Tumbuh kembang anak-anak dikhawatirkan terganggu selama masa pandemi berlangsung. Perlu ada upaya bersama melindungi anak dari berbagai kekerasan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang hampir memasuki tahun ketiga menempatkan anak pada situasi yang rawan dari berbagai kekerasan, serta menimbulkan efek domino, seiring meningkatnya kasus pelanggaran hak anak. Selain memengaruhi mutu kesehatan dan pendidikan, pandemi mengancam tumbuh kembang anak, menyusul meningkatnya tren kasus kekerasan fisik dan psikis, serta kekerasan seksual.
Ancaman di dunia digital diperkirakan terus membayangi kehidupan anak-anak, seiring semakin dekatnya media digital dengan anak yang menjadi alternatif layanan pendidikan di masa pandemi Covid-19. Jika tidak didukung literasi yang memadai, media sosial dikhawatirkan menimbulkan kerentanan apabila anak terpapar dampak negatif teknologi.
Jika melihat tren kekerasan di tahun 2021, potensi kekerasan di tahun 2022 bisa saja terjadi pada anak jika pemangku kebijakan dan penyelenggara perlindungan anak semakin abai terhadap kewajibannya.
Kendati demikian, Susanto berharap, kualitas perlindungan anak ke depan semakin baik sehingga segala potensi kekerasan terhadap anak bisa dicegah sejak dini, tidak hanya keluarga, tetapi juga semua pihak.
Pencegahan dan perlindungan anak dari kekerasan haruslah menjadi perhatian karena Catatan KPAI 2021 menunjukkan masih tingginya kasus pelanggaran hak anak. Sepanjang 2021 tercatat 5.953 kasus, dengan rincian kasus pemenuhan hak anak (2.971 kasus), dan perlindungan khusus anak (2.982).
”Meski komitmen negara dalam berbagai aspek semakin baik, pelanggaran hak anak di tahun 2021 masih terjadi terkait pemenuhan hak maupun terkait perlindungan khusus anak,” kata Susanto yang didampingi Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati serta anggota KPAI Retno Listyarti, Ai Maryati Solihah, Jastra Putra, dan Margaret Aliyatul Maimunah.
Dari berbagai kekerasan yang dialami anak-anak, KPAI mencatat sepanjang 2021 jumlah kekerasan fisik/psikis merupakan kasus paling tertinggi, yakni mencapai 1.138 kasus, disusul kejahatan seksual (859 kasus), dan kasus pornografi/kejahatan siber.
Naik tiga kali lipat
Bahkan, kasus kekerasan fisik/psikis dan kekerasan seksual meningkat signifikan dibandingkan tahun 2020, yakni kekerasan fisik/psikis naik hampir 300 persen dibandingkan tahun 2020 sebanyak 389 kasus. Begitu juga kasus kekerasan seksual naik hampir 200 persen dibandingkan 2020 (440 kasus).
Sebenarnya di tahun sebelumnya, tahun 2020, KPAI pernah survei kekerasan terhadap anak sudah tinggi. Namun, ternyata di tahun 2021 kenaikan kekerasan fisik dan psikis luar biasa, hampir tiga kali lipat. Berarti efek domino pandemi Covid-19 memang luar biasa.
Pada 2021, untuk kasus kekerasan fisik dan psikis, jumlah anak korban penganiayaan mencapai 574 kasus, anak korban kekerasan psikis (515 kasus), anak korban pembunuhan (35 kasus), dan anak korban tawuran (14 kasus).
Sementara untuk kasus kejahatan seksual terhadap anak, aduan tertinggi adalah anak sebagai korban pencabulan 536 kasus (62 persen), anak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan/persetubuhan 285 kasus (33 persen), anak sebagai korban pencabulan sesama jenis 29 kasus (3 persen), dan anak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan/persetubuhan sesama jenis 9 kasus (1 persen).
Melihat tren kasus dan dinamika perlindungan anak di tahun 2021, di awal 2022 KPAI meminta semua pihak memberi perhatian khusus terhadap sejumlah isu anak, seperti anak-anak yang kehilangan orangtua karena pandemi.
“KPAI mendorong pengumpulan data anak secara tersentral dan terverifikasi yang saat ini dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kementerian Dalam Negeri,” ujar Margaret.
Pada bagian lain, Ai Maryati mengingatkan maraknya eksploitasi ekonomi yang berdampak pada meningkatnya pekerjaan terburuk bagi anak. Begitu juga dengan eksploitasi seksual dan tindak pidana perdagangan orang yang menunjukkan fluktuasi jumlah dan kompleksitas kasus.
KPAI juga merekomendasikan agar pencegahan perkawinan usia anak ditingkatkan melalui edukasi pengetatan proses pemberian dispensasi di pengadilan, serta penguatan peran keluarga dan masyarakat dalam mencegah budaya perkawinan anak. Apalagi, Covid-19 juga menimbulkan potensi terjadi perkawinan usia anak yang disebabkan berbagai faktor.
”Pemerintah juga diharapkan merumuskan strategi untuk pencegahan dan penanggulangan potensi angka putus sekolah sebagai dampak Covid-19 dan efek domino ekonomi keluarga,” ujar Retno menambahkan.
Kesadaran tumbuh
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar mengungkapkan, catatan KPAI 2021 yang menunjukkan tren kekerasan anak yang tetap tinggi, selaras dengan data pelaporan yang masuk ke Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simponi PPA).
Meningkatnya angka pelaporan ini karena faktor kesadaran dan kemudahan masyarakat untuk melapor sekaligus menjadi bahan evaluasi dalam peningkatan penyelenggaraan pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. ”Anak memiliki kerentanan dari kekerasan sehingga perlu upaya afirmasi pemenuhan hak anak melalui pencegahan dan perlindungan khusus bagi anak,” tutur Nahar.