Bisnis Berkilau dari Barang Bekas
Lembaga Riset Dunia (WRI) mencatat setidaknya ada empat tanda bahwa pasar barang bekas tengah bertumbuh.
Barang bekas terus naik kelas dengan nilai bisnis yang semakin melonjak sekaligus menggerakkan roda perekonomian sektor kreatif secara global, termasuk Indonesia.
Bisnis produk barang bekas yang sejatinya bukan hal baru menunjukkan tren yang terus menguat di berbagai belahan dunia hingga kini. Adrienne Steffen dalam presentasi studinya yang bertajuk ”Second-hand consumption as a lifestyle choice” (International Conference on Consumer Research (ICCR), Bonn, Jerman, 2016) menjelaskan penguatan tren tersebut.
Sejak tahun 1970 hingga 2010 telah terjadi peningkatan konsumsi barang bekas. Rasa malu dan stigma yang terkait dengan konsumsi barang bekas menghilang dan barang bekas menjadi kian bergaya. Toko produk bekas dengan segala bentuknya juga semakin meniru praktik bisnis yang dilakukan ritel produk baru.
Tak mengherankan, barang bekas pakai diperdagangkan dengan nilai mencapai miliaran dollar AS secara global. Respons rasional konsumen secara ekonomi untuk memperoleh barang berkualitas dengan harga yang terjangkau menjadi salah satu penyebabnya. Di lain sisi, kepedulian terhadap lingkungan, dorongan sosial dan emosional, serta kemajuan teknologi turut menjadi faktor pendorong.
Nilai ekonominya pun kian meningkat. Sebagai contoh, pasar global untuk mobil bekas mencapai 10,2 miliar unit pada 2018 dan 29,3 miliar dollar AS untuk pasar furnitur bekas.
Di Jerman, omzet barang yang dijual di gerai ritel bekas diproyeksikan meningkat dari 1,90 juta euro pada 2012 (sekitar 2,28 juta dollar AS) menjadi 2,20 juta euro (2,64 juta dollar AS) pada 2020, merujuk studi Adrienne Steffen. Secara global, perdagangan barang bekas mode juga diprediksi akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada 2023, mencapai 51 miliar dollar AS.
Baca juga : Dua Sisi Bisnis Barang Bekas
Pasar Bertumbuh
Kajian dari Lembaga Riset Dunia (WRI) mencatat setidaknya ada empat tanda bahwa pasar barang bekas tengah bertumbuh. Pertama adalah adanya pergeseran pasar. Sebagai contoh, sektor ritel pakaian diperkirakan akan menyusut 15 persen pada 2021 dibandingkan dengan 2019.
Sementara itu, penjualan barang bekas dalam jaringan (daring) akan meningkat 69 persen dalam periode yang sama. Belakangan ini juga muncul banyak perusahaan yang meluncurkan program penjualan kembali dan adanya pembukaan toko yang didedikasikan untuk menjual furnitur bekas.
Gucci, salah satu rumah mode mewah Italia, juga mendorong konsumennya berbelanja barang bekas. Brand tersebut bekerja sama dengan pasar konsinyasi barang mewah, The RealReal, untuk mengurangi jejak karbon. Untuk pelanggan yang membeli produk Gucci di The RealReal, keduanya akan menanam pohon melalui One Tree Planted (organisasi nirlaba untuk membantu upaya penghijauan global).
Kedua adalah pemanfaatan media daring untuk penjualan barang bekas. Dengan media daring, konsumen memiliki lebih banyak pilihan, bahkan memiliki kesempatan menjual barang mereka sendiri secara daring, tanpa perlu meninggalkan rumah.
Pemanfaatan media daring ini telah dilakukan di banyak negara, seperti ThredUp di Amerika Serikat, Xianyu milik Alibaba Grup di China, Depop di London, dan Tinkerlust di Indonesia.
Ketiga, munculnya layanan business-to-business (B2B) untuk barang bekas. Di AS, terdapat media daring yang mengambil pakaian dan tekstil bekas dari pengecer kemudian dibersihkan, diperbaiki, dan dijual kembali.
Terakhir, tumbuh layanan pemeliharaan dan perbaikan. Perusahaan dinilai memiliki keuntungan lebih melalui layanan tersebut ketimbang hanya menjual produk baru. Pada 2019, pasar pemeliharaan dan perbaikan global mencapai nilai 1,3 triliun dollar AS.
Acara Bicara Data ”Sisi Lain Bisnis Thrifting” dari akun Instagram @kompasdata, Senin (25/1/2021).
Nilai tambah
Ketika berbicara tentang pemanfaatan kembali barang bekas, boleh jadi muncul pertanyaan: bagaimana bisa memanfaatkan barang bekas berdampak pada ekonomi dan produk domestik bruto (PDB) suatu negara? Tidak ada proses produksi di dalamnya sehingga satuan unitnya tidak terhitung dalam perhitungan PDB.
Namun, praktik-praktik pemeliharaan dan perbaikan pada barang bekas merupakan salah satu langkah pemberian nilai tambah pada barang terkait. Bagi Indonesia, jika barang tersebut adalah kendaraan bermotor, aktivitas tersebut dihitung sebagai reparasi mobil dan sepeda motor yang menjadi salah satu sektor atau lapangan usaha pembentuk PDB.
