Guru dan otoritas sekolah perlu menunjukkan kesabaran dan kepedulian untuk dapat membantu anak. Pendekatan untuk melakukan penilaian dan evaluasi perlu diupayakan yang bersifat informal dan membuat anak nyaman.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Anak, remaja, dan orang muda merupakan generasi yang akan menjadi pemimpin dan pelaku utama kehidupan di masa depan. Sayangnya, hampir setiap hari kita mendengar atau membaca berita mengenai berbagai perlakuan tidak pantas, menyakitkan, bahkan kekerasan pada anak. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari kekerasan fisik, psikis, hingga seksual, dengan dampak yang tak terbayangkan dan membuat hati pilu.
Sering pula, pelaku tindakan menyakitkan tersebut adalah orang-orang yang dikenal dan dekat dalam kehidupan anak. Mungkin orangtua atau anggota keluarganya sendiri, bisa jadi tetangga atau teman di sekolah, mungkin pula guru atau pemuka agama.
Penelitian dan pengalaman di lapangan telah menunjukkan dampak negatif yang dapat sangat serius dari pengalaman menyakitkan yang dialami anak tersebut. Dampaknya dapat berjangka panjang dalam bentuk penderitaan yang dialami individu. Atau mungkin menyebabkannya rentan mengalami kekerasan kembali di masa dewasanya, bahkan dapat juga membuatnya berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Karena itu, diperlukan perhatian serius terhadap persoalan ini.
Apabila dugaan penyebabnya bukan hal-hal terkait dengan kemampuan kognitif atau kecerdasannya, perlu ada perhatian lebih khusus tentang kemungkinan ia mengalami peristiwa-peristiwa menyakitkan.
Sebenarnya, cukup banyak orang dewasa yang peduli, tetapi tidak mengerti bagaimana dapat mencegah kekerasan, atau membantu anak apabila hal tersebut telah terjadi. Ketidakmengertian kadang juga dibungkus oleh pandangan normatif dalam masyarakat, yang justru makin merentankan posisi anak. Misalnya, anak dianggap memprovokasi, tidak dapat dipercaya, atau justru hanya membuat malu keluarga atau sekolah. Orang dewasa di seputar anak membiarkan, bahkan menghukum sang anak, yang menjadi korban tindakan tidak adil karena enggan harus repot berurusan dengan (lingkungan) pelaku yang lebih berkuasa.
Perlu sensitif
Sekolah menjadi lingkungan penting yang perlu dibahas secara khusus. Lingkungan yang tidak peka bukannya membantu, tetapi dapat memperparah pengalaman negatif atau kerentanan anak. Misalnya, ada siswa yang punya pengalaman traumatik dan kemudian jadi rendah diri. Guru yang tidak mengerti kemudian bersikap tidak sabar, berkomentar negatif, bahkan menghukum. Atau, siswa tersebut dilihat aneh dan mengalami perundungan dari teman-temannya. Akibatnya, pengalaman negatif anak jadi bertumpuk-tumpuk, dengan dampak yang juga bertumpuk.
Sebaliknya, sekolah juga berpotensi menjadi tempat aman yang berperan besar dalam memulihkan luka, sekaligus membangun kekuatan anak. Saya menemukan tulisan Amy Tishelman dkk (2010) yang mengusulkan perlunya sekolah lebih awas mengenai kemungkinan anak mengalami kejadian-kejadian menyakitkan. Mereka mengusulkan sekolah menggunakan kerangka evaluasi siswa berbasis pemahaman mengenai trauma. Uraiannya sangat penting, dan tampaknya dapat kita diskusikan bertahap dalam beberapa tulisan.
Perspektif trauma akan membantu guru dan sekolah mengidentifikasi trauma yang dialami anak—apabila memang ada—serta menganalisis dan menemukan langkah-langkah yang tepat untuk membantu anak. Tetapi, bukan berarti faktor-faktor lain menjadi tidak penting karena dapat saja sumber masalah anak bukan trauma, melainkan hal lain.
Anak yang mengalami hal menyakitkan akan berespons dengan cara berbeda-beda. Kesejarahan, pengalaman, konteks terjadinya peristiwa, ataupun karakteristik pribadi anak berbeda-beda. Sekolah perlu melakukan penilaian dan evaluasi agar dapat memahami profil anak, dalam arti mengerti dampak pengalaman negatif, hal-hal yang perlu ditangani, ataupun kekuatan dan keterampilan-keterampilan khusus yang telah dipunyainya.
Perhatian khusus
Kita perlu memberikan perhatian khusus pada siswa apabila ia tak menunjukkan kemajuan dalam proses belajar, menunjukkan masalah-masalah dalam penyesuaian diri, dan menampilkan perilaku yang mengganggu kemampuan atau proses belajarnya, atau mengganggu pelaksanaan kegiatan sehari-hari di kelas.
Apabila dugaan penyebabnya bukan hal-hal terkait dengan kemampuan kognitif atau kecerdasannya, perlu ada perhatian lebih khusus tentang kemungkinan ia mengalami peristiwa-peristiwa menyakitkan. Sekolah dapat memiliki sendiri tim multidisiplinnya, ataupun bekerja sama dengan pihak luar untuk menilai.
Ada beberapa aspek penting yang perlu memperoleh perhatian, dan dalam tulisan kali ini kita akan membahas aspek pengenalan emosi dan pengaturan diri anak. Bagaimana kemampuannya mengidentifikasi emosi dan berespons pada peristiwa-peristiwa khusus tertentu? Pengalaman traumatik, terutama yang bersifat interpersonal, misalnya pengabaian atau kekerasan, dapat menyebabkan anak sulit mengenal secara akurat situasi emosi diri sendiri dan lingkungan.
Bisa jadi peristiwa netral dipersepsi mengancam, yang menyebabkannya bereaksi berlebihan. Misalnya, anak mengalami kesulitan beradaptasi dengan perubahan, sering mengalami konflik dengan teman sebaya ataupun orang dewasa, atau bersikap sangat reaktif dengan mudah menjadi agresif menghadapi situasi tidak nyaman.
Karena sulit menangkap secara akurat emosi diri dan orang lain, anak bisa jadi juga sulit berespons secara tepat. Akibatnya, mungkin ia sulit berkonsentrasi, mudah frustrasi, labil secara emosi, terlihat pasif dan kosong, menarik diri dari lingkungan, atau bahkan menggunakan strategi adaptasi yang destruktif, seperti melukai diri sendiri.
Guru dan otoritas sekolah perlu menunjukkan kesabaran dan kepedulian untuk dapat membantu anak. Pendekatan untuk melakukan penilaian dan evaluasi perlu diupayakan yang bersifat informal dan membuat nyaman anak. Bukan yang bersifat klinis, seperti di rumah sakit, ataupun yang bersifat formal dan menginterogasi yang justru menambah perasaan terancam.
Dalam kesempatan berikutnya kita dapat membahas aspek lain yang perlu memperoleh perhatian. Bagaimanapun, pencegahan itu jauh lebih baik daripada penanganan. Karena itu, perlu dilaksanakan pendidikan masyarakat dalam berbagai bentuknya untuk mencegah terjadinya perlakuan buruk pada anak. Termasuk agar orang dewasa yang pernah mengalami berbagai perlakuan buruk di masa kecilnya, mereka dapat dibantu untuk mengelola luka batinnya dan tidak melanjutkan kekerasan yang pernah dialaminya kepada generasi berikutnya.