Hujan Menguak Masalah Tata Kota Kupang
Kota Kupang yang kini berumur 136 tahun memerlukan perubahan berarti. Kota itu masih berkutat dengan banjir dan sampah yang kian parah. Inovasi pemerintah belum terlihat.
Satu pekan terakhir, hujan intensitas sedang hingga tinggi mengguyur Kota Kupang dan sekitarnya. Seketika, jalanan dan permukiman tergenang. Hujan menguak buruknya penataan kota dan pengelolaan sampah di ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur itu.
Jagat media sosial riuh rendah dengan banjir, Rabu (23/2/2022). Di kawasan Oesapa, yang berada di dataran rendah, warga gotong royong memindahkan barang ke tempat yang lebih tinggi, seperti di atas lemari. Banjir yang menerjang pesisir pantai Oesapa itu meluap hingga 30 sentimeter di badan Jalan Negara Timor Raya.
Di sisi jalan itu tidak dibangun saluran drainase yang memadai untuk mengalirkan air ke laut. Air dari daerah ketinggian, seperti Penfui, meluncur turun lewat badan jalan. Di dalam aliran banjir itu terdapat berbagai jenis sampah plastik, juga batu yang terkelupas dari aspal jalan.
Kami terpaksa buang sampah di sini karena tidak ada tempat pembuangan sampah sementara. Kami harus cari tempat pembuangan yang berjarak berkilo-kilo meter. (Wardi)
Di Jalan Ahmad Yani, tepatnya kawasan Merdeka yang juga berada di dataran rendah, air memenuhi badan jalan. Di sisi kiri dan kanan jalan yang berada di jantung kota itu terdapat saluran air, tetapi penuh dengan sampah plastik. Banjir yang tersumbat lalu meluap ke badan jalan. Genangan air melampaui 40 cm.
Tak hanya di dataran rendah, warga di dataran lebih tinggi, seperti kawasan Sikumana, juga menderita. Jalanan utama kota yang membelah permukiman itu dikikis air. Penyebabnya sama, tidak ada drainase jalan. Warga sekitar jalan membuat tanggul darurat untuk mencegah banjir berbelok ke rumah mereka.
Selepas hujan, batu, kerikil, tanah, dan sampah memenuhi badan jalan. Jalan aspal pun menyempit akibat terkikis air. Lubang jalan yang semula kecil semakin lebar menganga. Pengemudi kendaraan berhati-hati agar ban tidak masuk ke dalam lubang jebakan.
Baca juga: Sampah Kepung Kota Kupang
”Ban sepeda motor saya beberapa kali masuk ke dalam lubang jalan dan saya hampir jatuh. Kalau hujan kemudian banjir, jangan coba-coba jalan. Bisa-bisa masuk ke dalam got,” kata Yakobus Nainaban (37), tukang ojek pangkalan di kawasan Kolhua, Kecamatan Maulafa.
Menurut dia, dari waktu ke waktu, dampak banjir kian terasa di kota seluas 180 kilometer persegi dengan topografi sebagian berupa kemiringan itu. Volume air semakin banyak seiring pertumbuhan permukiman. Kota Kupang kini didiami 442.558 jiwa sesuai hasil Sensus Penduduk 2020.
Nama Kupang berasal dari nama Lai Ko'enpan. Benteng Concordia buatan Belanda sekitar tahun 1657 itu dibangun di lahan bekas istana raja Lai Ko'enpan. Catatan sejarah menyebutkan, bekas kerajaan Helong itu bergeser agak ke luar kota.
Timbunan sampah
Sampah yang menumpuk dan terbawa genangan menyumbat saluran-saluran drainase yang menguak abai warga dalam mengelola sampah. Sampah tidak langsung dibuang ke tempat pembuangan, tetapi di pinggir jalan, saluran got, dan sungai. Di beberapa tempat, sampah bahkan masuk ke badan jalan sehingga mengganggu lalu lintas kendaraan. Tumpukan itu bahkan dibiarkan hingga berminggu-minggu.
”Kami terpaksa buang sampah di sini karena tidak ada tempat pembuangan sampah sementara. Kami harus cari tempat pembuangan yang berjarak berkilo-kilo meter. Kami buang di pinggir jalan siapa tahu ada mobil sampah yang lewat,” kata Wardi (45), warga Kelurahan Bello.
