Memutar Uang dari Ekonomi Sirkular
Ekonomi berorientasi lingkungan potensial tumbuh pesat dan menghasilkan uang dengan memanfaatkan tingginya volume sampah.

Toto Sihono membuat kerajinan tangan berbahan limbah elektronik di rumahnya di Bhakti Jaya, Tangerang Selatan, Banten, Senin (31/8/2020). Kerajinan yang memanfaatkan limbah elektronik bernilai ekonomi merupakan bentuk kepedulian Toto menjaga kerusakan lingkungan.
Pengelolaan sampah semakin menjadi isu serius di perkotaan. Volume sampah meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk perkotaan.
Bank Dunia memperkirakan produksi sampah perkotaan di negara berkembang mencapai 0,8-1,8 kg per kapita per hari. Sementara, sampah yang diproduksi itu tidak diimbangi dengan upaya pengelolaan memadai.
Pemerintah lewat UU Pengelolaan Sampah No 18 Tahun 2008 sebenarnya sudah menegaskan bahwa urusan sampah ini bukan hanya tanggung jawab mereka. Masyarakat, pengelola kawasan permukiman, komersial, industri, khusus, fasilitas umum, serta fasilitas sosial pun idealnya terlibat dalam hal ini.
Mengelola sampah adalah sebuah rangkaian aktivitas yang disebut ”reduce-reuse-recycle (3R)”. Kegiatan ini merupakan pengembangan dari pola lama pengelolaan sampah (kumpul-angkut-buang).

Petugas memilah sampah organik dan anorganik di pusat daur ulang sampah di Kelurahan Kober, Purwokerto Barat, Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (7/12/2019).
Kegiatan reduce atau mengurangi sampah dimulai sejak dari hulu produksi sampah (rumah tangga, pasar) kemudian mendaur ulang sampah di sumbernya atau di tempat pengolahan.
Kedua adalah menggunakan kembali (reuse) dengan memilih atau menyortir barang yang bisa dipakai kembali. Proses dilanjutkan dengan mendaur ulang atau recycle.
Barang atau bahan yang sudah tidak berguna didaur ulang dan diolah menjadi produk lain yang bermanfaat dan mempunyai nilai ekonomi. Proses daur ulang ini masyarakat tak bisa sendiri. Peran produsen dari sektor industri dibutuhkan untuk mengolah sampah menjadi produk baru dalam skala besar.

Celengan boneka hasil karya berbahan limbah plastik hasil karya Lia Puspita (43), di rumahnya di kawasan Bakti Jaya, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (16/11/2019). Pemanfaatan limbah plastik untuk bahan baku menjadi kerajinan bernilai ekonomi merupakan bentuk kepedulian Lia menjaga kerusakan lingkungan.
Peta jalan
Meskipun program ”3R” telah hadir cukup lama, Indonesia baru akan menerapkan konsep ekonomi sirkular tahun ini. Peta jalan ekonomi sirkular dalam RPJMN 2020-2024 baru diluncurkan pada 24 Februari lalu.
Menurut paparan ”Indonesia Circular Economy Forum”, peta jalan ekonomi sirkular tahun ini dimulai dulu dengan analisis potensi ekonomi, lingkungan dan sosial dari ekonomi sirkular. Adapun penerapannya baru tahun 2024.
Ke depan, ekonomi sirkular akan diterapkan di kawasan perkotaan. Hal ini sejalan dengan tema ”Langkah ke arah Kota Cerdas dan Berkelanjutan melalui Penerapan Ekonomi Sirkular” pada peringatan hari kota Sedunia 31 Oktober.
Dalam menerapkan ekonomi sirkular, Indonesia fokus pada lima jenis sampah yang selama ini menjadi masalah utama. Pertama, sampah makanan yang setiap tahunnya menurut Barilla (2017) terbuang sekitar 300 kilogram.

Baca juga: Ekonomi Sirkular yang Melestarikan Lingkungan
Selanjutnya, sampah tekstil/kain. Tercatat dalam paparan ”Indonesia Circular Economy Forum”, sebanyak 470.000 ton tekstil terbuang selama proses pembuatan.
Sampah konstruksi yang bisa menyumbang 11 persen emisi karbon juga menjadi perhatian utama. Juga dengan sampah plastik yang selama ini 71 persennya masih terbuang sembarangan hingga ke laut serta limbah elektronik.
Penerapan peta jalan ekonomi sirkular ini diharapkan bisa mengurangi lima jenis sampah tersebut sekitar 16 hingga 50 persen hingga 2030. Menurut perhitungan UNDP, konsep ekonomi lingkungan ini bisa mengurangi sampah makanan hingga 50 persen, sampah plastik 20 persen, dan limbah elektronik 21 persen.
Tak hanya mengurangi sampah, penerapan ekonomi sirkular juga mengurangi emisi karbon, khususnya dari sektor nonpenggunaan lahan dan kehutanan pada 2030. Hasil analisis UNDP, emisi karbon berkurang 28 persen dari target batas bawah 29 persen. Juga berkurang 20 persen dari target batas bawah 41 persen.

