Mengapa Kita Sulit Memilah Sampah?
Hari Peduli Sampah Nasional tahun ini mengajak masyarakat untuk mengelola sampah sebagai bahan baku ekonomi di masa pandemi.
Aktivitas memilah ataupun mendaur ulang sampah belum banyak dilakukan oleh rumah tangga di Indonesia. Padahal, salah satu aktivitas reduce, reuse, recycle tersebut menjadi langkah awal untuk memulai ekonomi sirkular.
Pemerintah mengajak masyarakat untuk mengelola sampah agar bernilai ekonomis dan mengembangkan industri pengelolaan sampah, seperti pengumpulan, pengangkutan, alat dan mesin pengolah sampah, daur ulang, composting, biogas, serta energi alternatif dari sampah.
Paradigma sampah sebagai sumber daya ekonomi sudah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pengelolaan sampah tersebut dilakukan dengan pendekatan komprehensif dari hulu, sebelum dihasilkan produk yang berpotensi menjadi sampah. Selanjutnya ke hilir, pada fase produk sudah menjadi sampah, bisa dikembalikan lagi ke lingkungan secara aman.
Pengelolaan sampah dengan paradigma baru tersebut dilakukan dengan kegiatan pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah sedikit banyak mulai dilakukan, tetapi penanganan sampah belum menjadi aktivitas yang umum dilakukan masyarakat.
Baca juga: Memutar Uang dari Ekonomi Sirkular
Berdasarkan survei Kompas akhir Oktober lalu, 8 dari 10 responden sudah mulai mengurangi sampah. Porsi terbesar yang banyak dilakukan adalah mengurangi penggunaan kantong plastik (38,5 persen). Sisanya membawa botol minum/tempat makanan sendiri dan membuat kompos.
Kesadaran ini bisa jadi terkait dengan kampanye program pengurangan pemakaian plastik sekali pakai yang gencar digaungkan pemerintah dalam dua tahun terakhir ini. Sejumlah pemerintah daerah juga mengeluarkan perda larangan penggunaan kantong plastik di sarana perdagangan yang disertai dengan sanksi atau denda.
Kegiatan penanganan sampah meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir. Menurut UU Pengelolaan Sampah, pengolahan sampah menjadi kewajiban setiap rumah tangga. Namun, nyatanya hingga sekarang belum banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Hasil survei Kompas menyebutkan, hampir separuh responden tidak pernah memilah sampah organik dan anorganik. Juga dengan dua pertiga responden yang mengaku tidak pernah mengolah sampah menjadi produk yang bernilai ekonomi.
Baca juga: Bisnis Berkilau dari Barang Bekas
Memilah sampah
Aktivitas memilah sampah sebenarnya mudah. Di atas kertas, masyarakat harus memisahkan antara sampah organik (sisa sayuran/buah, tulang/duri hewan) dan sampah anorganik (plastik, kertas, stirofoam). Caranya dengan menyediakan dua atau lebih wadah yang menampung jenis sampah berbeda.
Namun, nyatanya, hal tersebut tidak dilakukan. Sampah organik, anorganik, ataupun bahan berbahaya dan beracun atau B3 (baterai/elektronik) langsung dijadikan satu dalam wadah dan dibuang di tempat sampah depan rumah.
Pemilahan sampah di rumah tangga dapat membantu mengklasifikasikan sampah yang dapat dimanfaatkan, diolah lagi, dan yang tidak bisa dimanfaatkan. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam ”Modul Pengelolaan Sampah Berbasis 3R (2010)” menyebutkan pemilahan sampah memiliki beberapa manfaat.
Manfaat itu di antaranya barang yang masih bisa dimanfaatkan tidak terbuang sia-sia. Kemudian, memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat dan pelaku daur ulang sampah dengan menjual sampah yang bernilai ekonomi. Selain itu, dapat mengurangi volume sampah yang diangkut ke TPA serta menjaga kesehatan dan keselamatan petugas pengelola sampah. Bonus lainnya adalah mengurangi pencemaran dan menjaga kebersihan lingkungan.
Baca juga: Ekonomi Sirkular yang Melestarikan Lingkungan
Tingkat pengetahuan
Pemilahan sampah memang tidak mudah dipraktikkan setiap rumah tangga di Indonesia. Kampung Banjarsari, Jakarta Selatan, yang telah menerapkan program Bank Sampah sejak 1980-an pun belum semua masyarakatnya sanggup memilah sampah.