Ia pernah membuang sampah hingga di kawasan Oepura yang berjarak sampai 4 kilometer dari rumahnya. Menurut dia, Kota Kupang bisa belajar dari kota-kota lain di Indonesia tentang pengelolaan sampah. Tidak perlu harus mengadopsi 100 persen penanganan sampah di kota-kota besar yang sudah menggunakan teknik modern dengan sumber daya manusia yang mumpuni.
Sekadar membandingkan pengelolaan sampah di beberapa kota di Indonesia bagian timur, seperti Kota Ambon, Provinsi Maluku, yang relatif teratur. Di Kota Ambon, tidak sampai 200 meter sudah terdapat bak penampung sementara. Setiap hari, mulai pukul 05.00 hingga 18.00, para petugas kebersihan siaga di areal tugas masing-masing.
Wakil Wali Kota Kupang Hermanus Man mengatakan, pemerintah masih berupaya menata kota tersebut. Saat ini sedang dikerjakan proyek drainase di kawasan Jalan Amabi dan Jalan Tuak Daun Merah. Pembangunan drainase itu untuk memperlancar aliran air saat hujan. Jalan dimaksud selama ini bergelombang lantaran sering digenangi air.
Baca juga: Empat Sungai Meluap, Sedikitnya 25.000 Warga Amfoang Terisolasi
Untuk persoalan sampah, Hermanus pun mengajak masyarakat agar disiplin membuang sampah. Kunci utama dari penanganan sampah adalah kesadaran warga untuk hidup bersih. Setiap hari, produksi sampah di Kota Kupang melampaui 50 ton. Sebagian dari itu tidak sampai ke tempat pembuangan akhir.
Ke depan, lanjut Hermanus, akan dilakukan pengelolaan sampah berbasis kelurahan. Petugas kebersihan mengatur proses pembuangan sampah mulai dari menjemput sampah dari permukiman warga. Kendati demikian, Hermanus belum bisa memastikan kapan rencana itu dieksekusi lantaran masa kepemimpinan wali kota dan wakil wali kota akan berakhir tahun ini.
Ahli tata kota dari Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, Donatus Arakian, berpendapat, drainase perkotaan sangat erat kaitannya dengan rencana tata ruang kota. ”Prinsip dari drainase perkotaan yang baik adalah bagaimana mengalirkan air dari wilayah perkotaan yang menjadi sumber air permukaan akibat hujan, seperti dari kawasan permukiman, kawasan industri, perdagangan, kampus, sekolah, dan rumah sakit,” katanya.
Data Badan Pusat Statistik, total panjang jalan di Kota Kupang 1.675 kilometer. Dari panjang itu, status jalan negara sepanjang 63,07 kilometer, provinsi 28,7 kilometer, dan kota 1.574. Paling tidak, di setiap jalan negara atau jalan provinsi harus ada drainase di sisi kiri dan kanan. Kenyataan berbicara lain, banyak ruas jalan tanpa drainase.
Menurut dia, ada tiga variabel pokok yang wajib diperhatikan dalam rencana drainase perkotaan, yakni tata guna lahan, masterplan drainase perkotaan, dan masalah sosial budaya. Aspek pertama dan kedua menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan aspek ketiga menjadi tanggung jawab seluruh warga. Tiga aspek itu masih berjalan pincang dan belum saling menopang. Akibatnya, tata Kota Kupang masih jauh dari ideal.
Ia mencontohkan, di beberapa ruas jalan, dimensi drainase yang dikerjakan berukuran terlalu kecil sehingga tidak bisa menampung volume air. Pembangunan drainase harus mempertimbangkan produksi air permukaan tanah di suatu wilayah ketika terjadi hujan. Ia juga mengusulkan pemanfaatan drainase alami, seperti kali atau sungai. Baginya, belum terlambat untuk melakukan pembenahan di kota itu.
Hujan deras diikuti banjir menguak buruknya kebijakan tata Kota Kupang, terutama pembangunan drainase dan penanganan sampah. Padahal, perilaku masyarakat menentukan keberlanjutan kota yang kini berusia 136 tahun itu untuk menjadi kota yang aman dan nyaman.