Baca juga: Gaya Hidup Rendah Karbon pada Masa Pandemi
Dari sisi ekonomi, pengelolaan pada kelima jenis sampah dapat memberikan manfaat hingga 41,6 millar dollar AS atau senilai Rp 593 triliun. Nilai ekonomi dari pengelolaan tersebut menyumbang 2,3 persen pada produk domestik bruto Indonesia tahun 2030.
Saat pandemi ini, sektor pengolahan limbah termasuk salah satu dari tiga sektor ekonomi yang tumbuh positif. Pada triwulan II-2020 ini, sektor pengolahan limbah dan pengadaan air meningkat 4,56 persen. Hal ini menjadi salah satu indikator munculnya kesadaran masyarakat untuk memilah sampah dan menjualnya ke industri daur ulang melalui perantaraan bank sampah, pemulung, atau tukang loak.
Ekonomi sirkular juga bisa meningkatkan lapangan kerja. Diperkirakan, ekonomi sirkular bisa menciptakan 6 juta angkatan kerja atau sekitar 3,8 persen dari total angkatan kerja 2030.
Tumbuhnya industri daur ulang sampah selain membutuhkan pekerja yang mengolah sampah di sektor hilir, juga pekerja yang mengambil sampah dari rumah tangga, memilah serta membersihkannya. Sebenarnya pekerja di sektor hulu ini sudah lama ada, seperti pemulung dan tukang loak. Hanya saja selama ini, kinerja mereka belum dihargai dengan upah yang layak.

Fakhrudin Ardiansyah (49), warga Kota Bogor, Jawa Barat, menyelesaikan lukisan di atas ember plastik bekas kemasan cat untuk dijadikan wadah cuci tangan, Senin (14/9/2020). Selain mengurangi sampah plastik dengan memanfaatkan ember bekas cat sebagai tempat air untuk cuci tangan, dirinya bisa menjual wadah cuci tangan ini mulai dari harga Rp 75.000 per unit.
Optimistis
Di atas kertas, hitungan konsep ekonomi sirkular tersebut terbilang optimistis mengurangi sampah, emisi karbon, sekaligus meningkatkan perekonomian. Pasalnya, program Bank Sampah sebagai bagian dari ekonomi sirkular berjalan stagnan hingga saat ini.
Menurut paparan ”Waste Management Program in Indonesia (Amrizal)”, program 3R selama ini belum mengurangi volume sampah secara signifikan. Masyarakat belum sepenuhnya mengurangi, memilah, ataupun mengolah sampah.
Hasil penelitian ”Analisis Strategi Keberhasilan Pengelolaan Bank Sampah menggunakan metode AHP dan SWOT di Surakarta” oleh Maharani tahun 2019 memetakan ancaman keberlangsungan bank sampah. Salah satu ancamannya muncul dari masyarakat yang belum sepenuhnya paham bagaimana melakukan pemilahan sampah.
Masyarakat kerapkali masih menyatukan sampah organik yang bersifat basah dengan sampah anorganik. Akibatnya, sampah anorganik tersebut tidak lagi bernilai ekonomi.

Tak jarang juga masyarakat sudah melakukan pemilahan, tetapi tidak mengetahui ada beberapa sampah anorganik yang tidak bisa didaur ulang. Saat dibawa ke bank sampah, barang tersebut tidak bernilai ekonomi dan tetap berkontribusi pada volume sampah.
Kelemahan selanjutnya adalah keberlanjutan program bank sampah di masyarakat. Ide pembuatan bank sampah harus bersifat bottom-up yang bermula masyarakat sendiri.
Hal tersebut disimpulkan dari penelitian ”Kajian Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat dengan Konsep 3R di Cirebon” yang dilakukan Puspitawati tahun 2012. Bank sampah yang dibentuk memang timbul dari kesadaran masyarakat yang ingin mengurangi dan mengelola sampah.
Keterbatasan sarana dan prasarana juga menjadi salah satu masalah dalam pengelolaan bank sampah. Umumnya, pengelolaan sampah terkendala minimnya armada angkut, gudang, mesin pencacah, ataupun pendampingan tentang pengelolaannya.

Novita menunjukkan serpihan bungkus plastik yang sudah melalui proses awal pencacahan untuk diolah menjadi bahan baku batu bata (20/10/2020).
Di sisi lain, produsen pun berhadapan dengan sejumlah hambatan dalam penerapan ekonomi sirkular. Paparan ”Indonesia Circular Economy Forum” menunjukkan kesulitan mengubah kebiasaan konsumen dan produsen sebagai hambatan yang umum dihadapi.
Produsen sudah merancang produk dengan bahan yang mudah didaur ulang. Namun, konsumen tidak melakukan pemilahan sampah dan membuangnya begitu saja hingga sampai ke TPA. Sebaliknya, dari pihak produsen pun tidak mudah untuk membuat dan merancang produk yang bisa didaur ulang.
Sejumlah hambatan tersebut menjadi pekerjaan rumah bersama. Bank Sampah yang sudah diterapkan di beberapa kota bisa menjadi modal awal penerapan ekonomi sirkular. Dengan pijakan tersebut, upaya mewujudkan ekonomi sirkular menjadi lebih ringan.
Ekonomi sirkular akhirnya bisa menjadi harapan baru Indonesia pascapandemi dalam mengurangi pencemaran, memulihkan keanekaragaman hayati, dan memperkuat ekonomi. (LITBANG KOMPAS)