Mengutip penelitian ”Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Berbasis Komunitas: Teladan dari Dua Komunitas di Sleman dan Jakarta Selatan”, (Beta dkk, 2008), rata-rata kemampuan memilah sampah di tingkat rumah tangga di Banjarsari hanya 56 persen. Sisanya masih mencampur aduk antara sampah organik dan anorganik.
Perilaku masyarakat dalam mengelola sampah ini, menurut penelitian ”Analisis Perilaku Pemilahan Sampah di Kota Surabaya” (Elga, 2019), dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari tingkat pengetahuan masyarakat, pendapatan, waktu luang, dan tingkat pendidikan. Adapun faktor eksternal dipengaruhi oleh penegakan hukum, penyediaan sarana-prasarana, dan sosialisasi.
Salah satu alasan masyarakat belum memilah sampah adalah tidak mengetahui jenis-jenis sampah. Secara sederhana, masyarakat hanya tahu barang yang tidak dipergunakan lagi atau sisa dari aktivitas sehari-hari otomatis menjadi sampah dan harus dibuang secepatnya dari dalam rumah.
Menurut Undang-Undang Pengelolaan Sampah, tahap pemilahan dan pengolahan sampah menjadi kewajiban setiap rumah tangga. Namun, nyatanya, hingga sekarang belum banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Baca juga: Ekonomi Sirkular Dapat Kurangi Limbah hingga 52 Persen
Jika masyarakat tidak tahu jenis sampah, bagaimana akan melakukan pemilahan ataupun mendaur ulangnya. Ataupun jika sudah mengetahui jenis sampah, tidak tahu bagaimana menangani sampah.
Faktor lainnya, masyarakat tidak tahu bahwa sampah yang dipilah berdasarkan jenisnya bisa dimanfaatkan kembali ataupun bernilai ekonomis. Dari berbagai penelitian perilaku pengelolaan sampah, ketidaktahuan ini juga menjadi hal yang berpengaruh.
Penelitian di Sleman dan Banjarsari, hasil pengelolaan sampah masyarakat belum dimanfaatkan secara optimal. Misalnya, hasil pengomposan sampah di Banjarsari hanya diberikan kepada tukang sampah, belum dijual kepada pihak lain. Hal inilah yang menghambat program di Banjarsari.
Berbeda halnya dengan penelitian ”Analisis Perilaku Pemilahan Sampah di Kota Surabaya”, masyarakat ekonomi lemah di Surabaya cenderung memilah dan mendaur ulang sampah karena adanya insentif ekonomi dari kegiatan tersebut. Sampah anorganik dikumpulkan di Bank Sampah yang tersebar di seluruh kecamatan dengan omzet Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per bulan.
Hal yang sama juga terjadi di Desa Genteng, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, dalam penelitian ”Perubahan Pola Pikir Masyarakat mengenai Sampah melalui Pengolahan Sampah Organik dan Nonorganik” (Hetty, dkk, 2017). Masyarakat Desa Genteng mengelola limbah kopi di desanya menjadi produk ekonomis, seperti gantungan kunci, pupuk, dan pakan ternak.
Kepedulian lingkungan
Namun, bisa jadi saat masyarakat sudah memahami pengetahuan memilah sampah, tidak mau mempraktikkannya. Hal ini bisa jadi masyarakat menganggap bahwa pengelolaan sampah adalah urusan pemerintah, masyarakat tidak perlu terlibat di dalamnya.
Menurut penelitian ”The Importance of Waste Management Knowledge to Encourage Household Waste-Sorting Behaviour in Indonesia” (Zakianis & Djaja, 2017) dikutip dari penelitian pemilahan sampah di Surabaya, perilaku pemilahan sampah berkaitan dengan kepedulian lingkungan. Kepedulian inilah yang dapat mendorong individu untuk memilah dan mendaur ulang sampah.
Kepedulian ini dapat ditingkatkan dengan konseling manajemen sampah yang akan memberi individu peningkatan kesadaran, pengetahuan, keterampilan, nilai dan pengalaman untuk mengelola sampah. Peningkatan kesadaran ini dapat dilakukan sejak usia dini, terutama di keluarga atau di pendidikan anak usia dini.
