Penetapan Hak Tingkatkan Perlindungan Hutan Adat dan Kesejahteraan Masyarakat
Penetapan dan pengakuan hak atas membuat perlindungan hutan lebih fleksibel, Di sisi lain, kesejahteraan masyarakat juga dapat terjamin karena mereka mendapat akses terhadap hutan dan sumber daya alamnya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan dan pengakuan hak atas hutan adat tidak hanya dapat meningkatkan perlindungan hutan, tetapi juga menjamin kesejahteraan masyarakat adat. Pemerintah perlu menjamin pengakuan ini karena ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan aturan turunannya berpotensi untuk merebut kembali hutan adat dari pengelolaan masyarakat.
Koordinator Riset Perkumpulan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma) Nadya Demadevina mengemukakan, berdasarkan hasil penelitian Huma, adanya penetapan dan pengakuan hak atas hutan adat berdampak signifikan terhadap masyarakat. Salah satu contohnya adalah komunitas adat Marena, Sulawesi Selatan, yang mempunyai kekuatan untuk bernegosiasi dengan pihak swasta yang memutus akses hutan untuk kegiatan usahanya.
”Melalui musyawarah adat, mereka akhirnya bersepakat untuk melanjutkan konsesi pihak swasta selama satu tahun, tetapi harus bagi hasil dengan masyarakat adat. Setelah itu, pihak swasta juga perlu menghentikan kegiatannya untuk pemulihan lingkungan,” ujarnya dalam seminar terkait pengelolaan hutan adat pascapenetapan hak di Jakarta, Rabu (26/1/2022).
Setelah penetapan hak ternyata tidak menjamin hutan adat tersebut aman. Bisa jadi, ke depan hutan adat tersebut diambil kembali untuk proyek food estate.
Menurut Nadya, pihak swasta menghormati permintaan tersebut karena masyarakat adat telah memiliki surat keputusan (SK) penetapan hak atas hutan adat. Perlindungan terhadap hutan adat pun dipandang lebih fleksibel karena hukum adat yang ditetapkan masyarakat tidak terlalu formal dibandingkan ketentuan dalam perundang-undangan.
Selain meningkatkan perlindungan terhadap hutan, Nadya juga menyebut, penetapan hak juga dapat menjamin kesejahteraan masyarakat. Dalam kasus komunitas adat Marena, mereka kini bisa mendapat akses terhadap hutannya dan menanam kopi serta palawija. Masyarakat bahkan banyak mendapat tanaman obat yang diambil di kawasan hutan.
Meski demikian, Nadya menyoroti bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan aturan turunannya masih memiliki celah untuk merebut kembali hutan adat dari masyarakat. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja bahkan menyatakan proyek lumbung pangan (food estate) pemerintah dapat dilakukan di atas kawasan yang sudah dibebani perhutanan sosial.
”Ini menjadi perhatian kami para pendamping. Sebab, setelah penetapan hak, ternyata tidak menjamin hutan adat tersebut aman. Bisa jadi, ke depan hutan adat tersebut diambil kembali untuk proyek food estate,” tuturnya.
Selain itu, ketentuan dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya juga menyebut bahwa pemangku hutan adat hanya berhak memanfaatkan hutannya untuk kebutuhan sehari-hari. Artinya, pemanfaatan hutan tidak diperbolehkan untuk pengembangan ekonomi komunitas. Padahal, sebelum disahkannya UU Cipta Kerja, pemanfaatan hutan dilakukan sesuai hukum adat dan fungsinya.
”Setelah adanya UU Cipta Kerja, ada aturan tentang integrasi hutan adat dengan rencana tata ruang wilayah melalui kawasan hutan adat. Akan tetapi, permasalahannya adalah kawasan hutan adat tersebut hanya untuk fungsi lindung dan tidak bisa untuk budidaya. Akan menjadi permasalahan jika hutan adat tersebut peruntukannya adalah area penggunaan lain atau hutan produksi,” ucapnya.
Capaian penetapan
Direktur Penanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat (PKTHA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Muhammad Said menyampaikan, penetapan status hutan adat sudah mencakup 32 kabupaten yang berada di 15 provinsi. Adapun sejak 2016 sampai saat ini, sebanyak 89 hutan adat telah ditetapkan statusnya.
”Penetapan hutan adat mengalami tren peningkatan meski sempat menurun saat pandemi. Namun, kami akan mencoba terus mendorong penetapan hutan adat ini,” katanya.
Menurut Said, pemerintah tidak memberikan lahan atau akses kelola baru bagi masyarakat adat. Namun, pemerintah memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat untuk mengelola hutan adat maupun sumber daya alamnya. Pengakuan yang diberikan ini dalam bentuk penetapan status hutan adat yang tertuang dalam keputusan menteri.
Said mengakui bahwa masyarakat adat dan pengelolaan hutan tidak secara jelas disebut dalam UU Cipta Kerja. Dalam UU tersebut, hutan dapat dikelola oleh perseorangan, kelompok tani hutan, dan koperasi.
Meski demikian, posisi masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat ini diperjelas dalam peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja. Dengan adanya PP ini, kata Said, posisi masyarakat adat kini mendapat penguatan karena banyak aturan yang diperjelas seperti detail pengakuan yang perlu dituangkan dalam peraturan daerah.