Upaya pemeliharaan dan perbaikan tersebut juga dimaksudkan agar barang bekas memiliki nilai lebih ketika dijual. Artinya, ada aktivitas perdagangan di dalamnya. Perdagangan juga menjadi salah satu komponen penyumbang PDB dari sisi lapangan usaha.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), kedua komponen PDB tersebut diklasifikasikan menjadi satu sektor, yakni perdagangan besar dan eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor. Sektor tersebut menjadi kontributor terbesar ke-3 terhadap PDB nasional, setidaknya dalam pemantauan lima tahun terakhir.
Tahun 2020, sektor ketujuh dari 17 sektor PDB tersebut menyumbang 13,4 persen pada PDB nasional. Meski sedikit menurun dan terkontraksi dibandingkan dengan tahun sebelumnya karena adanya dampak pandemi, kontribusinya tetap konsisten berada di urutan tiga terbesar.
Baca juga : Ekonomi Sirkular Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi Lebih Tinggi
Ekonomi kreatif
Di sisi lain, peningkatan tren pemanfaatan dan perbaikan barang bekas turut memperkuat munculnya ekonomi kreatif. Memberi nilai tambah pada barang bekas tentunya memerlukan kreativitas agar barang terkait kembali memiliki nilai jual, bahkan lebih tinggi.
Merujuk pada definisinya, ekonomi kreatif merupakan sektor yang menitikberatkan penciptaan nilai ekonomi melalui proses kreatif dari seorang individu. Gagasan pentingnya kreativitas dan inovasi dalam pembangunan, secara khusus dalam mengembangkan industri kerajinan dan kreativitas untuk mencapai ekonomi yang berdaya saing tersebut muncul pada 2005.
Tahun 2007, pemerintah melakukan pemetaan potensi dan membuat rencana pengembangan ekonomi kreatif Indonesia tersebut. Singkat cerita, tahun 2009 pemerintah memperkuat pengembangan ekonomi kreatif dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.
Tahun 2011, pemerintah membentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sejak saat itu, ekonomi kreatif telah menjadi bagian penting dari agenda nasional hingga saat ini. Pengembangan tersebut semakin diperkuat dengan pembentukan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pada 2015.
Praktik kreativitas pada barang bekas salah satunya dilakukan oleh Putri dan Qasyah, mahasiswi Universitas Bina Nusantara (Kompas, 8 Mei 2020). Keduanya memberi nilai tambah pada pakaian bekas.
Bermodal Rp 600.000, keduanya membeli kaus dan jaket hangat bekas. Kemudian keduanya mendaur ulang produk tersebut dengan teknik ikat celup (mewarnai kain dengan cara mengikat kain sebelum dilakukan pencelupan). Teknik tersebut dikenal dengan sebutan tie dye atau dulunya disebut jumputan.
Dengan demikian, nilai jualnya menjadi lebih tinggi, bahkan mampu mencapai harga Rp 500.000-Rp 600.000 per potong. Omzet yang diperoleh sekitar Rp 60 juta per bulan atau 100 kali lipat dari modal awal.
Keduanya memanfaatkan media daring untuk menawarkan produk dan mengoptimalkan media sosial dengan nama bisnis Our Trashes. Pemasarannya bukan hanya di dalam negeri, melainkan sudah mampu menembus pasar luar negeri.
Aktivitas tersebut turut menyumbang PDB melalui aktivitas perdagangan dan subsektor ekonomi kreatif. Tahun 2018, sektor ekonomi kreatif menyumbang 7,16 persen terhadap PDB.
Pada tahun yang sama, laju pertumbuhan ekonomi kreatif lebih besar daripada laju pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut Laporan Kinerja Bekraf 2019, laju pertumbuhan ekonomi kreatif tahun 2018 sebesar 5,17 persen. Sementara itu, laju pertumbuhan PDB nasional hanya senilai 5,07 persen.
Fesyen menjadi salah satu bidang pembentuk subsektor ekonomi kreatif yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Masih merujuk laporan Bekraf, tahun 2018 terdapat 4,7 juta tenaga kerja bidang mode dari 18,2 juta total pekerja ekonomi kreatif. Artinya, lebih dari seperempat tenaga kerja kreatif menggeluti bidang mode.
Kisah lain pemberian nilai tambah produk mode dilakukan Chaterine Emilia, salah seorang perancang busana. Sejak tahun 2012, Emilia menekuni bisnis recycle fashion tersebut. Hobi mengumpulkan dan mendaur ulang barang bekas yang ditekuninya sejak SMA tersebut membawanya sukses meraup keuntungan besar. Setiap potong baju yang dirancangnya dihargai Rp 350.000 hingga Rp 2,5 juta (Kontan, 18 Januari 2016).
Praktik-praktik tersebut mendukung urgensi ekonomi kreatif dalam melestarikan sumber daya alam dan budaya Indonesia. Pasalnya, ekonomi kreatif adalah sektor yang dapat menciptakan produk dan karya bernilai tambah tinggi dengan sumber daya yang terbatas.
Di lain sisi, ekonomi kreatif mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan karena ide dan kreativitas merupakan sumber daya yang senantiasa diperbaharui.
(LITBANG KOMPAS)