Baca juga: Keseimbangan antara Ekonomi dan Lingkungan
Seperti pada penelitian ”Pendampingan Pembelajaran Memilah dan Menempatkan Sampah pada Tempatnya sejak Usia Dini di TK Imbas 1” (Choirul dan Wahyu, 2017), murid TK diajari memilah dan membuang sampah pada tempatnya selama setahun. Sekolah menyediakan tempat untuk tiga jenis sampah yang dibedakan berdasarkan warna.
Kegiatan pemantauan dilakukan setiap hari selama dua minggu berturut-turut hingga murid dan guru menjadi terbiasa. Jika ada yang melakukan kekeliruan, murid ataupun guru diingatkan untuk membuang sampah pada tempatnya. Hasilnya setelah setahun pemantauan, murid dan guru terbiasa untuk memilah dan membuang sampah pada tempatnya.
Selain itu, kesadaran lingkungan juga bisa dibentuk dengan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui berbagai media. Sejumlah komunitas peduli lingkungan dan perusahaan jasa lingkungan, seperti waste4change, Sustaination, Garda Pangan, Kertabumi, Beberes.id, Sabumi, dan zero waste, terus menggencarkan dampak pencemaran lingkungan karena limbah dan sampah.
Baca juga: Gaya Hidup Rendah Karbon di Masa Pandemi
Pengaruh lingkungan
Selain dari faktor internal, pengaruh orang lain di sekitarnya juga memengaruhi pemilahan sampah. Mengutip penelitian ”Analisis Perilaku Pemilahan Sampah di Kota Surabaya”, orang membuang sampah pada tempat yang disediakan karena melihat orang lain melakukan hal yang sama.
Misalnya orang cenderung membuang sampah plastik ke tempat sampah khusus sampah plastik, saat melihat isi tempat sampah hanya khusus plastik. Sebaliknya, jika tempat sampah tersebut diisi berbagai jenis sampah, masyarakat juga cenderung untuk ikut melakukannya. Artinya, kesadaran untuk memilah sampah yang sudah terbentuk akan luntur.
Faktor ini salah satunya yang membuat aktivitas memilah sampah di tempat publik sulit dilakukan, selain karena keterbatasan sarana-prasarana. Soal fasilitas pembuangan dan pengangkutan sampah ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah.
Belum semua pemerintah daerah menyediakan tempat sampah yang memisahkan jenis sampah di tempat publik. Kontainer tempat penampungan sampah sementara pun tidak memisahkan jenis sampah. Juga dengan fasilitas pengangkutan sampah seperti gerobak ataupun truk yang masih mencampur semua jenis sampah.
Baca juga: Merawat Lingkungan Selama Pandemi Covid-19
Hal inilah yang membuat turunnya kepercayaan masyarakat dalam kegiatan pemilahan sampah. Penelitian ”Identifikasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Kepercayaan Masyarakat terhadap Pemilahan Sampah” (Prima dan Benno, 2011) menyebutkan, sarana-prasarana yang tidak memadai memengaruhi kesediaan responden untuk memilah sampah di tingkat rumah tangga. Sampah yang sudah dipilah dalam rumah menjadi sia-sia saat sarana pengangkutan tidak memisahkannya.
Aktivitas memilah sampah di Indonesia akan sulit dilakukan jika tidak ada dukungan dari pemerintah untuk menyediakan sistem pemilahan dan pengangkutan sampah. Namun, sekarang kuncinya kembali pada setiap pribadi masyarakat. Jika peduli pada keberlanjutan lingkungan, kegiatan pemilahan tetap bisa dilakukan.
Proses hilirnya memanfaatkan aktivitas dari komunitas sosial masyarakat ataupun perusahaan yang bergerak dalam bidang pengelolaan sampah. Bank sampah yang mulai berkembang di masyarakat bisa menjadi saluran alternatif. Jika tidak ada bisa memanfaatkan alternatif layanan pengangkutan dan pengolahan sampah seperti Waste4Change, Jakarta Recycle Centre, Sustaination, Beberes.ID, Setali, dan Bulksource.
Sampah adalah ”emas” dan bisa menjadi sumber pendapatan baru jika masyarakat bisa mengelolanya. Mari lakukan hal sederhana mulai sekarang: mengurangi, memilah, dan mendaur ulang sampah. (LITBANG KOMPAS)