK dan akses menuju ke tempat pembuangan sudah dipasangi portal.
Tidak ada lagi aktivitas pembuangan sampah di sana. Hanya saja, beberapa pemulung masih mencari sisa-sisa botol plastik dan kaleng yang ada di lokasi tersebut.
Tersangka lain adalah T (43), G (52), dan N (59). Mereka adalah pengelola di tiga TPA ilegal di Desa Kedaung Baru, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang. Aktivitas pembuangan sampah secara ilegal di tempat ini sudah berlangsung sejak 2014. Tak heran, tumpukan sampah di TPA ilegal tersebut mencapai 10 meter.
Kami akan mengerahkan penyidik dan pengawas untuk menginventarisasi TPA ilegal di seluruh wilayah di Indonesia dan akan menerapkan sanksi serupa bagi mereka yang tetap bandel menjalankan aktivitas ini
Lokasinya juga berada di bantaran Sungai Cisadane. Akibat kondisi itu, ujar Yazid, jika hujan, bisa dipastikan akan terjadi longsoran. Dari hasil pengambilan sampel dan uji klinis, terbukti di TPA tersebut terkandung bahan berbahaya beracun, seperti arsenik dan merkuri. ”Jika sampah pun akan masuk ke sungai, bisa dipastikan sungai juga ikut tercemar,” katanya.
Mengutip tarif
Motif dari kelima tersangka adalah meraup keuntungan dari setiap sampah yang dibuang di TPS ilegal tersebut. Sampai saat ini, ungkap Yazid, pihaknya masih terus menelusuri ke mana saja aliran dana dari perbuatan ilegal tersebut. ”Karena itu, penyelidikan akan terus berlangsung hingga menyentuh pihak yang turut menikmati aliran dana dari aktivitas di TPA ilegal tersebut,” ujarnya.
Atas perbuatannya, kelima tersangka dijerat dengan Pasal 98 dan/atau Pasal 99 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun kurungan penjara dan denda hingga Rp 15 miliar.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Sani menegaskan, sebelum menerapkan tindakan pidana, pihaknya sudah berkali-kali mengirimkan peringatan kepada pengelola. Namun, hal itu tetap saja tidak digubris dan aktivitas pembuangan sampah ilegal pun terus berlanjut. Bahkan di Kota Tangerang, walau plang sudah dipasang, pembuangan sampah ilegal malah bergeser ke titik sebelahnya.
Rasio menilai, pembuangan sampah di TPS ilegal ini akan sangat berbahaya. Selain dapat mencemari lingkungan, aktivitas ini juga mengancam keselamatan warga sekitar. Teringat peristiwa longsoran dan meledaknya TPA di Leuwigajah, Cimahi, yang menelan korban 157 jiwa. ”Jangan sampai kejadian tersebut terulang lagi,” ucapnya.
Ancaman pidana tidak hanya ditujukan kepada warga, pengelola, ataupun korporasi, bahkan sanksi juga akan menyasar kepada pemerintah daerah yang membiarkan aktivitas ini berlanjut.
”Kami akan mengerahkan penyidik dan pengawas untuk menginventarisasi TPA ilegal di seluruh wilayah di Indonesia dan akan menerapkan sanksi serupa bagi mereka yang tetap bandel menjalankan aktivitas ini,” kata Rasio.
Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar menyebut pemberian sanksi pidana adalah satu dari beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan pengelolaan sampah 100 persen secara baik dan benar di tahun 2025 seperti yang sudah diinstruksikan Presiden Joko Widodo. Karena itu, penindakan dan juga sosialisasi akan terus dilakukan tidak hanya di dua daerah ini, tetapi juga berlanjut ke seluruh daerah di Indonesia.
Sampai saat ini, ujar Novrizal, pengelolaan sampah yang benar di Indonesia baru mencapai 60 persen. ”Kami terus berupaya untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mampu mengelola sampah dari tingkat terkecil dengan baik sehingga tumpukan sampah di TPA ilegal dapat diminimalkan,” katanya.
Akar masalah
Ketua Koalisi Persampahan Nasional Bagong Suyoto menilai, pemberian sanksi pidana bukan satu-satunya solusi untuk mengurangi TPA sampah ilegal karena tidak menyentuh akar masalahnya. Menurut Bagong, akar masalah dari munculnya TPA sampah ilegal adalah tidak cukupnya kapasitas TPA legal untuk menampung jumlah sampah yang diproduksi di suatu daerah.
Untuk di Kabupaten Bekasi saja, Bagong memperkirakan ada 81-115 TPA liar. TPA itu muncul karena daya tampung TPA Burangkeng sudah tidak mencukupi. Bagong pun menilai, pengelolaan TPA Burangkeng yang dicap legal pun sudah melanggar hukum karena dilakukan dengan skema open dumping.
Menurut dia, yang terpenting saat ini adalah membenahi infrastruktur dan pengelolaan sampah dengan memperbanyak tempat pengelolaan sampah-reduce, reuse, recycle (TPS3R) dan pusat daur ulang sampah (PDUS). ”Idealnya satu desa satu TPS3R,” katanya. Hal ini ampuh untuk mengurangi penumpukan di TPA karena sudah lebih dahulu dikelola oleh warga di desa masing-masing.
Memang, butuh dana yang cukup besar untuk membuat TPS3R atau PDUS, yakni sekitar Rp 5 miliar. Namun, jika memang ada kemauan, bisa saja dana desa digunakan untuk membangun TPS3R tersebut.
”Jika tidak ada kolaborasi dari sejumlah pihak, target Presiden untuk mencapai pengelolaan sampah 100 persen secara benar dan baik sangat sulit tercapai,” ujarnya.